Senin, 20 Januari 2014

Jurnal 1

Journal of Aggression, Conflict and Peace Research ISSN: 1759-6599 Online from: 2009 Subject Area: Health and Social Care Content: Latest Issue | icon: RSS Latest Issue RSS | Previous Issues Options: To add Favourites and Table of Contents Alerts please take a Emerald profile Developmental trajectory and gender differences in Chinese adolescents' physical and relational aggression: an analysis using the latent class growth model Document Information:Title: Developmental trajectory and gender differences in Chinese adolescents' physical and relational aggression: an analysis using the latent class growth model Author(s): Chunyong Yuan, (Lecturer, based at Psychology Department, Shanghai Campus of Nanjing Politics College, Shanghai, and a PhD graduate of State Key Laboratory of Cognitive Neuroscience and Learning, Beijing Normal University, Beijing, China), Aihui Shao, (PhD candidate, based at State Key Laboratory of Cognitive Neuroscience and Learning & IDG/McGovern Institute for Brain Research, Center for Collaboration and Innovation in Brain and Learning Sciences, Beijing Normal University, Beijing, China), Xinyin Chen, (Professor, based at the Graduate School of Education, University of Pennsylvania, Philadelphia, Pennsylvania, USA), Tao Xin, (Professor, based at the School of Psychology, Beijing Normal University, Beijing, China), Li Wang, (Associate Professor, based at the Department of Psychology, Peking University, Beijing, China), Yufang Bian, (Yufang Bian, based at State Key Laboratory of Cognitive Neuroscience and Learning & IDG/McGovern Institute for Brain Research, Center for Collaboration and Innovation in Brain and Learning Sciences, Beijing Normal University, Beijing, China) Citation: Chunyong Yuan, Aihui Shao, Xinyin Chen, Tao Xin, Li Wang, Yufang Bian, (2014) "Developmental trajectory and gender differences in Chinese adolescents' physical and relational aggression: an analysis using the latent class growth model", Journal of Aggression, Conflict and Peace Research, Vol. 6 Iss: 1, pp.44 - 55 Keywords: Adolescent children, Latent class growth model, Physical aggression, Relational aggression Article type: Research paper DOI: 10.1108/JACPR-11-2012-0013 (Permanent URL) Publisher: Emerald Group Publishing Limited Abstract: Purpose – The purpose of this paper is to investigate the developmental trajectory and patterns of physical aggression and relational aggression over time, and also to examine the gender differences of the three-year developmental process as well as the impact of the developmental trajectory on mental health. Design/methodology/approach – Participants: the participants of this study were newly enrolled junior school students. The study spanned three years with continuous tracking performed once every other year. Measures: class play questionnaire. Aggressive behaviors were measured by an adaptive Chinese version of the revised class play assessment. Statistical analysis: to address the questions of the present study, the latent class growth model (LCGM) was used to analyze the three-year longitudinal data by Mplus 6.1. Findings – The initial level of physical aggression in boys was higher than that in girls. There were three types of developmental trajectory for boys, corresponding to a lower initial level-increasing group, a middle initial level-increasing group and a higher initial level-stable group. However, girls demonstrated different patterns, corresponding to a lower initial level-increasing group, a middle initial level-increasing group and a higher initial level-decreasing group. In contrast to the physical aggression, the initial level of relational aggression in boys was lower than that in girls. There were four types of developmental trajectory for boys, corresponding to a lower initial level-increasing group, a middle initial level-increasing group, a middle initial level-declining group and a higher initial level-declining group. Girls illustrated different patterns, corresponding to a lower initial level-stable group, a middle initial level-increasing group and a higher initial level-declining group. Different developmental trajectory of physical and relational aggression would influence the interpersonal relationship. Originality/value – This paper used a person-centered latent variable approach instead of the variable-centered approach to investigate the developmental trajectory and patterns of physical aggression and relational aggression over three year by employing the LCGM. The initial level of physical aggression in boys was higher than that in girls. In contrast, the initial level of relational aggression in boys was lower than that in girls. There were gender differences in the pattern of physical and relational aggression development trajectory. Different developmental trajectory of physical and relational aggression would influence the interpersonal relationship. "Tujuan - Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui lintasan dan pola agresi fisik dan agresi relasional dari waktu ke waktu perkembangan, dan juga untuk menguji perbedaan gender dari proses perkembangan tiga tahun serta dampak dari lintasan perkembangan pada kesehatan mental . Desain / metodologi / pendekatan - Peserta : peserta penelitian ini yang baru terdaftar siswa SMP . Penelitian ini berlangsung tiga tahun dengan pelacakan kontinu dilakukan sekali setiap tahun . Tindakan : kuesioner bermain kelas . Perilaku agresif diukur dengan versi Cina adaptif penilaian bermain kelas direvisi . Analisis statistik : untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari penelitian ini , model pertumbuhan kelas laten ( LCGM ) digunakan untuk menganalisis tiga tahun data longitudinal oleh Mplus 6.1 . Temuan - Tingkat awal agresi fisik pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada anak perempuan . Ada tiga jenis lintasan perkembangan anak laki-laki , sesuai dengan tingkat meningkat kelompok rendah awal, awal kelompok tingkat meningkat menengah dan kelompok tingkat - stabil awal yang lebih tinggi . Namun, gadis-gadis menunjukkan pola yang berbeda , sesuai dengan tingkat meningkat kelompok rendah awal, awal kelompok tingkat meningkat menengah dan kelompok tingkat - penurunan awal yang lebih tinggi . Berbeda dengan agresi fisik , tingkat awal agresi relasional pada laki-laki lebih rendah dibandingkan pada anak perempuan . Ada empat jenis lintasan perkembangan anak laki-laki , sesuai dengan tingkat meningkat kelompok rendah awal, awal kelompok tingkat meningkat tengah, awal kelompok tingkat - menurun menengah dan kelompok tingkat - menurun awal yang lebih tinggi . Gadis digambarkan pola yang berbeda , sesuai dengan tingkat - rendah yang stabil kelompok awal, awal kelompok tingkat meningkat menengah dan kelompok tingkat - menurun awal yang lebih tinggi . Lintasan perkembangan yang berbeda agresi fisik dan relasional akan mempengaruhi hubungan interpersonal. Orisinalitas / nilai - Tulisan ini menggunakan pendekatan laten variabel - orang yang berpusat bukan berpusat variabel pendekatan untuk menyelidiki lintasan dan pola agresi fisik dan agresi relasional lebih dari tiga tahun dengan mempekerjakan LCGM perkembangan . Tingkat awal agresi fisik pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada anak perempuan . Sebaliknya , tingkat awal agresi relasional pada laki-laki lebih rendah dibandingkan pada anak perempuan . Ada perbedaan gender dalam pola pembangunan agresi fisik dan relasional lintasan . Lintasan perkembangan yang berbeda agresi fisik dan relasional akan mempengaruhi hubungan interpersonal." Fulltext Options: Login Login Existing customers: login to access this document - Athens/Institutional login Help Purchase Purchase Downloadable; Printable; Owned HTML, PDF (394kb)Purchase Rent Rent this article at DeepDyve. Recommend to your librarian Complete and print this form to request this document from your librarian Marked list Add to marked list: Bookmark & share Reprints & permissions Icon: RightsLink.

Kamis, 05 September 2013

Skripshot jilid 3

Warung “Kebahagiaan”, 23.46 WIB.

Seusai sidang skripsi tadi pagi, memang ku akui kalo beban kepalaku jauh lebih ringan dari tiga bulan terakhir. Bener juga kata sebagian orang kalo tidak selamanya realita itu menakutkan. Jadi buat kalian yang kelewatan phobia sama yang namanya sidang skripsi, ku tegesin kalo lu udah ngelewati semuanya, sumpah lu bakal nyesel sempat phobia dan ill feel sama yang namanya tuh moment. Rasanya cuma kayak keonyos ujung lilin bentar, sama sekali gak sakit.

Tapi By the way sebagai manusia yang belajar adil kayak aku, balancing otak juga salah satu aplikasi dari konsep keadilan yang wajib ku lakuin. Jadi setelah melalui sidang tadi pagi, komposisi otak harus ku bikin seimbang lagi dengan cara hang out bareng temen-temen seperjuangan terbaik, Eko, Putra, dan beberapa temen seangkatan yang udah rela bagi waktunya buat aku, meski sekedar nganter ke tukang penjilidan yang bisa dinego harganya.

Kebetulan udara Bogor malam ini sedikit lebih bersahabat dari biasanya. Kelap-kelip lampu di ujung trotoar menambah warna-warni kebahagiaanku. Setelah sejam berkompromi sama Eko, akhirnya kami putuskan untuk menghabiskan malam di tongkrongan terbaik sepanjang tahun selama tingal di sini, Warung “Kebahagiaan”. Letaknya yang rada mojok dari keramaian jalan utama kota, membuatku nyaman berlama-lama disini. Termasuk perpustakaan pribadi yang boleh diakses oleh semua pengunjung, asal tidak untuk dibawa pulang. Di samping kanan dari tempat dudukku, ada danau berukuran mini. Di tiap tepinya beberapa batang pohon kelengkeng cukup eksotik menghiasi danau. Dedaunan di anak batang pohon menyeringai tertiup angin, nampak indah dan rindang. Kursi yang disediakan di warung ini juga terbilang cukup unik, yakni dari bongkahan pepohonan yang roboh dan diukir langsung oleh alam, tergores berantakan namun menyimpan sejuta estetika yang tinggi.

Konon, warung ini dulunya sempat dilirik bisnismen dari Jakarta buat dikembangin jadi kafe dan bar yang lebih besar. Tapi Om Gondrong sebagai pemilik tunggal yang sah, sama sekali tidak tertarik dengan harga yang ditawarkan. Saat kami tanya, jawabnya singkat “Bogor udah punya banyak tempat begituan Lis, kalo warung ini juga ku investasiin buat yang begituan, trus dimana lagi orang bisa nemuin tempat tongkrongan yang kayak gini, dekat dengan alam”. Salut banget aku dengernya.

Eko yang duduk di sampingku nampak sibuk mondar-mandir mencari kertas dan bulpoin. 10 menit yang lalu, sudah ku putuskan dia yang bertugas untuk mencatat setiap pesanan dari seluruh undangan nongkrong malam ini. Maklum, disini pengunjung diajari mandiri alias melayani diri sendiri. Om Gondrong biasanya hanya duduk di balik kursi kasir. Biasanya pula dia sibuk membaca satu dua buku, sambil sesekali menimpali obrolan pengunjung.

“Betewe kemana si Putra?, kok belum nongol juga dia?,” Tanya Maulid yang baru saja datang, dan langsung mengambil posisi duduk di seberangku. Tak butuh waktu lama, ia pun menodongku dengan berbagai pertanyaan seputar sidang tadi pagi. Kamipun terlibat perbincangan asik, sebenarnya lebih semacam laporan berita acara gitu deh.

“Katanya sih nyusul, tadi sore mendadak dapat pesenan buku resep masak dari nyokapnya. Maklumlah, nyokapnya kan bos catering gitu.” Sahut Eko yang nampak siap dengan kertas serta bulpoin, untuk mencatat setiap order yang kami layangkan.

“Eh, jadi pesan apa bradar?...” Suaranya menodong.

“Gue pesen teh anget aja deh sementara, belum pingin makan nih.” Seru Jayus sambil melirik bb nya di meja.

“Kalo lu apa Jang”, Tangan Jayus sekonyong-konyong menggoyangkan lamunan Ujang yang tengah asyik dengerin ulasan prosesi sidang skripsiku sama si Maulid.

“Astagfirullah, Ngagetin aja ah Jay…. Aku mau teh anget juga deh, sama men..” Jelasnya dengan nada-nada sunda yang khas.

“Ahhh…gak kreatip aUjang, masak nyontek pesenan gue.” Seronok Jayus.

“Yee nyolot, kasian amat Om Gondrong pelanggan teh angetnya cuma lu..” Suara Ujang menimpali.

“Piss men, gimana kalo gue pesenin teh anget semua aja ya..”

“Siappppp…” Suaraku diikuti Koko dan Maulid.

Eko pun berlalu, menyiapkan enam gelas teh anget pesenan kami.

“Eh Lis, wah denger-denger lu berkesempatan jadi student of the Year gitu ya?, alamaaak..temanku satu ini emang gila bener..” spontanitas suara Koko, memecah perbincanganku dengan Maulid.

“Beneran Lis???,” Tegas Ujang berharap aku segera mengangguk mengiyakan.

“Ah…baru gossip, denger dari siapa sih?, bahaya banget emang jadi orang sepopuler aku, tiap gerak-gerik ada yang ngeliput, hahaha”, jawabku ngeles.

“Alaaah…lu Lis Lis… Tuh Pak Tora yang tadi bilang di depan mahasiswa peserta sidang skripsi selanjutnya setelah lu pulang tadi. Nah Si Rani yang cerita ke gue.” Papar Koko.

“Haha…doain lah bradar.. kan itu masih kata pak Tora, belum kata pak Syafi’i. Kalo Pak Syafi’I yang ngumumin, itu baru bener.. Yaa…jadi tetep butuh doa kalian juga pastinya.” Tegasku.

“Sip sip sip.. gitu dong.. walaupun bukan gue sandiri yang dapat predikat itu Bradar, tapi kalo lu yang dapet, gue juga banggalah.. Paling tidak, orang-orang bakal mengira kalo signal positif itu juga dari kami temen-temen lu..hahahaaa…” Seronok Ujang, yang memicu sorakan dari yang lain.

“Hahaha…lu bener juga Jang..” Sahut Maulid dan Koko dengan spontan dan bersamaan.

“Nggak sesederhana itu juga sih men, menurutku prestasi itu bagian dari tanggungjawab. Garisnya jelas horizontal dan vertical men.…horizontal untuk tanggungjawab kita ke orang tua, saudara, dan orang-orang yang udah ngedukung kita sekuat tenaga sampai kita bisa berdiri di titik ini, dan vertical ke atas, sebagai wujud dari tanggungjawab kita ke Tuhan men, kita gak ada artinya tanpa Tuhan.. Jadi kalo dibilang obsesi buat jadi student of the Year sih nggak juga, cuman aku pingin ngebuktiin aja seberapa tangguhnya kakiku mengemban tanggungjawab ini men.. gitu deh kira-kira..” Ungkapku.

“Lu emang bener Lis, setiap orang gak bakal jadi apa-apa tanpa pengakuan orang lain. tanpa support dari orang lain, apalagi orang tua kita.” Suara Maulid terdengar merenung.

“Gue jadi kepikiran garis vertical yang lu bilang tadi deh, hm..gue setuju, setuju banget. Kita emang gak ada artinya tanpa Allah. Allah emang keren banget ya Guys, udah baik, penyayang, kaya, gak pilih kasih, pengampun pula. Hm, Keren deh pokoknya”. Ujang menambahkan.

“Wah kalian dalem banget memaknai kehidupan men, jadi merinding gue. Trus gimana nasib manusia kayak gue yang baru belajar islam kemarin sore?.” Sigap Koko menimpali. Wajahnya berubah lesu. Matanya seolah menyimpan kenangan tiga bulan yang lalu, saat bokap nyokapnya resmi bercerai karena diam-diam nyokapnya tertarik dengan islam, setelah puluhan tahun jadi penganut Kong Hu Ju. Sang Bokap yang bener-bener nentang sama keputusan itu, akhirnya langsung melayangkan cerai setelah dua jam beradu argument. Sedangkan dia yang emang udah sering banget denger tentang islam dari temen-temen seperjuangannya di kampus, dan yang juga diam-diam menemukan keindahan islam, saat itu juga memutuskan untuk tinggal bareng nyokapnya dan belajar islam bersama.

“Apaan sih lu Ko, Allah gak bakal beda-bedain orang kok, kan barusan gue bilang kalo Allah tuh penyayang. Lu santai aja kale, yang penting emang bener kata Ahlis tadi, kita kudu inget terus bahwa kita punya tanggungjawab vertical ke atas men.” Terang Ujang, mencoba menenangkan Koko, lalu menghujaninya dengan pelukan dan menepuk-nepuk pundaknya. Koko pun tersenyum lega.

“Cerita kalian bikin gue jadi bersyukur banget jadi anaknya bokap nyokap gue. Meski mereka sering marah ke gue, tapi sebenarnya itu adalah tanda perhatian dan support mereka yang paling berarti. Thanks ya men, kalian udah ngingetin gue.” Celetuk Eko yang tiba-tiba muncul dengan satu nampan besar yang berisi enam gelas teh anget.

“Oo jadi lu dari tadi nguping pembicaraan kita Pak Eko?,” Seronok Jayus yang tiba-tiba berdiri sambil berkacak pinggang, disusul tawa dari yang lain.

“Eit ya sori banget Jay.. gimana lagi, indra gue kan tajam banget men, cerdas otak kanak dan kiri pula. Anggap aja semacam resiko kutukan jadi orang cerdas gitu deh..” jawab Eko dengan percaya diri, serempak Maulid, Ujang dan Koko menghujani tinju di perutnya.

“eh eh eh, teh angetnya men…jangan gemes gitu dong sama gue..” Suara Eko berusaha megnhindar. Tiba-tiba saku celananya bergetar, hp nya bernyanyi, ada sms dari Putra. Setelah teh berpindah tempat ke atas meja, Eko pun segera membuka fitur amplop yang bergoyang-goyang di layar hp nya.

KLIK..

Putra: Pak Eko, posisi??.

Eko: Di meja biasa men, segera kesini, gue butuh bala bantuan!!.

Putra: Apaan?, paling2 lu bikin ulah lagi. Ok, meluncur.. eh gue pesenin Joshua dong.

Eko: Males, sini dulu!!.

Putra: Kejem!!

Eko: IDL!!

Malam ini pun berlalu dengan baik, aku bersyukur tiada henti pada Sang pengendali hati, karena tetap membiarkanku berada di tengah-tengah kehangatan persaudaraan. Setelah dinyatakan lulus dengan nilai cumloude tadi pagi, dan setelah sujud syukur di masjid kampus, ku bagikan rasa syukurku pada bapak ibu di rumah, serta kakak dan adik-adikku di tempat peraduannya masing-masing. Semoga doa mereka tak pernah terputus untukku. Dan dua minggu lagi, upaya merealisasikan tanggungjawab ku bakal sampai di level trakhir. Satu persatu dari keempat criteria untuk bener-bener jadi student of the Year sudah ku lalui, semoga ya Allah.. semoga atas izinmu. Amin.

Bogor, 16 Oktober.

“Para Pendengar, kepadatan arus lalu lintas di beberapa titik jalur utama Kota hari ini tengah merambah hingga jalan-jalan alternative. Hal ini disebabkan oleh beberapa perguruan tinggi baik yang terletak di kota dan di beberapa kawasan lain akan melangsungkan prosesi wisuda. Demikian yang dapat kami laporkan.”

Begitulah setidaknya laporan penyiar yang ku dengar dari radio tadi pagi. Beruntung, keluargaku telah tiba sejak kemarin sore, dan segera bisa beristirahat setelah belasan jam berada di atas kendaraan. Dua hari sebelum mereka tiba, aku telah menyewakan satu kamar di sebuah penginapan sederhana. Letaknya yang cukup strategis, antara kosku dan kampus, membuatku cukup lega.

Wisuda akan dilangsungkan pukul 07.00, tepat setengah jam lagi. Aku segera mengenakan kemeja putih yang telah ku terima dari ibu semalam. Setelah siap, tak ku sangka, ibu sudah berdiri di depan teras kos ku.

“Gimana Lis, sudah siap semua?,” tanyanya setelah melihatku berjalan mendekatinya.

“Sudah bu, Alhamdulillah.. ahlis juga sudah siap..” Jawabku dengan senyum yang tak bisa ku tutupi.

“Alhamdulillah, yuk.. “ ajaknya, seraya menggandeng tanganku.

Ku lihat bapak tersenyum di balik kemudi mobil, aku pun mendekatinya membalas senyumannya, dan segera mengecup tangan kanannya.

“Alhamdulillah Nak.. Sayangnya kakak dan adik-adikmu tidak bisa datang melihatmu, tapi mereka sempat menitipkan salamnya pada bapak kemarin sebelum berangkat.” Suara bapak lirih, sepertinya beliau bisa membaca pikiranku yang berusaha mencari sosok lain di bangku belakang mobil.

“Iya pak..terimakasih.”

Kami pun bergegas, menuju gedung wisuda yang telah dipadati keluarga para wisudawan lainnya.

Gedung Wisudawan, 06.55 WIB.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?...

Aku duduk di barisan kedua dari depan. Di sampingku teman-teman terbaikku, Koko, Maulid, Ujang, Jayus, Eko dan Putra tengah sama berdebar menunggu giliran nama kami dipanggil dan penyematan oleh rektor pada tali toga yang kami kenakan. Satu jam berlalu, hingga sesi sambutan para anggota senat dan rektor benar-benar telah selesai. Baiklah, acara selanjutnya yakni penyematan untuk mahasiswa berprestasi, kemudian akan dilanjutkan dengan penyematan toga dan penyerahan ijazah pada seluruh wisudawan. Dari penjelasan ketua panitia wisuda tahun ini kemarin saat upacara gladi kotor, akan ada penyematan student of the Year terlebih dahulu sebelum penyematan untuk seluruh wisudawan. Dan kini sesi ini pun tiba, aku hanya bersholawat dalam hati, wajah ibu bapak melintasi kepalaku. Aku sedikit canggung menghadapi ini. Tapi aku berusaha untuk tetap tenang, dan 5 menit berlalu, aku berhasil melaluinya, hingga ku dengan dari balik pengeras suara, namaku dipanggil untuk diminta maju ke podium sekarang.

Dan inilah mahasiswa yang berhasil memperoleh prestasi sebagai “Student Of The Year”, Ahlis Humam, S.E. Diharapkan maju untuk menerima penghargaan dan menyampaikan sambutannya di atas podium.

Ku akui, kakiku terasa berat melangkah, hatiku sudah menangis berusaha bersyukur atas apa yang telah Allah berikan. Sempat ku lirik teman-teman di sampingku, dan ku lihat mereka ikut menangis mendengar namaku.

“Ya Allah benar yang kau sabdakan, Fabiayyi Aala’I Rabbikuma Tukadzibaan…” lirihku dalam hati.

Setelah 15 langkah ku ambil, kini aku telah berdiri di sini, di titik ini. ku edarkan pandangan, berusaha menemukan wajah ibu bapak, dan ingin ku sampaikan baktiku pada mereka. Hingga di sudut itulah pandanganku terhenti, ku temukan dua pasang mata itu menangis melinangkan air mata, menatapku, putranya yang telah membuat mereka letih berdoa.

“Terimakasih, terimakasih sekali atas apa yang telah dipercayakan universitas ini pada saya Ahlis Humam. Saya tidak akan menyampaikan banyak hal di podium ini. Tapi saya hanya ingin berterimakasih pada ibu dan bapak saya yang duduk di sebelah sana. Karena tanpa doa-doa terbaik yang mereka panjatkan setiap malam, tanpa dukungan yang selalu mereka berikan meski mereka sebenarnya sedang kelelahan, tanpa kasih sayang merekalah, saya tidak akan ada disini. Kedua, bagi saya, kesempatan untuk berdiri di podium ini, bukanlah sekedar ambisi yang tanpa tujuan. Namun semua ini, bagi saya bermuara pada tujuan yang jelas yakni sebuah realisasi dari tanggungjawab. Tanggungjawab horizontal pada semua orang yang telah mendukung saya, dan tanggungjawab vertical yang menuju ke pusat kehidupan di langit sana. Terimakasih banyak…”

Waliman Khoofa Maqama Rabbihi Jannataan. (Dan bagi orang yang takut saat menghadap Tuhannya ada dua Syurga).Ar-Rahman: 46.

Minggu, 30 Juni 2013

Skripshoot Jilid 2

ilusi: anggap saja ini Ahlis Humam bingung dengan skripsinya. :D

Ruang sidang, 21 Agustus 2013.

“Lis, sudah belum?,” Gusti, kakak satu tingkatku yang baru selesai ujian skripsi, tiba-tiba duduk di sampingku. Tangannya sibuk menggemgam 4 jilid skripsi yang hanya dijepit dengan klip hitam.

“Belum, masih antri nih.” Jawabku seraya berdiri mencoba membantunya yang nampak kerepotan.

“Wah, thanks banget.” Ucapnya, ia pun sekonyong-konyong menjatuhkan tubuh yang setengah tambun di sofa, nafasnya terdengar ngos-ngosan tak beraturan.

“Memang ujian skripsi kayak habis lari marathon gini ya?,” Tanyaku, sambil membayangkan suasana di ruang ujian, horror.

“Wah iya nih, ketiga penguji tadi sadis Lis, sudah gue tipe orang demam panggung, ee malah dikerjain, katanya rumusku kurang valid. Gue yang tadinya percaya diri, jadi keki juga dengernya.”

“Dikerjai?, yang bener aja?,” Tandasku mencoba meyakinkan apa yang ku dengar.

“Iya serius, saking gugupnya, gue sampai kebingungan jawab. Sempat dituduh skripsi pesen orang lagi, wahh…” Jelasnya sambil mengusap sisa keringat yang masih membasahi wajahnya dengan sapu tangan yang dikeluarkannya dari saku celananya. “Masak pesenan sih mas?,” Tanyaku kembali tak percaya.

“Ya nggak lah Lis, gue Cuma grogi men, gak mungkin lah nih skripsi pesen orang. Dua bulan gue jarang tidur malam. Mana kantung mata udah 10 senti kayak gini, masak dibilang pesenan. Gue tegesin, gue Cuma grogi!.” Tandasnya tak ingin nampak tolol. Aku hanya senyum-senyum sendiri melihat ekspresinya.

“Ooh, kirain mas..hehe.” Kilahku nyinyir.

“Eh, trus gimana endingnya tadi?,” aku kembali mengintrogasi, dengan penuh rasa ingin tahu.

“Ya…endingnya gue jelasin panjang lebar lah, sampai tangan basah mandi keringat gitu. Tapi akhirnya mereka percaya kalo skripsi itu gue yang ngerjain sendiri. Apalagi waktu jelasin metode penelitiannya, sample dan angka validitasnya gue ngerti bener, standart errornya juga. Ujung-ujungnya gue bilang “Coba bapak tatap mata saya, kantung-kantung ini adalah buktinya pak, saya berusaha sendiri.” gitu deh..haha..udah kayak orang tolol gitu deh. Tapi Alhamdulillah perjuangan gue gak sia-sia, dapat predikat cumlaude bro.. Aaahh…rasanya udah pingin terjun bebas aja, hahaahaa.” Tukasnya panjang lebar, nada suaranya yang naik turun mengikuti emosinya yang meledak-ledak bikin aku kawatir gak bisa nafas.

“Sudah sudah, minum dulu mas,” Ucapku seraya menyodorkan botol Tupperware merahku.

“Oh, thanks, kebetulan haus nih.” Dengan cepat ia meraih botol dan segera meneguknya, hingga seluruh isinya hampir berpindah ke perutnya. Aku kembali membaca barisan judul skripsiku yang dari tadi ku siapkan di pangkuanku.

“Siapa sih pembimbingmu Lis?,” Ia berbalik tanya mengintrogasiku, tapi sebelum sempat ku jawab, tiba-tiba Pak Tora petugas administrasi prodiku muncul dari balik ruangan, dan memanggilku.

“Ahlis Humam, sudah siap?,” Tanyanya, suaranya terdengar ramah menyebut namaku. Aku pun membalasnya dengan senyum hangat. Tak lama, aku pamit dari hadapan mas Gusti, dan menyelipkan botol tupperwareku ke sela-sela tas.

“Wah, sori mas, gue duluan ya..” Ucapku pamit. Aku pun segera berjalan menjauh, memasuki ruangan sidang dilangsungkan.

“Oh, oke-oke..sukses ya.. Man jadda wa jadda Bro..Semangat,” Suara Mas Gusti terdengar setengah berteriak, dan aku sudah tak sempat lagi menoleh ke arahnya.

Sekarang giliran hatiku yang gak karuan. Ku lafadlkan basmalah, fatihah, dan sholawat nabi masing-masing tiga kali. Dan sebisa mungkin aku bersikap tenang, rileks, dan menunjukkan kesiapan.

“Ya Rabbi, beri kemudahan, amin,” Lirihku dalam hati.

Ketiga dosen pengujiku sudah duduk di kursinya masing-masing, ada Dr. Subhan Ghofur, M, E, Pak Kurniawan Hamzah, M, E. I, dan Dr. Hadi Susanto. Terlihat skripsiku mulai dibolak-balik dari depan, ke halaman berikutnya, ke tengah, akhi, lalu kembali lagi ke halaman depan. Hingga pak Tora menyampaikan kepada seluru penguji untuk segera memulai sidang.

“Baik, bapak doktor dan professor, mungkin sidang bisa dimulai.” Suara Pak Tora memandu, seketika seluruh penguji mengangkat kedua wajahnya ke arahku.

“Oh..ini to, calon sarjananya..” Suaranya mencoba menawarkan canda padaku. Aku yang sudah mulai gusar, kini bisa lebih rileks mendengarnya.

“Baik, pak Silahkan dimulai.” Pak Tora kembali memberi komando, tak lama ia pun keluar dan menutup rapat pintu ruangan.

“Baik, bisa kita mulai ya?,” Tanya Pak Kurniawan, selaku ketua sidang. Semua pun mengangguk memberi persetujuan.

**TO BE CONTINUE in jilid 3.. ^^v

skripshoot

Wuush…dinginnya suhu lemari es menerpa wajahku yang kusut. Tak ingin berlama-lama, segera ku ambil botol Tupperware merah milikku, dan sku ambil posisi menjauhi lemari es. Aku duduk di seberang meja, dan langsung ku teguk air putih di dalam botol. Dinginnya membasahi tenggorokanku yang kering, padahal hampir tiap jam aku minum tapi tetap saja tenggorokanku seperti terserang dehidrasi akut. Setelah seluruh isi botol berpindah tempat ke lambungku, aku melangkah ke depan kamar mandi, ada cermin kecil menggantung di dekat pintu kamar mandi. Ku julurkan wajahku ke arah cermin. Mengamati wajahku yang nampak menyedihkan.

“Ya Allah, mataku sampai berkantung begini…” suaraku lirih.

“Yaa..bagaimana tidak, tiap hari kerjaannya nongkrong depan lepy” seronok Eko, teman satu kontrakanku yang tiba-tiba muncul sambil menyelipkan pensil 2b di sela-sela telinganya.

“Memang kalo mahasiswa akhir harus segitunya ya??” imbuh Putra, yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar mandi.

“Astagfirullah, kamu ngagetin aja bro, ku kira gak ada orang, sunyi senyap gitu dari tadi, kok tiba-tiba lu muncul, ngapain hayoo?..” gerutuku.

“wah….stop bro, gak usah mikir macam-macam. Lagi mules nih perut…sejam cuma keluar kentut, coba bayangin…sampai kesemutan begini gue”, Putra pun berjalan keluar sambil menyeret kedua kakinya.

“hahaha…lu sih bikin kopi niat banget semalem, seteko disruput semua..” Eko berbalik arah meledek si putra.

“Iya bener, wah gila..tuh kopi gak pake gula ya, pahit banget…” imbuhku.

“Maklum bro, bbm naik..gak kuat beli gula…”

“Apa hubungannya coba bbm sama gula?,” Protes Eko sambil mengorek-ngorek kedua lbang hidungnya.

“Yah, gimana sih lu, warung depan udah gak buka bangkrut katanya, nah kalo beli gula kan harus ke depan gang sono, mana motor gue mati lagi, gara-gara kehabisan bensin. Dompet kering, Cuma tinggal selembar gambar imam bonjol bro..sekarang mana laku beli bensin 5ribu, hmmm.” Jawab Putra manyun, ia duduk di kursi sambil menyelonjorkan kedua kakinya.

“wah, mahasiswa akhir kayak kita ternyata jadi imbas kenaikan bbm juga ya…” Eko kembali nyeletuk.

“Pemerintah tega banget emang. Hufft..jadi kalo dipikir-pikir nih, berarti yang bikin gue mules kayak gini itu pemerintah. Wah, tega kejam. Bener gak bro?,” Putra menoleh ke arahku, bibirnya mencibir menunggu persetujuanku. Aku yang dari tadi sibuk di depan cermin, langsung memutar wajah ke arahnya.

“Yaa…kalo dianalisis serinci itu, bisa-bisa semua masalah di negeri ini gara-gara pemerintah dong. Kasihan amat mereka. Tapi kalo menurutku sih, kita rakyat kecil juga tetap punya tanggungjawab dalam stabilisasi keadaan bro. Misalnya, sekembalinya lu dari rumah 2 minggu yang lalu saat stok gula kita masih dua toples, harusnya dihemat dong, nah lu malah seminggu berturut-turut bikin kopi rasa gula gitu. Masak kopi sesendok, gulanya 4 sendok bro?.” senyumku sambil mengangkat alis ke arah Eko.

“hahaha…gue setuju sama lu lis. Analisismu masuk akal emang.” Suara Eko menegaskan, ia terlihat berhenti mengorek-ngorek lubang hidungnya, dan tak lama melempar senyum manyun ke arah Putra.

“Wah…kalian…”

“bisa-bisa nih bro, lu seminggu kena diabetes, seminggunya kena mag, minggu depannya kena komplikasi deh.” Imbuhku, gak kalah sadis dari sebelumnya.

“trus minggu depannya mati, gak jadi ujian skripsi deh, wah...serem amat.” Putra ngoceh sendiri sambil mengelus-elus kedua kakinya.

“Tapi gak papa juga kayaknya, biar gak pake deg-degan ujian skripsi bro.” Eko kembali menimpali.

“Hahaha……bener-bener…” kami pun tertawa lepas bersama.

“skripsi oh skripsi, kamu bikin deg-degan aja emang. Hmm, 3 bulan lagi Juni-Juli-Agustus.” Gerutuku dalam hati. Aku pun berlalu dari depan cermin, dan kini sibuk membuka-buka kalender yang menggantung di samping lemari es. ku lihat spidol merah melingkari 3 tanggal sekaligus di bulan Agustus, 21-22-23. Tiga tanggal itu adalah perkiraan ujian skripsi ditetapkan. Aku jadi terpacu lagi untuk melanjutkan skripsiku setelah 30 menit sibuk nercengkrama plus 2 menit sibuk menghitung hari. Tapi ku putuskan untuk mandi dan sholat dhuha dulu.

“Tuhan bantu aku…..” Teriakku dalam hati

***

to be continue.....hehehe..

Senin, 08 April 2013

Di sudut jendela kamarku

Sore ini gerimis, mendung menggantung di tepi-tepi langit. Ada iringan hembusan angin yang cukup kencang. Halaman rumahku kembali kotor karena daun-daun banyak yang berguguran. Dari jendela kamar, ku lihat mbok sumi sibuk menyapu membersihkan dedaunan.

Aku senang duduk di sini, di sudut jendela kamarku. Dari sini, aku belajar mengamati, mengamati kupu-kupu yang terbang, mengamati daun-daun di dahan, mengamati anak-anak burung yang bernyanyi di atas sarang, mengamati angin serta gerimis yang datang diam-diam, dan mengamati Mama setiap ia hendak pergi ke kantor serta saat ia pulang.

Mama, aku senang mengamatinya, dan entah kenapa aku sering merindukannya. Meski mama jarang tahu kebiasaanku ini. Apalagi saat mama pergi untuk urusan kantor hingga berhari-hari beberapa bulan yang lalu, aku rindu sekali padanya. Tapi tak ada yang tahu kecuali aku dan mungkin anak-anak burung itu, tidak pula mama.

Matanya menyuguhkan ketenangan, caranya tersenyum membuatku terpana, kehangatan sorot matanya membuatku selalu merindukannya setiap malam, gerakannya yang nampak hangat membuatku merasa tenang meski dari kejauhan, kesigapannya dalam bertindak membuatku sangat terkesan akan ketekunan dan kedisiplinannya.

Aku banyak belajar dalam diamku, dan aku tak senang bersuara. Mama selalu bilang, saat aku bicara kalimatku acak-acakkan dan kasar.

Aku juga sering bingung, entah mengapa setiap kali aku berbicara pada mama, intonasiku berubah, ekspresiku pun nampak sangat tidak ramah. Maka bisa dipastikan mama tidak senang dengan caraku. Yang ku tahu hanya, aku sering kehilangan kehangatan sorot mata mama serta senyumnya tak lagi ramah seperti saat aku melihatnya dari jendela kamarku.

Namun, tiap malam datang, aku selalu berdoa semoga pagi segera tiba, karena aku akan kembali duduk di sudut jendela kamarku, untuk tetap melihat mama. Karena aku tahu, aku tak pernah bisa berhenti mengaguminya.

Untuk Quen.. Jadilah kuat dek.. :))

Jumat, 14 Desember 2012

The Treason

12 Desember: 01.00 pm. Di lapangan foot ball Universitas.

“Kami masih berteman, dan tidak ada yang berubah sampai detik ini!!,” wajah Harmoni memerah saat mengatakannya, ia hampir menangis. Menangis menahan segala kesedihan di hatinya. Membayangkan indahnya persahabatan tanpa memandang agama yang telah mereka bangun sejak bertahun-tahun lamanya. Ia yang Kristen, Yuree sorang Konghuju, dan Shinri yang budhisme.

“Tapi seperti yang kau lihat, saat ini…mereka tidak ada di sisimu!, kamu telah kehilangan mereka Harmoni!, kamu telah kehilangan mereka!..” Ujar Gorin. Sepertinya dia berhasil menjatuhkan Harmoni, menjatuhkan segala hal yang telah ia bangun dalam dirinya, sebuah kepercayaan.

“Aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini Gorin, aku tahu kau salah, kau salah!!” Teriak Harmoni mencoba mengendalikan diri, ia berbalik memunggungi Gorin, mencoba mengatur nafas, dan membuang jauh segala perasaan buruk yang memenuhi kepalanya.

“Apa kalian benar-benar tega melakukan ini teman-teman?,” Hati kecilnya berkata, melontarkan tanya yang tidak pernah didengar oleh siapa pun. “Jika Gorin benar tentang ini, aku harap kalian akan mengatakannya lebih dulu sebelum seorangpun mendahuluinya. Dan jika Gorin memang benar tentang ini, kalian benar-benar telah menyakitiku.” Lirihnya dalam hati.

“Sudahlah Harmoni, kau harus terima kenyataan!. Inilah kenyataan, kenyataan bahwa mereka tidak ada disini bersamamu!!” Suara Gorin kembali mencengkram keputusasaan dalam diri Harmoni, dan dalam hitungan detik, tubuh Harmoni tergeletak tak sadarkan diri. BRUKK……

“Hem, orang sepintar kamu Harmoni, ternyata tidak sekuat yang ku pikirkan.” Gorin pun berlalu.

***

13 Desember: 06 pm. In Yuree’s Apartment.

“Ree…penampilanmu benar-benar sempurna…aku yakin malam ini akan berjalan dengan baik..” Langkah kaki itu pun berhenti, tepat di belakang bayang-bayang Yuree. Senyumnya mengembang tidak sempurna, ada sedikit luka yang menahannya. Yuree pun menjatuhkan tubuhnya, menyambut sanjungan yang belum pernah ia pahami kebenarannya.

“Terimakasih Li, kau memang yang terbaik..” bisiknya, suaranya terdengar jelas di telinga kanan Li, dan seketika matanya memerah.

“Pergilah, semua sudah siap…”

“Baik aku juga sudah siap, terimakasih Li..” Yuree pun berlalu. Li memandangnya dengan seksama, seperti tidak ingin melewatkan sesuatu.

“Ree, kamu tidak ingin menghubungi siapapun sebelum berangkat??,”

“Tidak, kehadiranmu telah menyempurnakan malam ini Li.” Senyum itu pun kembali mengembang dalam waktu singkat, dan bayangannya tak lagi bisa ditangkap Li.

Ia pun memejamkan kedua matanya, menggigit kedua bibirnya, dan kesedihan tiba-tiba mengurungnya. Pandangannya menyisir ruangan, dan bayangan Yuree memenuhi setiap sudutnya. Membayangkan perempuan yang dicintainya pergi menemui pria lain pilihannya. Kakinya kembali mengambil langkah kecil, dan ia menghempaskan tubuhnya di atas tumpukan gaun Yuree yang berserakan di atas sofa merah. Ia menghabiskan beberapa menitnya disana, menyesali apa yang tidak bisa ia miliki.

***

13 Desember: in front of Shinri’s Home.

“Shin…mobil Yuree sudah di depan..!”

“Iya…minta dia menunggu, aku akan menyempurnakan penampilanku dengan lipstick merah ini Ma..”

“Shin, dia sudah berteriak-teriak memanggilmu..”

“Iya Ma…Tunggulah…!!” Yuree menghitung tiap detiknya yang berlalu dengan sia-sia. “Shinri benar-benar membuatku marah. Jangan sampai dia berpikir akan mengalahkan penampilanku di depan Keen.”

“Aku siap!!” Suara Shinri tiba-tiba muncul di balik pintu mobil Yuree.

“Oh Tuhan, apa kau tidak merasa lipstikmu terlalu berlebihan Shin?,”

“Aku sudah menduganya, kamu pasti akan mengatakan itu. Tapi tidak tidak, aku tidak akan mengurangi merahnya kecuali saat meneguk beberapa bir.” Senyum Shinri mengembang penuh percaya diri.

Mobil itu pun melaju, dengan kecepatan yang cukup untuk seorang pengemudi perempuan. Ada tawa sepanjang perjalanan, dan perlahan mengudara. Sepertinya mereka benar-benar menikmati perjalanan ini. Hingga hp Shinri bergetar, dan Yuree tetap bernyanyi.

Shinri, Harmoni will be die. You must come. Harmoni’s Mom.

“Astaga, Ree..Harmoni, dia dalam bahaya.” Suara Shinri mendesah penuh kepanikan.

“What?, Harmoni?, apa yang terjadi padanya?,” Ree memperlambat kemudinya.

“Kita harus kesana Ree, Harmoni membutuhkan kita.”

“Tunggu-tunggu, kau yakin akan menemuinya!?,”

“Apa maksudmu??,”

“Shin, aku sudah bertahun-tahun menunggu malam ini, kamu tahu itu. Aku tidak bisa, aku akan tetap menemui Keen.” Yuree menghentikan mobilnya, matanya menatap Shinri tajam.

“Aku tahu Ree, tapi Harmoni sahabat kita.”

“Tidak, aku tidak akan menunggu malam ini lagi, pergilah. Dan maaf, aku tidak bisa mengantarmu.”

“Ada apa denganmu Ree???,”

“Tidak ada, aku hanya berusaha jujur pada diriku, bahwa aku sudah muak dengan persahabatan ini, Harmoni tidak adil, dia tidak berhak memperlakukanku seperti ini.”

“Apa yang kau katakan?? Kau sadar itu Ree?, ini Harmoni, ini Harmoni Ree.”

“Aku tahu, tapi aku tidak akan membiarkan Keen menungguku terlalu lama. Sekarang terserah padamu Shin, kau akan menemaniku menemui Keen, atau kau akan menemui Harmoni?, aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu jawabanmu Shin.” Yuree membuang tatapannya ke arah luar mobil, tangannya nampak siap mengambil gas.

“Ree, apa ini??,”

“Cepat Shin, aku hanya punya waktu 10 detik, setelah itu jika kau tetap disini, ku anggap kau telah memberiku jawaban. Tapi seingatku, kau telah berjanji menemaniku malam ini.”

“Astaga, Ree..”

“Oke, time’s up!.” Yuree pun kembali melajukan mobilnya, tanpa sepatah kata. Sedang Shinri hanya terdiam, dan sibuk mengulang-ulang membaca pesannya, sambil berkata pelan,

“Harmoni, tunggulah…tunggu kami… Aku yakin kau pasti bisa mengerti bagaimana perasanaan Ree.. Tolong maafkan kami..” Shinri menghembuskan nafasnya.

***

13 Desember: 07.00 pm. Sesampainya di Hotel...

“Shin, aku benar-benar tidak mau Harmoni mengganggu malam ini. Malam ini milikku.” Ucap Yuree saat beberapa pria tampan menyambut mereka di depan pintu masuk hotel.

“Aku tahu, akan ku hapus nama Harmoni dari pikiranku sekarang,” Sahut Shinri. Seluruh meja telah terisi, kecuali satu meja kosong yang telah dipesan Li untuk Yuree. Meja itu terletak di sudut paling menakjubkan, kursi-kursinya menghadap tepat ke arah taman hotel yang sangat indah. Ada dua tangkai mawar di dua sisi meja. Beberapa bir terkenal pun telah siap dituangkan.

“Lihatlah Shin, Li benar-benar tahu apa yang ku inginkan.” Lirih Yuree sambil berjalan ke arah meja.

“Tapi dimana Keen, bukankah kita sudah terlambat beberapa menit?,” Tanya Shinri sambil mengedarkan pandangan ke beberapa sudut hotel.

“Pasti dia sedang bersiap-siap, aku yakin Keen akan datang.” Jawab Yuree. Beberapa pelayan berdiri mengelilingi sisi meja. Menunggu perintah dari Yuree dan Shinri.

Setelah 10 menit berlalu..

“Bel, apa kau belum melihat Keen datang?,” Suara Yuree menatap salah seorang pelayan yang berdiri tepat di sampingnya.

“Belum Nona, tapi tenanglah, dia akan datang sebentar lagi..” Jawab sang pelayan berambut pirang.

“Baik.” Potong Yuree.

15 menit berlalu…

“Nona, Tuan Keen sudah datang, dia akan sampai di meja ini dalam 3 menit. Ollu telah menyambutnya di pintu masuk.”

“Shin, kau tahu aku menunggu saat ini…” Suara Yuree kembali meyakinkan Shinri. Tak lama kemudian..

“Silahkan Tuan..” Suara Ollu membimbing Keen ke arah kursi yang telah disiapkan.

“Shinri…Yuree…Kalian benar-benar cantik malam ini. Tapi maafkan aku, aku terlambat beberapa menit..”

“Iya, tapi itu lebih baik, dari pada tiba-tiba kau tidak datang. Hidupku pasti hancur Keen..” Jawab Yuree penuh ketidaksabaran, matanya mencoba menangkap mata Keen

“Yuree benar.” Shinri menegaskan. Setelah acara minum dan makan malam berlalu, Yuree meminta Hobel dan Ollu mempersiapkan rencana selanjutnya. Keduanya pun bergegas pergi, dan tidak lama kemudian kembali dengan senyum yang mengembang diantara kedua pipinya.

“Semua sudah siap Nona..” Yuree pun membalasnya dengan senyuman.

“Keen, aku mohon…tinggallah beberapa saat dengan ku. Shinri akan pergi sebentar, ada yang harus dia kerjakan.”

Shinri nampak terkejut dengan kalimat Yuree, dia tidak tahu bahwa dia harus pergi secepat ini. Yuree tidak berbicara tentang ini sebelumnya. Tapi dia akan melakukan ini demi Yuree, tanpa banyak tanya.

“Yuree benar, ada yang harus ku kerjakan Keen. Tinggallah beberapa saat disini, aku yakin sudah lama kau tidak bersantai seperti malam ini.” Shinri pun berlalu, Ollu meningikutinya dari belakang.

“Apa yang kau inginkan dariku Yuree?, sepertinya aku tidak dilibatkan dalam rencana-rencanamu malam ini?.” Suara Keen sambil meneguk bir terakhirnya. Yuree tersenyum, “Karena rencana hanya dibuat oleh para pemain di belakang panggung, sedangkan kamu adalah tokohnya Keen, bagaimana mungkin kamu dilibatkan tentang urusan di belakang panggung, itu sangat tidak sebanding untukmu.”

“Kau terlalu berlebihan menyanjungku..” Keen tertawa pelan.

“Tidakkah kau bosan duduk disini Keen?, aku ingin berjalan-jalan di taman itu, kau mau mengantarku?,”

“Bukankah pengantar adalah pelayan?, maka aku berubah menjadi pelayanmu sekarang, baiklah…” Keen pun berdiri, memberikan sambutan tangannya ke arah Yuree. Mereka pun berjalan menyusuri taman. Hingga tiba di balik pepohonan, Yuree tiba-tiba mendekap Keen dari belakang, lalu pelan-pelan membelai punggung Keen.

“Apa yang kau lakukan terhadap pelayan ini Nona Yuree?.” Tanya Keen, dengan tetap tenang.

“Keen, jika para pengagumku mengatakan aku adalah perempuan yang tegar, aku kini mengaku lemah di hadapanmu. Jika pun kau memintaku memijat kakimu, aku akan melakukannya Keen.”

“Yuree, jangan kau tunjukan kelemahanmu di depanku, karena aku takut rasa kasihan yang akan memenuhi kepalaku.”

“Aku tidak peduli Keen, aku lelah menunggumu!!.”

“Bukankah, banyak pria yang kau kencani selama ini?.”

“Keen, aku melakukan itu, karena aku lelah menunggumu.”

“Kau tidak mencintai mereka?!”

“Sebenarnya aku memang mencintai salah satu dari mereka, tapi itu hanya karena rasa jenuhku Keen. Mengertilah…”

“Lalu, menurutmu, apa kamu pantas menjadi perempuanku?,”

“Ya, tidak ada yang lebih pantas selain aku.”

“Kau yakin aku akan menerimamu?,”

“Yakin.”

Seketika, Keen meraih tubuh Yuree dengan kedua tangannya yang kuat, lalu memandang lekat-lekat kedua matanya. Namun dengan gerakan yang tidak kalah cepat, Yuree menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Keen, dan merasakan harumnya tubuh pria yang dicintainya. Semakin Keen berusaha melepaskannya, Yuree semakin mempererat pelukannya. Hingga, tiba-tiba, Yuree mendekatkan bibirnya ke bibir Keen. Dan ia enggan melepasnya.

***

Shin, Harmoni di rumah sakit, datanglah. Kau masih bersama Yuree?. Ajak dia. Shinri dikejutkan dengan sms yang diterimanya.

“Li, dia sudah bersama Harmoni sekarang?.” Batinnya.

Iya, aku masih bersama Yuree. Tunggulah, aku akan segera menyusul setelah Yuree siap.

Tidak ada balasan lagi dari Li, dan Shin mulai sedikit gusar. Tapi dia tetap akan duduk di ruangan ini, sebelum yuree mengajaknya pulang. Meski ia tak tahu kapan.

***

Ruang kamar Harmoni terletak di lantai 6, No 123 Orchid. Berada di sisi ketiga dari arah lift. Suara pantulan sepatu pantofel membuat mama Harmoni terperanjak keluar.

“Mereka datang..”

“Tenang Nyona Evi, saya yang akan melihat keluar, tenanglah disini bersama Harmoni.” Tukas Li, yang dengan sigap beranjak berdiri.

“Baik, terimakasih Li, tolong segera.”

“Iya Nyonya.” Sesampainya di pintu luar ruangan, Li hanya menemukan dua sosok pria berkacamata berjalan mendekat ke arahnya. Li menunggu sebentar di tempatnya berdiri.

“Apa anda Tuan Li?, perkenalkan saya Ollu dan ini Hobel.” Sapa keduanya, sambil mengulurkan tangan.

“Siapa kalian?,”

“Kami membawa pesan dari nona Yuree untuk nona Harmoni,” seketika Ollu menyodorkan secarik kertas yang terlipat rapi ke arah Li.

“Ada dimana mereka?, apa mereka tidak akan datang?” Tanya Li, penuh rasa ingin tahu.

“Itu saja tuan yang bisa kami sampaikan, kami akan pergi.” Dan mereka pun segera membalikkan tubuh, dan mengambil langkah menjauh dari Li.

“Apa yang kalian lakukan?,” lirih Li. Ia pun berjalan dengan lemas, matanya tidak beranjak dari secarik kertas di genggamannya.

“Bagaimana Li?, dimana mereka?,” Tanya nyonya Evi dengan cepat setelah melihat gagang pintu terbuka.

“Maaf Nyonya, mereka tidak akan datang malam ini.” Jawab Li singkat.

“Apa??,”

“Iya Nyonya, ada titipan untuk Harmoni, dua pria datang menyerahkannya.” Ungkap Li, wajahnya nampak berubah.

“Surat untuk Harmoni?, apa yang terjadi dengan mereka?, tidak mungkin mereka hanya mengirimkan surat untuk mewakili kehadiran mereka di sisi Harmoni..!” Ucap Mama Harmoni, dengan nada sedikit memberontak, dia berjalan ke arah Li.

“Sebenarnya ada apa ini Li??,” Tanyanya sekali lagi.

“Entahlah Nyonya, mungkin surat ini yang akan menjawabnya.” Ujar Li, sambil menyodorkan kertas yang ada di tangannya. Mereka pun membacanya..

23.18 pm. In this Place. Harmoni, what’s going on whit you?.. Ku akui aku memang sedikit cemas mendengar kabarmu.. Tapi kau tahu benar tanggal ini sudah ku rencanakan sejak setahun yang lalu, 13 Desember 2012. Meskipun aku tidak melibatkanmu, bukankan sudah seharusnya kau tahu!?. Aku datang menemui mimpiku, cintaku dan kebahagiaanku. Dan aku tidak akan pernah melibatkanmu. Karena kau tahu?, aku sudah lelah dengan semua ocehanmu. Kau selalu menganggapku tidak pantas, dan membuatku muak dengan segala komentarmu tentang cintaku pada Keen. Kau selalu bilang, kalau aku tidak pantas untuk Keen, karena aku selalu berkencan dengan pria-pria itu!. Tapi kau salah Harmoni, kau salah!!. Malam ini Keen jatuh di pelukanku. Shinri akan bersamaku, dia tidak akan ku biarkan menemuimu.. Dan satu hal lagi, entahlah, aku tidak tahu akan menemuimu kapan.. Yang jelas, malam ini maaf.. kami tidak akan datang menemuimu..

“Oh Tuhan, apa yang terjadi Li?, mengapa Yuree tega melakukan hal ini?.” Isak nyonya Evi, sambil melipat surat yang ada ditangannya.

“Entahlah Nyonya, aku akan menemui Yuree setelah ini.” Ujar Li, dia juga mulai tak bisa mengendalikan diri, ada kemarahan lain yang bertumpuk mengisi kepalanya.

“Harmoni…kuatkan dirimu honey…” Lirih Mamanya mendekat dan memeluk tubuh yang terbujur diam itu. Tubuh Harmoni terasa dingin. Ada air mata yang menetes di pipi nya, tanpa sepengetahuan Mamanya. Harmoni menangis.

***

14 Desember: 09.00 pm, in Logos Café.

“Oh…Keen, kau sudah datang ternyata.” Sapa dua gadis berambut pirang ke arah kursi di depannya. Ada Keen yang diam terduduk di salah satu kursi yang tertata melingkar itu.

“Apa yang kau inginkan dariku sebenarnya??,” Tanya Keen, suara terdengar gagal menenangkan hatinya.

“Oh, Keen…tunggulah sebentar, bagaimana kalau kau menari denganku?,” Jawab salah satu gadis itu, mereka telah menjatuhkan tubuhnya ke kursi kosong di samping Keen.

“Maaf, aku tidak punya banyak waktu..!”

“Hahahaha…tuan tampan ini sepertinya tidak punya kesabaran yang cukup untuk kita Mori.. aku jadi takut mendengarnya…”

“Hahaha…” Gadis lain menimpali, mereka mulai sibuk menyulut rokok.

“Baiklah baiklah, sebelum kau membunuhku Keen, aku akan menjawab pertanyaan pertamamu tadi.” Asap mengepul dari mulut kedua gadis itu, asap itu mengudara dan hilang, hingga beberapa kali hal yang sama berulang.

“Em…Tuan Keen yang terhormat, kami hanya ingin kau permainkan Yuree seperti kau mempermainkan boneka bekas. Bagaimana?,”

“Siapa sebenarnya kalian?, aku tidak mengerti.” Suara Keen terdengar kasar.

“Oh, Gorin kau benar, pria ini memang tidak punya kesabaran yang cukup untuk kita.” Mori menanggapi.

“Fine, kita memang belum berkenalan, bahkan melalui pesan yang ku kirim padamu kemarin. Namaku Gorin, dan dia Mori.” Gorin kembali menghisap rokoknya. Dan tak lama, kembali berbicara.

“Keen, ikuti apa yang diinginkan Yuree, tapi kemudian tinggalkan dia, dan hidupmu akan selamat.” Jelas Gorin, suaranya penuh dengan tekanan.

“Apa hakmu memerintahku!?,” Kilah Keen penuh amarah.

“Karena adikmu berada di bawah kekuasaanku, aku akan membunuhnya jika kau tidak mengikuti permintaanku.” Tegasnya.

“Apa?, kamu serius mengancamku?...” Suara Keen terdengar lebih santai dari sebelumnya.

“Hem, kau tidak percaya??, aku akan membuktikannya padamu. Besok sore, kau akan melihat adikmu terbunuh di depan rumahmu. Tanpa jejak dan tanpa ada bukti sedikitpun, meski kau tahu, aku lah yang ada di belakang itu semua.”

“Apa maksudmu??,”

“Aku hanya ingin mengingatkanmu, bahwa semua akan jadi semakin sulit buatmu Keen, jika kamu tidak melakukan apa yang ku sampaikan ini.”

“Kalaupun aku meninggalkan Yuree, aku tidak akan melakukannya untukmu Gorin, tapi aku akan melakukannya sendiri tanpa permintaan dan bahkan ancaman dari perempuan sepertimu!.” Desah Keen, matanya mencoba menatap tajam ke arah Gorin.

“Apa!?, jadi kau benar-benar tidak mencintai Yuree??,” Ekspresi Gorin berubah, ia tak yakin apa yang telah didengarnya.

“Sedikitpun itu bukan urusanmu!.” Potong Keen. “Aku akan pergi, selamat tinggal, dan jangan pernah melakukan hal konyol ini lagi.” Tambahnya.

“Baik, aku tahu, kedengarannya semua akan lebih mudah sekarang. Terimakasih Keen.” Gorin nampak tersenyum puas.

“Jangan berterimakasih padaku, aku tidak ingin terlibat apapun denganmu lagi.” tandasnya.

Keen pun berlalu, meninggalkan semua hal yang tidak pernah terpikirkan di kepalanya. Sejak pertemuan dengan Yuree semalam, hingga kata-kata Gorin yang baru saja didengarnya. Semuanya terasa sangat mengganggu. Ia mencoba berpikir sejenak sambil tetap melangkahkan kakinya. Hal yang paling tidak ia sangka adalah Yuree, yang tiba-tiba mengaku telah jatuh hati padanya sejak setahun yang lalu, ciuman dan dekapan Yuree semalam, serangkaian permintaan Yuree yang dilayangkan di telinganya, sampai pertemuannya dengan Gorin beberapa menit yang lalu. Serangkaian peristiwa ini membuat dua malamnya terkuras habis hanya untuk berpikir. Namun satu hal yang pasti, ia harus mengambil sikap sesegera mungkin, itulah yang diyakininya.

***

15 Desember: 12.10 pm, in one of hospital Room. Harmoni masih belum sadarkan diri, tapi mamanya sering melihatnya menangis beberapa saat terakhir ini. Ada sesuatu yang tak bisa lagi ia sembunyikan dengan baik. Rasa ingin tahu yang teramat besar juga selalu mengganggu pikiran Evi.

“Harmoni, sadarlah sayang… Mama benar-benar mencemaskanmu..” Ia pun kembali menghujani putrinya dengan pelukan. Ia mengambil kalung salip yang ia kenakan, dan memindahkannya ke leher Harmoni. “Semoga Yesus benar-benar mendengar doa kita sayang..” Bisiknya penuh air mata.

***

“Jangan begini Yuree, kau sudah keterlaluan!!.” Ujar Li, dengan nada kesal. Wajahnya menatap Yuree tajam.

“Li, hentikan, sepanjang jalan kau terus-menerus memprotesku. Ada apa denganmu?, Apa kau mencintai Harmoni??.” Sahut Yuree dengan sedikit senyuman di bibirnya, ia pun kembali berujar. “Mengaku saja.. Banyak pria dewasa sepertimu yang jatuh hati pada Harmoni, mungkin kebanyakan kalian menganggapnya lebih dewasa dari pada aku.” Tandasnya.

“Ucapanmu semakin konyol Yuree, kamu benar-benar keterlaluan. ketidakdewasaanmu telah menghancurkan banyak hal, kau tahu itu!!.” Suara Li semakin meninggi, kali ini ia benar-benar tidak mampu menguasai diri.

“Aku lelah dengan semuanya Li, cukup!!. Aku akan bahagia dengan Keen, itu saja yang harus kamu tahu, tidak lebih. Dan dengar, aku benci dihakimi seperti ini!!.” Yuree pun berteriak, semampunya, suaranya yang lembut sedikit berubah menjadi agak meninggi.

“Harmoni benar tentangmu, kamu memang egois, tidak berperasaan, bahkan atas apa yang telah ia lakukan untukmu, kamu masih saja merasa benar!!.”

“Tidak ada yang berhak menghakimiku Li. Aku lelah, jika harus berpura-pura diam dan menjadi penurut. Selama ini, Harmoni terlalu banyak bicara. Dan aku membenci setiap apa yang ia katakan tentangku.”

“Heh, kamu bahkan tidak paham apa yang dimaksud Harmoni atas setiap ucapannya. Kamu masih terlalu egois untuk memahami semuanya dengan baik seperti Harmoni Ree!.”

“Cukupp!!!!!, cukup kau menghinaku begini Li. Cukup!!!!!, aku benar-benar tidak tahan!!!.” Nafas Ree terdengar tersenggal-senggal, ia pun tak mampu mengusai diri. Kedua tangannya, menutup rapat telinganya, berusaha tak lagi menangkap suara Li.

“Kata-kata Harmoni semakin benar, aku memang butuh banyak kesiapan untuk mencintaimu Ree. Dan sepertinya aku tak sanggup lagi.” Tiba-tiba Nada suara Li terdengar sangat putus asa. Ia membuang muka, jauh ke arah luar mobil. Dan ia nampak sangat tak berdaya.

“Apa?...apa yang kau katakan Li??, kau mencintaiku??.”

“Iya, aku mencintaimu, dan hanya pria tolol yang mengaku tidak mencintaimu setelah apa yang kau lakukan untuk mereka.”

“Apa??, kau bilang apa??.”

“Ree, kau sering bilang bahwa kau adalah pencinta yang baik. Karena kau telah memperjuangkan semuanya demi cintamu. Cintamu pada Keen, dan cintamu pada pria lain di masa lalumu. Tapi Ree bagiku kau tidak paham cinta itu apa, selain hanya sekedar bermain kartu.”

“Apa maksudmu??!!.”

“Ree, kau selalu mengencani banyak pria, memenuhi apapun yang mereka inginkan, dan membuat mereka bertekuk lutut atasmu. Bahkan tanpa ku sadari, ternyata aku adalah salah satu dari mereka. Tapi setelah kau bosan, kau buang mereka jauh, dan meletakkan mereka di ujung jurang. Dan setelah ini kau merasa Keen layak menjadi milikmu?, padahal sedikitpun aku tidak yakin bahwa Keen mencintaimu.”

“Ohh…kau semakin mirip dengan Harmoni Li, kau banyak bicara dan membosankan!!”

“Bahkan, kau hanya mendengarkan orang-orang yang berkomentar tentang keindahan dalam dirimu. Selebihnya, kau akan membuang semua komentar yang tidak ingin kau dengar. Termasuk Harmoni. Dan setelah apa yang mereka lakukan untukmu, kau bahkan enggan menemui mereka??, sama seperti Harmoni yang tergeletak sekarang. Kau keterlalun Ree, kau benar-benar keterlaluan. Kau mengukur semuanya dari sisimu. Kau bahkan pendendam. Lihatlah betapa buruknya dirimu. Bahkan pada Harmoni pun, kau tidak melakukan apapun!!.” Tanpa diketahui Li, ternyata wajah Ree telah tergenangi air mata. Pelan-pelan, terdengar suara sesenggukan yang menggoncangkan tubuhnya.

“Hentikan Li… tolong hentikan… aku tidak sanggup mendengar kata-katamu lagi…” Suaranya melemah, pasrah, dan semakin terdengar tidak jelas karena basuhan air mata yang memenuhi wajahnya.

“Temuilah Harmoni Ree, temuilah dia. Ajaklah Shinri juga. Tapi jika kau benar-benar tidak ingin menemuinya, tolong jangan halangi Shinri untuk menemui Harmoni.” Lirih Li dengan nada yang lebih tenang dari sebelumnya. Yuree tetap menangis, dan Li tetap terdiam. Bayangan Harmoni tiba-tiba memenuhi kepala mereka.

***

Li, where a u?, please acompany me, aku ingin bertemu dengan Harmoni. Li terkejut saat membaca pesan di layar hp nya. Dengan sangat sigap ia segera menelfon sang pengirim pesan.

“Shin, aku di rumah sakit. Kemarilah.”

“Oh, baguslah, 10 menit lagi aku sampai. Tapi tolong temui aku dulu Li, aku butuh saranmu.”

“Baik, I’ll waiting for you. Meet me in canteen.”

“Ok, thanks.”

20 menit kemudian…

“Li, aku takut.”

“Sudahlah, kita baru saja membicarakan ini. Harmoni tidak seperti yang kalian bayangkan. Jangan biarkan dia menunggumu terlalu lama Shin. Bicaralah apa adanya tentang Yuree, aku yakin dia pasti bisa mengerti.”

“Baiklah.” Shinri menarik nafasnya dalam-dalam sebelum memasuki ruang kamar Harmoni. Ada tante Evi yang duduk di sofa, keadaannya terlihat menyedihkan. Shinri pun dengan segera memberi pelukan, dan air mata mewakili kata-katanya.

“Tante, aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa kecuali dengan air mata ini.”

“Iya tante mengerti, tenanglah, mari kita meminta kesembuhan Harmoni pada Yesus.” Ucap Tante Evi dengan tenang.

Shinri tenggelam dalam tangisan. Lalu pelan-pelan, tante Evi menggandengnya, mendekati Harmoni.

“Astaga, apa yang terjadi padamu Harmoni?. Kau benar-benar terlihat menyedihkan. Kau kurus, matamu hitam dan cekung tak karuan. Bibirmu..bagaimana bisa sekering ini?, Kulitmu pucat Harmoni. Oh Yesus, lindungi Harmoni, jangan kau buru-buru membawanya ke surga.” Shinri memeluknya dengan linangan air mata yang tidak kunjung berhenti. Terus menerus, hingga tanpa sadar, tangan Harmoni bergerak.

“Tante, Harmoni bergerak..” Teriak Shinri dengan senyum yang sedikit mengembang.

“Oh Yesus, benarkah Shin??, Li..tolong panggilkan dokter.” Seketika Tante Evi mendekap tubuh Harmoni, dan merasakan tangannya bergerak.

“Shin, Harmoni sadar…,” Wajah Tante Evi berubah, ia melihat tajam ke arah Shinri, dan mencium kedua tangan Harmoni.

Belum sempat dokter datang, Harmoni telah mulai membuka matanya. Dia pun tersenyum pelan, dan diikuti beberapa air mata yang berjatuhan di pipinya, setelah sadar apa yang telah terjadi padanya. Ia melihat Shinri dan Mamanya berdiri di sisi kanan dan kiri ranjang. Tubuhnya dipenuhi selang.

“Shin…kau…sudah datang?, Yuree… dimana?, dimana dia?...” Tanya Harmoni dengan nada yang terputus-putus, ia terlihat masih sangat lemah.

“Maafkan aku Harmoni, aku terlambat datang. Yuree masih menenangkan dirinya di apartemen. Entahlah, kami bertengkar semalam. Dia bahkan tidak menitipkan salam untukmu.”

Harmoni meraih tangan Shinri dengan sangat lemah, lalu berkata “Shin, ada yang salah dengan kita bertiga. Aku tidak ingin persahabatan kita memburuk seperti ini. Kau tahu, akhir-akhir ini, kita tidak lagi sibuk untuk saling menjaga. Gorin akan merusak persahabatan kita Shin. Kau tahu?, perasaan cinta akan mengurung kita di sangkar masing-masing, Gorin telah merencanakan semuanya dengan baik Shin. Ada yang salah dengan definisi cinta dan persahabatan di kepala kita. Cinta tidak akan pernah melukai shin, dan cinta tidak akan pernah menuntut kesempurnaan. Persahabatan pun demikian. Harusnya, setiap orang yang memahami persahabatan dengan baik, tidak akan pernah salah atas perasaan cintanya. Tapi kenapa kita justru terjebak saat ini Shin?. Gorin akan menghancurkan kita semua, jika kita selemah ini.”

“Gorin menemuimu?, Astaga.. apa yang telah ia lakukan padamu Harmoni?, apa dia yang membuatmu seperti ini?,” Shinri terlihat cemas, dan ada penyesalan yang tak bisa ia sembunyikan.

“Iya, Gorin yang melakukan semuanya. Maafkan aku, aku lebih dulu tak sadarkan diri sebelum mengatakannya pada kalian Shin.. Aku berharap kalian bisa segera datang, tapi sepertinya semua terlambat. Sampai akhirnya Yuree benar-benar mewujudkan pertemuan tanggal 13 kemarin. Dan semua semakin memburuk, setelah ia tak mampu mengendalikan perasaan cintanya pada Keen yang sedang berdiri tepat di hadapannya. Kau lihat, betapa perasaan cinta telah menguasai dirinya kini Shin, hingga dia kesulitan memikirkan hal lain. Aku mohon Shin, mengertilah bahwa semua konsep kehidupan ini adalah sama. Tidak ada yang berubah. Mencintailah dengan tulus, dan jangan senang menyakiti, lalu bersahabatlah dengan tulus, dan jangan biarkan ada iri dengki tinggal di hati. Aku hanya ingin Yuree melihat segala resiko atas apapun yang ia lakukan, tidak lebih Shin. Aku takut dia akan terluka lagi, hanya itu. Tapi sepertinya dia salah mengerti tentang apa yang ku maksud”.

“Harmoni, Li memang benar tentangmu, kamu tidak seperti yang kami bayangkan..” Shinri memeluk erat tubuh Harmoni, dan mereka menangis bersama.

***

“Keen, kau bisa menemuiku malam ini?,” Suara Yuree terdengar sedikit terisak.

“Ree, kamu kenapa?, kamu menangis?...” Jawab Keen dengan nada peduli.

“Keen, aku butuh kamu malam ini, datanglah ke apartemenku..”

“Oh, seandainya bisa aku benar-benar ingin datang Ree, tapi maaf…aku sudah berjanji menemui adikku, dan aku tak bisa membatalkannya. Coba hubungi Shin, atau temanmu yang lain.” Keen menambahkan.

“Keen, aku butuh kamu!!, aku tidak butuh mereka semua!!,” Keen terperanjak, suara Yuree terdengar sangat marah.

“Ree, aku tidak bisa..” Jawab Keen, tegas.

“Keen kalau kau tidak datang, aku akan bunuh diri!!.” Kini Yuree mencoba mengancam Keen.

“Kau tidak berhak melakukan itu Ree.. aku akan sangat membencimu jika kau benar-benar melakukannya...” Keen berbalik mengancam Yuree, nada suaranya tetap tegas, dan lembut.

“Keen, bahkan saat aku akan mati pun, kamu tidak peduli padaku…?” Suara Yuree berubah meratap.

“Aku tidak bisa Ree.. Jaga dirimu, dan ku mohon, lupakan aku. Aku tidak bisa..”

Mendengar apa yang dikatakan Keen, seketika tubuh Yuree terasa lemas, istana impian yang telah di bangunnya beberapa malam lalu bersama Keen, tiba-tiba runtuh dan menindih tubuhnya, tanpa tersisa. Ia tak berdaya, dan tidak ada satu pun yang menolongnya.Yuree benar-benar tak bisa kuasai diri, dia pun menangis terisak di sofa merahnya. Menangis dan menjerit tanpa ada seorang pun yang datang. Dikoyaknya pakaian yang dikenakannya, sambil berjalan terhuyung ia membanting semua barang yang ada di sekelilingnya. Tiba-tiba ia meraih gunting di tepi meja, hingga sampailah ia di pintu kamar mandi, dan menyatat pergelangan tangannya. Darah mengalir, dan seketika ia pingsan tanpa ada seorang pun yang tahu.

THE END *** Just note:

persahabatan itu ikrar, harusnya tak dinodai oleh ego tiap pengikrarnya.. namun, ketahuilah, tiap orang berhak memiliki batas privasinya sendiri-sendiri.. perbedaan caralah yang sering jadi pemicu.

Senin, 10 Desember 2012