Jumat, 20 Juli 2012

SIRINE (Kekuatan Doa dan Cinta)

Sirine namanya, cintanya tak pernah mati untuk kekasihnya yang tak pernah lagi terwujud dalam pandang. Tak henti-hentinya ia berkamuflase untuk meyakinkan dirinya, bahwa kekasihnya sedang menunggunya di sudut ruang sana. Selalu ia dikejutkan oleh suara lembut Ibunya saat mulai terlindas duka. “Nduk, uwes..ndak usah ngelamun terus...Makmur suamimu juga ndak pingin lihat kamu sedih begini.."

Sirine benci kata-kata itu, meski ia sangat merindukan belaian dari sisa orang yang menyayanginya seperti belaian Ibunya. Matanya kembali merah, hatinya selalu luluh lantah setiap kali mendengar kata-kata seperti itu. Serta merta, air matanya bersorak-sorak mewakili hatinya, menangis sedu tak berbendung malu. Tangannya mengelus-elus layar arloji yang diraihnya di pojok meja. Ia membelinya 2 tahun yang lalu, saat merayakan ulang tahun pernikahannya yang pertama. Ia ingat betul, sembari menyerahkan kado arloji itu, ia tertawa lepas menerima bingkisan dari Makmur, pisau dapur untuk memotong sayur mayur kesukaannya. Setahun berlalu, saat Makmur dikabarkan hilang pada ekspedisi yang diikutinya, di laut lepas Raja Ampat, kepulauan Papua. Namun Sirine tetap setia menunggunya pulang, dengan rindu yang tak bertalu.

Setiap ada gesekan kaki yang melintas, dengan awas ia menengokkan kepala ke arah tikungan jalan lewat jendela di kamarnya. Berharap si empunya kaki adalah Makmur, suaminya.

Diam-diam, di ujung gang itu, sepasang mata mengintai sang pemilik jendela, Salim namanya. Gundah senantiasa menyerangnya saat matanya bertemu dengan mata Sirine. Dalam diamnya, hanya tersisa kata, "Oh Sirine, andai aku bisa menghapus laramu, dan menggantikan Makmur mengelus bahumu setiap kau hendak terpejam karena lelahnya menanggung beban hidupmu"

Secara fisik Sirine bukan perempuan cantik. Tapi ia memiliki paras yang cukup apik. Kulitnya khas wanita jawa, sawo matang. Bentuk wajahnya yang tirus, dipadu dengan mata bulatnya yang indah, lazim membuat orang mudah mengingatnya. Dulu, sebelum kehilangan Makmur, Sirine ramah bukan kepalang. Senyumnya selalu mampu menyejukkan siapapun yang memandang. Kata seorang nenek tetangga rumahnya, “Yen senyum iku kudu tekan ati, koyok genduk Sirine. Tentrem banget lek diawasi.” Sekarang senyum manis itu telah dipenjarakan di lubang duka terdalam, tak seorang pun mampu meraihnya keluar. Sirine dirindukan semua orang.

***

Lek Komar, adik kandung ibu Sirinelah yang pertama kali menghabarkan hilangnya Makmur. Saat itu, Lek Komar didatangi dua orang yang mengaku keluarga teman satu tim ekspedisi yang diikuti Makmur. Mereka terlihat merasa bersalah atas kejadian itu. Pasalnya menurut cerita, Makmur, yang tergolong paling cerdas dan berani, harus menyelamatkan seluruh personil tim dalam sebuah kecelakaan kapal.

Tepatnya dini hari di bulan Februari, saat semua awak kapal tengah tertidur pulas seusai digoncang badai berjam-jam lamanya. Datanglah sekawanan hiu buas mengelilingi sisi kanan kiri kapal. Beberapa kali kawanan hiu itu menggoncang-goncang bagian bawah kapal. Mereka nampak geram, entah karena tak sabar ingin melahab daging manusia, atau karena trauma melihat kapal akibat pemburuan liar yang memusnahkan keluarga hiu di perairan Raja Ampan, Papua.

Meski tidak banyak disorot media, namun berita akan pemburuan liar hiu di laut Raja Ampat Papua tengah terjadi sejak 4 tahun yang lalu. Kasus yang paling terbaru terjadi akhir tahun kemarin. tepatnya 3 bulan sebelum hilangnya Makmur, masyarakat pantai laut Papua bersama kelompok LSM konservasi laut, memenemukan puluhan kapal yang tertangkap basah melakukan pemburuan liar. Setelah dipemeriksa lebih lanjut, ditemukan sedikitnya belasan sirip ikan hiu muda yang disembunyikan di bawah lantai kapal tempat penyimpanan ikan. Tujuannya jelas, untuk mengeruh keuntungan milyaran rupiah.

Setelah goncangan kesekian kalinya, barulah tiga personil awak kapal terbangun, Makmur salah satunya. Merasa sedang dalam kondisi bahaya, merekapun sigap dan segera membangunkan personil lainnya. Makmur yang sejak awal mengambil alih nahkoda, tengah sibuk mengecoh hiu dengan memutar-mutarkan kapal. Nafasnya terdengar ngos-ngosan, sepertinya ia telah kehilangan separoh dari energinya.

Enam puluh menit berlalu, sementara kesepuluh personil telah bersiaga, hiu yang tadinya menyebar di kanan kiri kapal, kini mulai putus asa, merekapun mulai menjauhi kapal. Sontak semua personil bersorak kegirangan, prosesi adu tos sebagai perayaan kemenangan pun tak bisa dihindarkan. Makmur yang mulanya memegang nahkoda, harus mengangkat tangannya menyambut tos dari kawan sebelahnya. Naasnya, tiba-tiba seekor hiu bertutul, diam-diam berhasil bertahan di bawah kapal. Ekornya yang sebesar dua kali tubuh pria dewasa dikibaskan hingga memecah belah kapal. Semua panik bukan kepayang. Air laut tak dapat lagi di bendung, semburatnya membasahi seluruh sisi kapal. Makmur benar-benar kehilangan kendali. Secara bersamaan tubuh seluruh personil terlempar jauh ke permukaan laut. Berpencar tak tentu arah, diombang-ambing ombak yang datang silih berganti.

Dengan garang, hiu bertutul itupun menyambar tubuh salah seorang personil yang terhempas tepat di sisi perutnya. Darah mengalir deras, bersamaan dengan ombak besar yang datang, serta kencangnya tiupan angin, dengan cepat sekawanan hiu yang tadi telah berlalu kembali mendekat. Mencabik-cabik sisa daging yang masih menggantung di antara tulang.

Makmur terhempas lumayan jauh, posisinya yang berada di paling atas kapal, memudahkan angin menghempaskannya menjauhi personil yang lain, kepalanya terbentur bongkahan kayu kapal, darahnya tak bisa keluar dari bungkusan kulit, hanya membekaskan memar yang sangat hitam di jidatnya. Ia sungguh cemas bukan kepayang, perasaan menyesal karena melepas tangannya dari penguasaan nahkoda, serta panik yang bercampur putus asa bergelanyut di kepalanya. Tiba-tiba terlintas wajah Sirine diantara keadaan buruk yang ada di hadapannya. Sirine tersenyum, senyum memberi semangat padanya. Tangan Sirine membentang ke arahnya, memintanya mendekat. Semakin Makmur mengejarnya, bayangan itu perlahan hilang, hilang ditelan senja. Air mata Makmur tiba-tiba mengucur, menyatu dalam hamparan air laut yang luas.

Setelah berenang dengan sisa energi yang dimilikinya. Makmur merasakan titik dimana persendiannya tak bisa lagi bergerak, air laut yang membalut tubuhnya mengunci rapat hidung dan mulutnya, hingga ia benar-benar tak mampu lagi bernafas. Tubuhnya mengapung diantara bongkahan kayu yang sempat di raihnya sebelum ia pingsan. Hatinya tak berhenti meminta maaf pada Sirine, serta meminta Allah menjaganya. Makmur benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali memasrahkan semuanya padaNya.

***

Tak seorang pun istri yang baik bermimpi menjadi janda akibat cerai mati oleh suaminya. Bahkan Allah telah melarang pasangan suami istri bercerai. Sebagai penguatnya, tak tanggung-tanggung Ia menyatakan akan membenci perceraian. Namun manusia tidak pernah diberi pilihan untuk satu perkara itu, kematian. Sepanjang sejarah, Allah tak sedikitpun mengenal kompromi dalam hal ini.

Sirine sadar tindakannya mengurung diri adalah salah, konsep hidup manusia harus saling memberi manfaat, sungguh masih membekas dalam dirinya hingga kini. Namun Sirine tidak bisa mengingkari, bahwa jauh di dalam lubuk hati kecilnya, ia percaya Makmur masih bernafas di luar sana. Makmur sedang merindukannya, bahkan berusaha sekuat tenaga mencari jalan pulang untuk kembali memeluknya, dan menerima kecupan sayang di keningnya.

Sirine tidak mampu membayangkan, betapa berdosanya dia, jika mengikuti saran Ibu dan orang-orang di sekelilingnya, untuk mengikhlaskan Makmur yang telah setahun lamanya tidak ada kabarnya. Meski lamaran demi lamaran datang silih berganti. Baik yang datang ke rumah langsung, atau hanya sekedar menitipkannya pada Lek Komar. Para lelaki yang terkenal baik itu bersedia menyerahkan pundaknya untuk Sirine. Salim salah satunya.

Dari semua lamaran baik itu, memang tidak semua sampai ke telinga Sirine. Ibu tak pernah berani memaksa Sirine secara berlebihan. Ia tahu hati putrinya sungguh halus. Ibu pula melarang Komar adiknya, untuk bercakap-cakap terlalu lama dengan Sirine. Kuatir Komar akan menyinggungnya dan mendesak Sirine untuk menerima lamaran dari salah seorang yang pernah memintanya.

Bagi Komar, diantara sekian pemuda yang menemuinya, hanya Salim yang menurutnya baik dan tulus untuk Sirine keponakannya. Komar sangat menyayangi Sirine, mengingat pernikahannya yang tidak berhasil membuahkan anak perempuan sama sekali. Pun juga karena sejak kecil Sirine terbiasa bermanja-manja padanya. Baginya kebahagiaan Sirine adalah kebahagiaannya juga, termasuk kesedihan Sirine adalah kesedihannya juga.

Setahun berlalu, Sirine tak juga menunjukkan minatnya untuk dipersunting pemuda lain, menggantikan Makmur. Komar pun mencoba bernegosiasi dengan mbaknya, Ibu Sirine.

“Mbak Yu, tulung sampeyan bujuk Sirine maleh. Kulo bener-bener mencemaskan keadaanne. Menurutku, de’e butuh teman cerita, teman yang bisa ngajak de’e ngobrol. Mungkin Salim bisa membantunya menata hidup baru. Aku cukup percaya sama Salim. Salim pemuda sholeh, tulus lan sopan marang wong tuo. Insyaallah Salim iso njogo Sirine Mbak Yu...”

Komar menatap mata mbak Yu nya dengan serius. Seolah ingin menegaskan bahwa ia benar-benar peduli dengan Sirine keponakannya. Meski belum menerima pengiyaan mbak yu nya, tapi Komar melihatnya tengah berpikir keras, menimbang-nimbang saran dari adiknya.

Sementara, tanpa sepengetahuan kedua kakak beradik itu, Sirine menundukkan kepalanya sembari merapikan kain pembatas yang telah bermenit-menit disingkapnya. Ia berjalan mendekati jendela, tangan kirinya meraih jam tangan Makmur di ujung meja, mengelus layarnya dan tak lama duduk mematung di atas kursi kayunya. Tatapannya kosong, ia mencoba terus berdzikir menunggu jawaban Allah atas do’a-do’anya. Tangan kananya mengurut-urutkan tasbih. Kepalanya tiba-tiba berat, saat membayangkan guratan kesedihan di wajah Lek Komar dan Ibunya.

Pelan-pelan ia sandarkan kepalanya di punggung lemari yang berdiri tepat di samping jendela. Pandangannya mengembara ke seluruh isi kamar. Matanya mengurutkan satu persatu perabotan, lalu diam-diam kembali memutar ulang semua kenangan indah yang pernah ia lalui dengan Makmur di ruangan itu.

“Betapa aku ndak pingin menggantikan posisimu di hatiku kang, tapi Allah ndak kunjung memberi jawaban. Lek Komar lan Ibu jadi ikut kurus memikirkanku. Pangapuntenmu Kang, kulo nyuwun pamit. Sepertinya Allah juga terlibat atas kedatangan Kang Salim. Mugi-mugi Allah segera memberitahukan rencananya tentang keadaanmu Kang. Pandungaku ndak pernah putus kangge njenengan.”

Isak Sirine tak mampu menahan diri. Tangannya menopang air matanya yang tak kunjung mengering setelah setahun lebih ia memanjatkan doa. Menutupi seluruh raut mukanya yang lebam akibat tangisan yang tak pernah ada putusnya. Samar ia bergumam, “Bismillahirahmanirrahim...”

***

Untuk kedua kalinya Sirine mengenakan gaun putih ini. Gaun yang dulu ia sulam sendiri untuk hari besar yang dinanti-nantinya, menikah dengan Makmur. Tak pernah ada yang tahu, kalau akhirnya akan seperti ini. Ia berias sangat sederhana, lipstik coklat kalem membaluti bibirnya yang mulai mongering. Bedak yang ia kenakan kini tidak sama dengan bedak di hari besar yang dinantinya dulu. Sirine mengenakan berbagai asecoris pemberian pihak pengantin pria, mengjunjung tradisi katanya.

Akad nikah akan dilaksanakan di masjid agung kampung. Semua persiapan tengah digelar dengan sangat sederhana. 30 menit berlalu, tamu undangan pun berjejer melingkar sesuai shofnya, perempuan di sebelah kiri dan pria di sebelah kanan. Wali beserta penghulu tengah siap di posisi masing-masing.

Upacara benar-benar telah siap, tinggal menunggu pengantin perempuan menyelesaikan langkahnya menuju tempat yang telah disediakan, di belakang Lek Komar, walinya.

Para undangan terlihat masih sangat gelisah, kepalanya tolah-toleh mencari sesosok yang paling ditunggu-tunggu. Pria yang akhirnya memenangkan hatinya Sirine setelah Makmur. Masjid itu terdapat dua sekat besar untuk hijab jamaah pria dan wanita. Hijab bagian depan yang terbuat dari papan kayu, telah digeser untuk sementara waktu. Setengah dari hijab yang tersisa dibiarkan seperti sedia kala, mengingat jumlah undangan yang tidak banyak, serta mengantisipasi setiap orang yang ingin melaksanakan sholat tahiyyatul masjid.

Sementara semua hadirin tengah disibukkan mencari sosoknya, salim justru masih menyelesaikan rakaat terakhirnya di shaf belakang hijab. Rupanya ia ingin benar-benar menyampaikan pesan terimakasihnya untuk Allah.

"Ya Allah, terimakasih tak berujung hamba sampaikan padaMu... Hamba tahu ini semua tidak lepas dari campur tanganMu. Maka bantu tangan hamba memimpin perempuan yang benar-benar hamba hormati ini, karena ketaatannya pada suaminya sebelum hamba, Makmur. Semoga engkau izinkan ia taat pula pada hamba sebagai suaminya di masa depan. Sampaikan salam hamba pada Makmur dimanapun keberadaannya Allahku, hamba mohon keikhlasannya atas segala kelemahan yang ada dalam diri hamba.”

Tepat setelah Salim menangkupkan kedua tangannya ke muka, sambil menggumamkan kata amin. Terdengar seseorang tergopoh-gopoh memasuki masjid, setengah berlari hampir saja salah satu sandal jepitnya terseret masuk ke dalam masjid.

“Assalamu’alaikum..” Ucapnya sambil mengatur nafas.

“Waalaikum salam..” Jawab seluruh orang yang mendengar, dengan wajah yang saling pandang penuh rasa penasaran.

Dari kejauhan, Salim berjalan mendekati pemberi salam tersebut. Dengan tenang ia mengelus pundak orang itu.

“Alon-alon kang, wonten nopo?”

Sementara Sirine mematung, membayangkan kabar yang datang itu berasal dari Makmur. Jantungnya berdetak kencang. Keringatnya bercucuran, hatinya tak henti melafadkan kalimat istigfar.

" Saya baru saja, didatangi orang-orang berkulit hitam, seperti orang papua kang Salim. Mereka menitipkan selembar surat niki, terose kangge Mbak Sirine lan sinten mawon yang menjadi calon suaminya.”

Tanpa dikomando, mata Salim dan Sirine sekejap bertemu, seolah saling memberi isyarat untuk mempersilahkan membuka dan membaca pesan Makmur. Namun Salim menerima surat itu dan mengantarkannya pada Sirine, calon istrinya.

“Monggo, panjenengan mawon engkang maos..”

Sirine menerimanya, dan berjalan menuju sudut masjid yang lain untuk menerima jawaban dari doa-doanya.

Papua, 21 Februari. Assalamu’alaikum…

Kekasihku Sirine, Akang benar-benar minta maaf, karena tidak bisa membisikkan semuanya langsung ke telingamu

Seperti cerita-cerita sebelumnya sayangku.

Namun yang pasti, akang ingin tegaskan bahwa saat surat ini sampai ke tanganmu, ketahuilah akang telah damai di tempat akang sekarang.

Kau tahu, Allah menyampaikan semua salammu ke akang, lewat mimpi-mimpi akang. Terimakasih atas semua doa, cinta dan air matamu buat akang.

Setelah akang terhempas ke laut lepas itu, akang terhanyut sampai puluhan jam. Beruntung, nelayan di pinggiran pantai papua menemukan akang.

Nyawa akang selamat, meski dengan keadaan yang sangat menyedihkan.

Kaki akang harus diamputasi. Kulit kepala akang menyimpan gumpalan darah yang membeku. Tak perlu menangis karena kau tidak ada di sampingku sayangku, kau telah mengobatiku dengan doa-doamu.

Akang menghabiskan sisa waktu dengan berdoa, sholat 5 waktu dengan bebaring tak berdaya di ranjang orang baik yang kau minta kepada Allah.

Hapus tangismu kekasihku, berbahagialah karena aku juga bahagia disini. Sampaikan salamku untuk calon suamimu, sungguh aku telah mengikhlaskanmu di tangannya. Aku percaya dia orang baik, karena aku tak berhenti memintanya kepada Allah untukmu. Tersenyumlah sayang, agar seluruh penghuni bumi dan malaikat ikut tersenyum untuk hari bahagiamu.

Ketahuilah, Allah merencanakan semua ini untuk kita, agar kita bisa belajar lebih ikhlas untuk menjalani semuanya. Akang tahu, kau wanita kuat.. Dengan segenap cinta, akang rela melepasmu sayang, Demi meraih cinta yang lebih hakiki, cinta kepada Ilahi Rabbi..

Wassalamu’alaikum

Sirine pun kembali menemui Salim. Ia menyerahkan kembali secarik kertas itu pada. Sembari mempersilahkan Salim membacanya. Wajahnya berbinar, nampak lebih lega dari sebelumnya.

Untuk sekian lama, akhirnya ia kembali tersenyum memandang bola mata Salim. “Terimakasih Ya Allah, kau berikan dua pria terbaik di dunia”.

***THE END***

Kekuatan Cinta memang berbanding lurus dengan Doa dan Keyakinan. Maka selalu libatkan Allah dalam setiap ritme hidupmu.