Senin, 08 November 2010

Rys..

Catatan harian untuk Rys
By: Fitri Aulia

Rys, teman seprofesi yang banyak mirip dan banyak beda dengan sosokku. Saat orang-orang sekosan bingung karena air kran mati, dengan santai ia berujar
“Tak perlu bingung kalo tak ada air”.
Ia lebih memilih tidak mandi dari pada harus kedinginan di kamar mandi, atau hanya sekedar karena malas. Maka alasan air keran mati justru menguatkan alibinya untuk mengambil keputusan untuk tidak mandi. Dalam hal ini ia terhitung beruntung karena kebetulan saja dari sononya berkulit putih. Baju bergelantungan di sekitar kamar bukan hal aneh. Ceplas-ceplos kalo ngomong, sampai tak terdeteksi mana kritis mana nyericis. Tak pandang waktu tak pandang bulu.
Pernah ia menggerutu habis ketua BEMnya karena tak kunjung menurunkan SK kepanitian acara besar di BEM.
“g paham aku maunya Faiz apa. aku sudah sering bilang segera turunkan SK, e alasannya itu-itu ja, yang nunggu koordinasilah nunggu inilah nunggu itulah. Hmmm, lihat saja nanti kalo aku sudah capek, bakal tak tinggal, g peduli”. Saat-saat seperti ini, usaha memahamkannya dengan cara apapun rasanya percuma, nggak mempan. Maka aku hanya diam mengabaikan.
Sejak tiga bulan terakhir ini, aku mulai banyak tahu tentang sosoknya yang sebenarnya, koleksi pertemanan di Facebook melebihi jumlah mahasiswa tarbiyah angkatan 2008, angka kuatitatifnya sekitar 1,5% dari jumlah keseluruhan, atau dua kali lipat dari jumlah 264 mahasiswa. 5.000 teman. Seorang pecinta jejaring social yang bener-bener maniak. Mulai dari twiter, Yahoo Massanger, friendster, sampai facebook. Saat OL jangan harap ia memperdulikan keadaan alam yang terjadi di sekitarnya, makan minum saja lupa. Bahkan mungkin bau kentut yang busuk sekalipun tak akan mampu mengusiknya.
Cita-cita yang menjulung ke langit juga baru ku ketahui selama tiga bulan terakhir ini.
“ Áyo mbak kuliah ke Malaysia”. Ajaknya suatu ketika.
“aku serius mbak, aku sudah cari banyak info dari teman-temanku yang kuliah di luar negeri lewat facebook dan YM tentang perkuliahan di sana. Mulai dari kuliah jalur beasiswa sampai jalur formal pada umumnya. Tentang budaya-budaya disana, dan segala hal tentang keadaan alam disana”.
“Rencananya aku akan ambil jurusan Islamic Studies, aku juga tertarik pada ilmu-ilmu filsafat. Pluralism agama. Tasawuf modern, apalagi kajian tentang syekh siti Jennar, hmm aku adalah penggemar beratnya”.
“menurutmu bagaimana mbak?”. Tanyanya setelah bercerita panjang lebar tentang segala mimpi-mimpinya.
“bagus”, jawabkku singkat
“yuk mbak bareng-bareng berangkat kesananya, apa kau tak punya keinginan pergi kesana?”. Selidiknya menuntut persetujuanku
“kalaupun ada kesempatan S2, paling ke Jogja kalau tidak ke UM Rys’, jawabku tak kalah serius mencoba menyepadani ekspresinya
Gayanya yang sering semau gue telah terbukti ampuh menghancurkan perjalanan cintanya. Rys, dulu pernah tertarik pada seorang teman yang ku kenal dan konon sahabat karibnya. Namanya Habibi. Ceritanya hampir terdengar ke seluruh penjuru kampus. Tidak sedikit yang mengutuki perbuatannya. Namun ada juga dari sisa orang yang mengutukinya, beberapa segolongan kecil yang menyampaikan rasa prihatin padanya. Rys dulu adalah aktivis salah satu organisasi Ekstra yang cukup tersohor di kampus. Sejarah awal hidupnya cukup baik, namanya mulai dikenal orang saat ia bergabung di organisasi ini. Keberaniannya berpendapat di depan orang di dukung dengan kemampuan verbal yang baik, mengantarkan ia ke kursi kandidat calon ketua rayon. Kurang beruntungnya, ia harus melawan Habibi dalam pemilihan ini.
Pewacanaan bias gender yang masih kolot di organisasi ini, menjadi alasan yang selalu diungkit-ungkit untuk menjatuhkannya dari kursi pemenang.
“alasannya lucu, kata para senior, Rayon tidak pernah punya ketua cewek. Mau jadi apa nanti kalau ketuanya cewek!?”, Ulasnya seusai sholat magrib berjamaah denganku di ruang sholat kos-kosan.
Pada putaran pertama, Rys mengantongi banyak suara, namun pada putaran kedua suara untuknya mulai berkurang dan finalnya Habibi terpilih sebagai ketua.
TAMAT sudah riwayatnya. Sejak kekalahan dalam pemilihan itu, serentetan peristiwa pahit menimpanya. Seperti yang sudah ku ceritakan diawal, sejak sebelum pemilihan, Rys dan Habibi memang sohib. Kebersamaan mereka ternyata berimbas pada persoalan perasaan. Diam-diam Rys mulai jatuh hati pada Habibi. Sejak Rys sadar atas perasaannya, ia mulai menciptakan Space dengan Habibi. Saat ditanya oleh habibi, Rys pun memberanikan diri menyampaikan perasaanya.
“Maap nyut, aku sudah tidak bisa bareng kamu lagi. Karena aku mulai jatuh hati padamu. Aku tahu ini salah, makanya lebih baik aku menjauh untuk beberapa saat, sampai rasa ini hilang dari diriku. Setelah itu aku akan menemuimu lagi untuk minum kopi dan mendiskusikan banyak hal tentang filsafat denganmu. mohon jangan marah”.
“maaf Rys, ku pikir kita hanya bisa jadi teman”, ungkap Habibi menutup pembicaraan melalui telpon selulernya.
Pasca prosesi pemilihan ketua berakhir, tak tanggung-tanggung Rys me-non aktifkan diri di organisasi yang telah membesarkan namanya, demi menjauhi Habibi. Sikap Rys ini ternyata menjadi bual-bualan semua anggota.
Beberapa stigma negative mulai menghacurkan nama baiknya. Sampai kini, ia tak sama sekali terlibat aktif di organisasi tersebut. Sikap egoisnya disayangkan banyak orang.
Pahitnya, tak lama kemudian terdengar kabar bahwa Habibi telah melabuhkan hatinya pada Zaza, cewek lain yang kebetulan aktivis di organisasinya. Rys harus menerima kenyataan ini, dan siap melapangkan hatinya saat melihat Habibi jalan dengan Zaza. Menangis sudah tak terhitung lagi banyaknya. Herannya saat itu hal aneh terjadi, Rys tak sedikitpun bisa mengurangi dosis cintanya pada Habibi.
Perselisihan sengit terjadi antara Zaza dan Rys. Meski tidak sekalipun Rys berbicara sepatah katapun pada Zaza saaat bertemu. Namun konflik selalu melalui orang ketiga yang kemudian terdengar di telinga Rys.
Keadaan mulai memanas, sampai ku dengar salah satu teman baikku pun mengeluhkan sikap Rys padaku.
“aku tak habis pikir, mestinya Rys tidak sebodoh itu bertidak. Mestinya ia jangan pergi melarikan diri begitu saat keberuntungan tidak sedang berpihak padanya. Aku sangat menyayangkan keputusannya”
“kau tahu, banyak anggota yang mulai non-aktif pasca kepergiannya. Posisinya cukup strategis untuk mempengaruhi anggota lain untuk turut non-aktif mengikuti jejaknya. Meskipun aku yakin, Rys tak pernah mengajak siapapun untuk turut meninggalkan rayon, namun ia sudah menjadi satu bagian yang cukup berpengaruh disana. Kenapa ia tak memikirkan hal ini sebelumnya, ia benar-benar egois”.
Sejak saat ini aku menambah refrensi untuk memberikan nilai pada Rys, keegoisannya bukan hanya akan menghancurkan hidupnya namun juga menghancurkan banyak hal di sekelilingnya.
Namun Rys bukan hanya sosok yang pandai mengecewakan orang seperti itu. Ku pikir tiap elemen mengandung komponen positif dan negative, begitu juga sesosok Rys.
Meski sosoknya begitu kaku, namun ia tak pernah ragu menolong teman. Jika ada teman yang bingung meminta maaf padanya karena merasa telah berbuat salah, Rys malah lupa kesalahan apa itu. Maka boro-boro memberi maaf, dengan singkat ia hanya bilang, “o iya ta?, ya sudah nyantai saja, g usah ambil pusing”.
Sifatnya yang ala kadarnya dan tak pernah neko-neko dalam pergaulan memberiku kenyamanan tersendiri. Meski kadang aku setengah mati dikecewakan akibat sikapnya yang kebablasan saat cuek dengan orang.

Kembali bercerita tentang mimpi-mimpinya…
Bukan tidak sengaja Rys mengumpulkan 5000 teman dalam daftar pertemanan di FB nya. Dari 5000 teman tersebut, kurang lebih ada 40% adalah member luar negeri. Entah kelahiran asli sana, ataupun yang kebetulan sedang berdomisili di sana.
Sampai larut malam, di pojok ruangan, saat lampu kos mulai padam, terdengar suara jari-jari yang sedang menjentik-jentikkan di setiap tombol laptop. Ku ikuti sumber suara dan saat ku tengokkan kepala, ku lihat Rys sedang chatt dengan salah satu temannya.
“kau tahu ini pukul berapa?, tanyaku
“entah, yang jelas di Mekkah dan Maroko ini belum terlalu larut untuk tetap beraktivitas”, jawabnya tanpa sedikitpun mengangkat kepalanya untuk melakukan kontak mata padaku
“oke, semoga kau tak bangun kesiangan lagi”, ucapku sambil berlalu
Ku ambil wudhu dan sholat, aku tahu ini sudah tidak lagi terlalu larut, saat ku lirik jam dinding di depan pintu kamar Rys, jarum jam menunjukkan pukul 01.45 WIB.
4 jam setelahnya…
“mbak, kau tahu teman chattingku semalam?, aku benar-benar kagum padanya. Aku tadi sempat berjanji akan menemuinya kalau aku jadi melanjutkan studi S2 di Maroko. Kau masih ingatkan, aku pernah bilang kalau tidak diterima ke Malaysia, aku akan s2 di belahan Negara bagian timur saja.”
“sebenarnya aku juga tertarik dengan saran Prof. Kana, pendidikan di India juga bagus.” Nada suaranya tidak berubah sedikitpun, tetap tinggi dan berapi-api.
Pernah saat ku memasuki kamarnya dan lupa menutup pintu, ia malah berujar
“mbak, kau tahu, di Rusia kamar adalah privasi setiap pemiliknya, dan tak ada yang membiarkan pintu terbuka barang sebentar, meski hanya sejedar mengambil sikat gigi yang tertinggal di laci”.
Aku hanya mengerutkan kening melihat polahnya.

Sabtu, 02 Oktober…
Seusai rapat pengurus di LPMku. Ponselku berbunyi, ada animasi amplop surat berwarna kuning terlihat di layar muka ponselku. Satu pesan masuk. KLIK.. ku baca dari siapa.
Nama Rys tiba-tiba nongol diantara serentetan nama pengirim pesan di kotak masukku.

Rys: mbak, masih pingin ke pameran buku g?, aku nganggur nih..
Aku: OK, jam 19.20 ya, jemput aku ke LPM, jangan lupa bawa helm
Rys: OK, siap
Tak lama, saat jam dinding menunjukkan pukul 19.30..
aku dan Rys, menghabikan waktu di pameran buku.
“mbak, sudah baca novel terbarunya kang abik belum?”.
“pasti settingnya luar negeri lagi?”
“ya pastilah.. tapi menurutku ayat-ayat cinta is the best novel”.
“Setting luar negeri itu sangat cocok denganku. Apalagi ditambah dengan kisah-kisah perjuangan cinta,,,ohh, begitu menyentuh”.
“besok mbak ya, kalo aku sudah ada di luar negeri sana, akan ku kirimkan novel-novel terbaikku ke indonesia. Dan kamu harus jadi orang pertama yang membacanya.
Sedikit konflik melawan budaya pesantren tulen yang menuhankan keluarga Yai seperti di pesantrenku, sedikit kisah perjuangan cinta meski tak segila Qays dan Laila, perjuangan akademisi yang tidak pernah luput dengan doa dan cita-citanya seperti Love Story In Harvad, dengan latar belakang tokoh jawa yang sangat kuat, peleburan konflik antar agama seperti perang yang tak kunjung usai antara palestin dengan amerika, bias gender seperti buku-bukunya Laurin E, kajian tasawuf modern seperti kisahnya Jefri Lang, dan dengan ending yang bahagia seperti Mujse Dosti Karonge…Hmmm, tunggu ya mbak, aku janji akan menulisnya”.
Saat tersadar. Kerumunan orang di samping kanan dan kiri kami tiba-tiba mulai sepi. Beberapa stand buku pun mulai terlihat berbenah. Stand paling pojok sudah tertutup rapi, dan lampu hampir dimatikan. Iringan music yang sedari tadi menemani para pengunjung sudah tidak lagi terdengar. Owh, kami baru sadar bahwa pameran buku akan segera ditutup 7 menit lagi. Padahal sedari tadi belum satu buku pun yang cocok dan akan kami beli.
“ihh, masak pulang dengan tangan kosong mbak?’
“ayo ayo, paling tidak kita harus membawa pulang satu buku” suara Rys mengkomando
Dan bergegas kami memilih buku, dengan tanpa pertimbangan matang.
Oke, aku menggenggam novel. Dan di tangannya, Rys sudah memegang satu buku,
“bagus gak mbak buku ini?”, suaranya meminta pertimbanganku
ku coba amati judulnya, tertuliskan “Dari Neomodernisme ke Islam Liberal” karya Dr. Abd A’la, MA. Dibagian bawah buku tertulis; Jejak Fadlur Rahman dalam wacana islam Indonesia. Dan di bagian paling bawah tertera; kata pengantar Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.
“bagus, kamu benget Rys”. Komentarku
Dia hanya nyengir membalas komentarku.
Dan seusai membayar, kita pun bergegas pulang..

adikku Dyslexia

RESENSI FILM

Dyslexia. bukan nakal, hanya butuh pengertian.

Judul film: TAARE ZAMEEN PAR (Every child is special)
Tanggal Rilis :21 December 2007 [ Wall Disney ]
Jenis Film :Drama
Diperankan Oleh :Darsheel Safary, Ameer Khan, Tanay Chheda
Film ini diproduseri oleh: Ameer Khan.
Penulis: Fitri Aulia

Sejuta Permasalahan pendidikan bagi perkembangan anak tengah merebak di dunia pendidikan saat ini. Banyak anak yang di D.O (droop out) dari sekolah karena dianggap nakal, banyak ulah, tidak disiplin dan masih banyak permasalahan kenakalan yang dilakukan anak. Orang tua yang tidak tahu alih-alih membela anak, sebagian besar justru tidak ingin ketinggalan untuk turut serta dalam menghardik anak-anaknya sendiri. Bahkan tak sabar untuk menunggu sampai di rumah, anak dimarahi dan dipermalukan di depan umum. Orang tua sama sekali tidak memberi kesempatan anak untuk berbicara dan membela diri. Pertanyaannya apakah anak benar-benar nakal?, dan apakah hanya anak yang patut dipersalahkan dalam hal ini?.
Keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama bagi anak. Anak akan berkembang sesuai kondisi lingkungan yang ia tinggali. Hal ini juga dibenarkan dalam teori pendidikan yang disebut dengan teori empirisme ; bahwa anak-anak akan dibentuk oleh lingkungannya. Penjelasan ini paling tidak bisa menyadarkan para orang tua untuk memberikan pelayanan yang terbaik untuk perkembangan anak-anaknya. Maka disinilah alasan pentingnya latar belakang pendidikan bagi orang tua. Tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan, namun yang lebih penting lagi adalah memenuhi kebutuhan perkembangannya. Piaget (1961) menjelaskan dalam rumusan perkembangan kognitif bagi anak bahwa; ada empat tahapan perkembangan anak, sensori motorik , pre operasional , concret operasional dan formal opersional . Ketidak mampuan orang tua dalam memahami pentingnya mewadahi perkembangan anak akan merusak perkembangan sang anak itu sendiri.
Ishaan Nandkishore Awshti (diperankan oleh; Darsheel Safary), satu korban diantara banyak anak yang menjadi korban kebodohan orang tua dalam mendampingi masa perkembangan anak-anaknya. Orang tua yang egois yang hanya memaksa anak untuk rajin mengukir prestasi –yang akhirnya akan berujung pada pengangkatan prestise orang tua—, tanpa sama sekali memberikan pelayanan terbaik bagi anak, atau paling tidak sempat menanyakan “kau kelak ingin jadi apa nak?”. Paparan singkat ini cukuplah menjadi gambaran awal betapa menderitanya ishaan. Keadaan ishaan diperburuk dengan sosok kakaknya yohan . Yohan yang dikenal sebagai murid yang berprestasi di sekolah menjadi alasan orang tua untuk selalu menuntut ishaan lebih. Kesempurnaan Yohan dijadikan alat perbandingan yang tak henti-hentinya disampaikan di depan ishaan.
Perkembangan fisik ishaan juga terpaut jauh dari kakaknya Yohan. Ishaan yang memiliki fisik agak kurus dan kecil dari teman sebayanya, serta agak sulit diatur rapi oleh ibunya, membuat ia semakin tidak beruntung dalam pergaulan. Sepulang sekolah hanya sibuk dengan dunianya sendiri, bermain dengan dua ekor anjing di depan rumah, atau sibuk menggambar di dalam kamar. Pernah suatu ketika sepulang sekolah, ishaan terlibat dalam perkelahian dengan anak-anak kecil di kompleks rumahnya. Karena lemah dan tidak memiliki teman, ishaan lagi-lagi harus menerima kekalahan, parahnya orang tua anak (yang berkelahi dengan ishaan) melaporkan ishaan kepada Mr. Awasti (orang tua ishaan). Ishaan yang memang dianggap sebagai tukang pembuat ulah dan bandel di daerah kompleknya bahkan di depan orang tuanya, harus menerima tamparan keras dari ayahnya tanpa bernegosiasi lebih dahulu. Dan sekali lagi ishaan kurang beruntung karena lahir dari orang tua yang tidak memahami perkembangannya.
Ishaan yang tidak memperoleh apa yang dibutuhkan di lingkungan keluarga, pun juga di sekolahnya. Keterbelakangan daya tangkap dalam mengikuti pelajaran di kelas membuat dia harus berkali-kali menerima skors di depan kelas. Hampir semua guru menganggap ishaan bodoh dan daya konsentrasinya lemah. Pernah dalam kelas bahas indonesia bab Kata Sifat, ishaan dikeluarkan dari kelas karena tidak bisa menerima intrupsi guru dengan baik. “ayo ishaan buka hal 38, bab 4, paragraf 3”, teriak guru dari depan kelas. Akhirnya karena ishaan tidak segera menemukan halamannya, temannya Adit Lamba diminta untuk membantunya. “ayo baca!”, tukas gurunya. Ishaan terdiam cukup lama sambil memandangi kumpulan huruf di bukunya. “ayo segera, baca!”. Dengan lugu ishaan menjawab, “maaf aku tak bisa membacanya bu, hurufnya menari-nari”. Dan tak lama, guru tidak lagi menerima negosiasi, dan sang guru mengakhiri perbincangan dengan kata “keluar!, kau mengacaukan kelas!”. Sampai usia 9 tahun ishaan masih belum bisa membaca dan menulis dengan sempurna. Bahkan tahun ini adalah tahun keduanya tinggal di kelas 3.
Keadaan buruk yang menimpa ishaan di kelas berujung pada pemindahan ishaan ke sekolah berasrama, milik salah satu teman ayahnya. Dengan dalih ingin mendisiplinkan ishaan dan menyelamatkan ishaan dari kebodohan dan kenakalan, ayahnya mendaftarkan ishan pada sekolah berasrama New Era. Bak seorang diktator, ayah ishaan sama sekali tidak memberi kesempatan ishaan untuk berpendapat.
Pada minggu-minggu pertama, pengalaman belajar dan berkomunikasi ishaan di sekolah berasrama ini sama sekali tidak menunjukkan perubahan bahkan semakin bertambah buruk. Berbagai macam kesulitan belajar tetap dialaminya, sementara itu tidak ada satupun guru yang bisa memahami kebutuhannya. Ia mendapat cambukan di tangan kirinya di kelas seni, mendapat skorsing di depan kelas saat di kelas bahasa asing, di keluarkan dari tim gerak jalan karena dianggap mengacaukan barisan, dan hampir di berbagai kelas kejadian ini berulang terus-menerus. Sampai datanglah Ram Shankar Nikumbh, guru kesenian baru di sekolah berasrama.
Nikumb yang juga mengajar di sebuah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus pelan-pelan mulai memahami keadaan ishaan. Informasi sebanyak-banyaknya tentang ishaan ia kumpulkan dari semua guru, dan memeriksa semua buku tugas ishaan. Akhirnya ia memutuskan untuk mendatangi keluarga ishaan untuk membicarakan hal ini.
Perbincangan antara nikumb dan orang tua ishaan berlakngsung cukup serius. “bukan hanya itu, membedakan satu huruf dengan huruf yang lain pun masih kesulitan, antara “b” dangan “d”, pada penulisan “Sir” letak S dan R tertukar menjadi “Ris”, penulisa huruf “h” dan “t” mengalami kesalahan pencerminan huruf (alias ditulis dengan arah terbalik), terkadang dalam satu halaman saja ishaan menulis berkali-kali kesalahan yang sama. Mencampurkan kata-kata yang ejaannya hampir sama. S-o-l-i-d menjadi S-o-i-l-e-d”. Jelas nikumb dengan cermat sambil menunjuk-nunjuk tulisan ishaan di buku tugasnya.
Setelah menjelaskan panjang lebar kondisi ishaan pada keluarganya, Nikumbh menyangkal bahwa ishaan bukan malas ataupun bodoh, hanya saja ishaan sedang mengalami gangguan dyslexia . Sebuah gangguang dimana anak mengalami kesulitan membaca atau mengenali huruf. Jika ada orang sedang menulis a-p-e-l, paling tidak dia akan memiliki bayangan tentang apel, namun penderita dyslexia tidak memiliki kemampuan ini. Padahal untuk bisa menulis kemampuan dasar ini sangat penting dan dibutuhkan. Untuk menghubungkan suara dengan simbol-simbol.
Namun Mr.Awashti (ayah ishaan) membantah bahwa itu hanya alasan saja untuk memaklumi proses belajar. Sedikit berpikir Nikumbh berdiri dan meraih sebuah kotak mainan mobil yang bertuliskan lambang-lambang huruf cina. Kemudian disodorkannya pada ayah ishaan, “bacalah ini!”, ayah ishaan membantah “mana mungkin aku bisa membacanya, ini huruf cina!?”. Namun Nikumbh tetap memaksa “ayo, berkonsentrasilah!”, dan dengan nada meninggi ayah ishaan menolaknya “omong kosong apa ini!?, mana mungkin aku bsa membacanya!”. Lalu nikumb membalas perlakuan Mr.Awasti dengan memarahinya seperti saat Mr. Awasti memarahi Ishaan, “anda sangat cerewet dan pembantah! sungguh perilaku anda sangat buruk! Anda berbuat jahat!”. Mr. Awasti tertegun, dan terdiam beberapa saat, suasana hening, diam-diam Mr. Awasti mula paham maksud Nikumb. Dengan suara merendah Nikumbh kembali mengingatkan, “begitulah kesulitan yang dialami ishaan”. “penderita dyslexia juga mengalami kesulitan menangkap perintah dengan durasi cepat dan berurutan”, tambah Nikumb.
Takjub dengan lukisan-lukisan Ishaan Nikumb memutuskan untuk membawanya, dan pelan-pelan ia mulai mendekati ishaan dan memberi perhatian lebih dan menjelaskan pada ishaan bahwa, ia mengerti keadaannya.
Pembelajaran khusus pun diberikan Nikumb, mulai dari membedakan huruf, menstimulus pemahamannya atas segala sesuatu yang ia pikirkan, sampai belajar membaca, menulis dan berhitung. Sampai akhirnya ishaan benar-benar bisa mengejar ketertinggalannya dengan teman-temannya.
Sementara itu, birokrasi sekolah yang cukup normatif mencoba tetap menekan ishaan dan menganggap ishaan tak pernah bisa berkembang baik. tantangan Nikumb selanjutnya setelah berhasil menyadarkan orang tua ishaan adalah mengubah pola pikir para stakeholder sekolah untuk tidak menganggap anak-anak seperti ishaan tidak pernah bisa berkembang. Inilah gambaran manusia saat ini, terlebih di Indonesia, dalam mendesain pendidikan. Bahwa anak yang tidak menurut adalah nakal, patut memperoleh hukuman. Jika anak tidak berkembang sesuai lazimnya –yang terjadi pada anak-anak lain di usianya— dianggap seutuhnya adalah kesalahan pribadi anak. Lalu dengan sok tahu mencoba memberi penyelesaian sebagai orang tua yang baik, yang tidak sama sekali melibatkan anak-anak untuk memilih sendiri kebutuhannya. Padahal itu salah.
Anak-anak adalah aset terbesar yang dimiliki negara, tidak hanya orang tua. Karena mereka adalah generasi setiap bangsa. Proses pendidikan yang salah sejak dini akan berdampak fatal untuk masa depan sang anak. Maka jangan pernah menyalahkan anak jika ia menjadi generasi yang tidak bisa berkontribusi apa-apa, atau bahkan sebaliknya, sebagai sumber kerusakan bangsa. Maka ketahuilah pada dasarnya, ini adalah tanggung jawab semua calon orang tua.