Minggu, 17 Oktober 2010

naluri bertuhan, dari siapa?

tak ada yang menyuruh kita berdoa kepada Allah..

Jefri lang, seorang mantan atheis yang akhirnya memutuskan untuk jadi muallaf setelah membaca tafsir surat al-baqharah ayat 31-38 (tentang penciptaan adam)
Di sebuah pagi yang menyenangkan, saat bersepeda dengan putri kecilnya berusia 9 tahun, Aisyah.
sebuah pertanyaan yang cukup berbobot dilontarkannya dari mulut kecilnya, “bi, kenapa sih kita harus berdoa pada Allah, dan siapa juga yang menyuruh kita berdoa padaNya?..”
Jefri hanya diam, sembari mencoba meyakinkan dirinya, bahwa pertanyaan itu benar2 terlontar dari putrinya.
“sayang, kau masih ingat saat abi sakit dan masuk ruang ICU?”
“iya..”, jawabnya dengan nada berduka
“apa yang kau lakukan saat itu saying?”
“aku berdoa”
“pada siapa?”
“pada Allah”
“lalu siapa yang menyuruhmu untuk melakukannya?”
“entahlah, aku hanya merasa ingin berdoa untuk abi”
Demikianlah sayang, manusia itu lemah, dan saat ia berada dalam kelamahan dan ketidak berdayaan, ia akan tahu dengan sendirinya, bahwa ada Dzat yang maha kuat yang akan menyelamatkannya. Ini dinamakan naluri bertuhan sayang..”
“lalu apa yang kau rasakan setelah berdoa?”
“aku hanya berharap, dan cukup tenang saat seusai berdoa”, jawabnya lugu..

Selasa, 12 Oktober 2010

pentingnya training ESQ buat remaja

Setiap orang memiliki bakat dan minat yang harus diberi ruang dan wadah untuk dikembangkan dan diberdayakan agar lahirlah generasi-generasi yang mampu berkontribusi positif secara total di lingkungan masyarakat, guna membangun peradaban dan kebudayaan yang baik di kehidupan yang terus berkembang di zaman modern ini.
Perkembangan pola pikir dan kebudayaan yang terjadi sekarang ini, tidak selamanya memberi dampak positif bagi masyarakat umum, terkhusus umat islam sendiri. Proses penerimaan nilai-nilai baru juga harus dengan fermentasi ketat, tidak dengan mudah menerima setiap budaya yang masuk.
Dampak dari perkembangan zaman ini melahirkan istilah-istilah baru yang sangat dekat dengan pemerasan energi manusianya. Modernisasi, westernisasi, dan globalisasi. Dan seakan mendapat gelar penting manusia-manusia ini bangga dengan gelar “masyarakat modern” yang disandangnya.
Berangkat dari usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat modern ini dengan segala tuntutannya, akhirnya merambah ke ranah pemerasan dan perbudakan para tenaga kerja. Maka manusia pun dianggap sebagai obyek sempurna yang seakan didesain dan dirakit ulang untuk bekerja keras dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, dan bak pesulap setiap lahir kebutuhan baru maka manusia rakitan ini harus sebisa mungkin menyediakan sarana kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat modern ini.
Secara tidak langsung budaya kompetisi berlaku pula disini, karena siapa yang bisa berkontribusi aktif maka dialah yang akan bertahan dan bahkan mampu menjadi penguasa dari setiap proses pemenuhan kebuituhan masyakrakat modern tersebut.
Budaya berkompetisi dalam zona yang seperti ini, akan mampu mengarahkan manusia menjadi pesaing satu sama lain. Dalam kompetisi, tidak akan pernah memandang teman ataupun saudara, semua saling bersaing untuk menduduki posisi menjadi pemenang, bahkan terkadang akan manghalalkan segala cara untuk menjadi pemenang.
Meskipun serentetan penjelasan di atas telah mengindikasikan dampak negatif dari lahirnya budaya baru yang berkembang, namun tidak sedikit pula manusia yang benar-benar bisa memanage dirinya untuk mengambil setiap nilai-nilai positif dari perkembangan tersebut. Bukan semata berpikir serakah dengan keuntungan sebesar-besarnya.
Kepemilikan nilai-nilai spiritualitas yang tinggi menjadi penting dalam hal ini. seperti yang dinyatakan Jefri Lang dalam bukunya Aku Beriman maka Aku Bertanya bahwa setiap manusia memerlukan pengakuan kekuatan supranatural untuk bisa mengendalikan dirinya. Yang dalam pengertian lain dimaknai; pentingnya nilai bertuhan sebagai alat pengendali diri.
Pernyataan tersebut cukup menguatkan pernyataan bahwa, membekali diri dengan kecerdesan intelektual dan emosional saja tidaklah cukup untuk membentengi diri dalam mengelola setiap budaya baru yang masuk. Melainkan nilai-nilai spiritualitas inilah yang akan menjadi alasan untuk menolak atau menerima budaya tersebut.
Sekolah-sekolah Menengah kejuruan menjadi sekolah yang berperan aktif dalam mencetak generasi yang ingin berkontribusi secara total dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat modern. Namun tidak semua SMK mampu melahirkan generasi yang benar-benar mampu mengambil nilai-nilai yang pisitif dari setiap budaya baru yang masuk. Banyak diantaranya yang hanya mempersiapkan skill untuk mempekerjakan siswanya setelah lulus nanti. Padahal mestinya dengan berbagai resiko dari modernisasi, generasi tersebut juga mampu mengintergrasikan kecerdasan intelektual dan spiritualnya agar tidak mudah terseret arus budaya yang penuh dengan persaingan.

lega saat bakat diberi tempat!!

Setiap orang memiliki bakat dan minat yang harus diberi ruang dan wadah untuk di kembangkan dan diberdayakan agar lahirlah generasi-generasi yang mampu berkontribusi positif secara total di lingkungan masyarakat, guna membangun peradaban dan kebudayaan yang baik di kehidupan yang terus berkembang di zaman modern ini.
Dalam salah satu kajian di ilmu psikologi, terdapat beberapa penjelasan tentang keuntungan pengembangan minat bakat yang dimiliki oleh setiap orang. Abraham Maslow menjelaskan dengan singkat dalam teori piramida kebutuhannya, ada tujuh kebutuhan yang harus terpenuhi dalam kehidupan manusia. Ia menegaskan bahwa kebutuhan untuk mengaktualisasi diri menjadi urutan kebutuhan yang harus dipenuhi dan menjadi hal yang cukup urgen dalam kehidupan manusia.
Setiap generasi terlahir dengan bakat unik yang berbeda satu sama lain. Penanganan ini menjadi penting dan bahkan lebih penting dibandingkan dengan hanya mengajar dan menyampaikan suatu ilmu tapa memperhatikan minat dan bakat anak. Dalam dunia pendidikan pun demikian. Kesuksesan murid menjadi harga mahal yang harus dipenuhi seorang guru. Sukses disini bukan semata-mata menyiapkan mereka dan membekali mereka dengan kebutuhan manusia zaman sekarang, dan semata-mata memposisikan mereka sebagai obyek yang bisa dieksploitasi penuh dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut. Namun semestinya lebih kepada sudah atau belumkah bakat peserta tersalurkan dengan baik. Yang mampu menuntun mereka untuk berproduk secara total. dalam artian memposisikan mereka menjadi subyek yang punya hak untuk memilih dan menentukan pengetahuan apa yang ingin mereka ketahui dan mereka butuhkan.
Dampak dari ketidak terpenuhinya minat dan bakat ini akan menjadi kendala yang cukup krusial bagi perkembangan seseorang. Hal ini menjadi penting karena pengembangan minat bakat ini tidak terhalang dengan batas usia. Dalam sebuah kasus nyata seorang ibu rumah tangga yang berusia puluhan tahun memilih tidak digaji asalkan diberi kesempatan untuk mengajar PAUD dan rela menempuh perjalanan berkilo-kilo meter. Hal ini menegaskan betapa seseorang sangat membutuhkan kesempatan untuk beraktualisasi diri

Senin, 11 Oktober 2010

catatan di muka

Glosarium dari sang jurnalis
By. fitriauliaanakpantai.


Getir, mengingat tidak semua hal bisa berjalan dengan sempurna. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus ku lakukan untuk menyelamatkan organisasiku dari kekosongan dan keterpurukan. Menyandra kreativitas, dan mempersempit bagian yang bisa diperluas; pengetahuan.

Meski sudah hampir delapan bulan aku dinobatkan sebagai ketua organisasi di sebuah LPM (Lembaga Pers Mahasiswa), sedikitpun aku tidak pernah merasa yakin untuk mengakui keberadaanku menjadi ketua. Mminimnya penguasaan terhadap ilmu di bidang yang sedang ku geluti menjadi beban moril terbesar yang tak pernah bisa membuatku tenang dalam posisi apapun. “jadi Ketua LPM itu modalnya ada dua, kalo tidak pintar yo berani”, celetukan dari seorang teman.

Sampai sekarang pun, jika sedang benar-benar mengalami stres, kadang aku mencemooah diriku sendiri karena kebodohanku, kemalasanku dan segala keterbatasan yang menggantung di setiap bagian di diriku. Apa lagi saat ku ingat betapa gemblangnya junk selaku mantan ketua sebelumku menamparku dengan celetukkan Jaquest Derida “aku tidak membencimu tapi aku membenci kebodohanmu”. Dengan ekspresinya yang sangat ingin menjatuhkan lawan bicaranya, ia mengatakan itu hampir di setiap ia memiliki kesempatan untuk melakukannya, seperti saat diskusi dan melakukan kompromi untuk sebuah agenda kegiatan di organisasi. Tak ada ampun untuk orang yang tidak bisa mengalahkan pengetahuannya di forum diskusi. Meski jujur terkadang aku ingin benar-benar bisa mengalahkannya. Dan secara diam-diam melahap habis buku-buku yang ia simpan di setiap rak buku di kamarnya. Agar ia tak lagi bisa mencemooah kebodohanku.

Sekilas ku coba berhenti menghardik diriku sendiri saat ku ingat seperti apa aku sebelumnya. Pola pikir seliar dan sekeras (1) ini seingatku baru-baru saja menguasai diriku, selama tiga tahun aku berada di kampus ini.

Memang benar selera orang setiap saat bisa selalu berubah-ubah. Saat ini tertarik dengan dunia musik, besok tertarik dengan broadcasting, besok lagi tertarik dengan jurnalistik. Setiap hari berganti dan berganti. Jika banyak orang menyebut ini sebagai wujud dari ketidak konsistenan, maka aku berpikir sebaliknya, ini adalah bentuk kesadaran yang nyata. Karena orang yang tidak konsisten terkadang memutuskan sesuatu dalam keadaan tidak sadar, maka wajar jika mereka tiba-tiba menyesal dengan keputusan yang diambil sebelumnya. Namun aku menghargai setiap perubahan, orang berkembang sesuai lingkungannya, jika ia tinggal di keadaan yang selalu berubah-ubah, maka perubahan pilihan adalah hal yang wajar dalam kondisi ini.

Usiaku mengenal kampus dan mengenal LPM tidak selisih banyak. Hanya beberapa saat saja. Karena selang beberapa minggu setelah ospek aku langsung bergabung di LPM ini. Dan kapasitasku dalam membagi waktu cukup balance di antara keduanya.

Aku pernah ditanya seseorang tentang perbedaan memberitakan kasus dengan media elektronik (TV) dengan media cetak. Jawaban saya sederhana saja, menyampaikan berita dengan media elektronik hanya membutuhkan satu keahlian saja yaitu keahlian menyampaikan secara visual sedang untuk media cetak diperlukan dua keahlian; keahlian visual dan keahlian menuliskan kata-kata. Dan dari diskusi intern(2) di LPMku banyak staf yang setuju bahwa kebanyakan orang lebih ahli cocot dari pada ahli menulis.

Belajar jurnalis itu belajar yang multi belajar(3) , ilmu yang dikuasai tidak bolah sedikit. Kemiringan pemberitaan adalah kesalahan, dan dampaknya adalah merusak para pembaca. Kemampuan pembacaan kasus yang sangat minim di kalangan jurnalis akan mampu berdampak fatal bagi para pembaca, bahkan lebih ironis kesalahan ini akan turut merusak sejarah yang semakin buram kebenarannya(4).

Tidak sedikit korban pemerkosaan juga diperkosa(5) oleh para jurnalis. Laiknya para anggota dewan, tugas jurnalis tidak kalah sebuknya, bahkan lebih sibuk dan lebih mulia dari para dewan. Memperjuangkan rakyat dengan sebenar-benarnya berjuang, lalu secara tertulis menyampaikan kepada para warga. Taruhannya tidak cukup mental dan finansial. Namun keselamatan nyawa dari ancaman-ancaman dari pihak yang merasa dirugikan akan selalu mengiringi di setiap proses publikasi kebenaran.

Inilah makna perjuangan. Tidak sedikit jurnalis yang mati saat proses peliputan, saat menulis laporan di meja kamar, pasca proses distribusi berjalan, dan di beberapa keadaan lainnya.
Sungguh menjadi jurnalis adalah keputusan yang tidak main-main.


footnote:
(1) Kadang senang menghardik, mengucapkan sumpa serapah, menyuruh sambil berkacak pinggang, dan menganggap bejat semua pejabat; aku menggunakan kata bejat karena para pejabat senang melihat rakyatnya menderita, bejat karena senang memperpuruk keadaan rakyatnya dengan program-program barunya yang sangat idealis tapi pelan-pelan mencekik warga masyarakatnya. Seperti SBI/RSBI
(2)Kebetulan ada devisi diskusi di LPM, salah satu proker mereka adalah mengadakan diskusi rutin mingguan. Namun budaya diskusi tidak hanya terbangun saat itu, melainkan hampir di setiap ada yang menceletuk menyuguhkan kasus-kasus maka dengan respek yang tinggi semua staff yang lain akan saling bersahut-sahutan. Kadang tentang kondisi kampus, kondisi perpolitikan mahasiswa, sampai perpolitikan di tingkat negara.
(3)Maksudnya; begitu luasnya keilmuan yang harus diganyang jurnalis. Dari keilmuan tentang jurnalistik sendiri, tata bahasa, design grafis, photograpy, ilmu penelitian, segala macam filsafat mulai dari feminis, kolonial dan post kolonial, positifistik, madzab kritis, dan masih banyak lagi. Belum juga penguasaan teori-teori sosial dan budaya, ilmu hukum; baik hukum adat maupun hukum negara, menelaah kebijakan pemerintah, termasuk mempelajari perkembangan kasus-kasus warga kecil dan masih banyak lagi.
(4) Masih ingat kasus G30/SPKI?, kasus ini adalah bukti konkrit betapa merugikannya pemberitaan yang benar-benar tidak dengan pembacaan yang tepat. Untuk lebih jelasnya saksikan film dokumenter berjudul; shaddow play. yang menceritakan tentang kepalsuan
(5)Pemerkosaan: perebutan hak secara paksa, dan tanpa kompromi, bukan hanya dalam bentuk perampasan keprawanan saja namun lebih luas dari itu. Beberapa jurnalis telah dengan sengaja melakukannya. Seperti menyuguhkan keadaan vulgar sang korban agar beritanya laku terjual.

mahasiswa belum merdeka

Pembunuhan kreatifitas!
Kuliah. Satu aktivitas wajib bagi setiap orang yang mengaku sebagai akademisi tulen. Keluar masuk dari kelas ke kelas. Menenteng buku dan mencatat apa yang disampaikan dosen. Aktifitas yang stagnan, monoton.
Sebagai mahanya siswa, ideal mahasiswa lebih bisa kreatif menentukan aktivitasnya. Bukan diatur oleh pihak-pihak yang merasa berhak untuk mengatur.
Meski tidak lagi harus memakai baju seragam layaknya saat berada di jenjang SD, SMP dan SMA, berhak memilih warna sepatu, berhak memilih warna baju, sampai memilih warna kaos kaki, sayang disayang mahasiswa sekonyong-konyong menganggap semua itu adalah lambang kebebasan, padahal pada dasarnya sama saja, toh mereka tetap harus berpakaian rapi, tetap harus pakai sepatu, dan bagi yang melanggar harus bersiap-siap untuk dikeluarkan. Konkrit saja, dua teman di kelas sebelah kelasku harus ponting-panting berlarian karena soal jawaban disita sampai mereka kembali dengan almamater melekat ditubuhnya. Jadi ingat pengalaman di bangku semester satu, ada dosen yang tiba-tiba marah menyaksikan muridnya hanya diam di bangku pojok, tanpa sedikitpun menggerakkan penanya, sedang ia sibuk mendekte materi perkuliahan.
Kenapa harus menyalin penjelasan di buku catatan?, kenapa juga harus dengan jas almamater?. Terbukti sudah, betapa sangat tidak kreatifnya para mahasiswa.