Selasa, 13 November 2012

Antara Kita & Cinta

Sabtu, di pertengahan tahun 2012. 06.00 pm, Saat buka puasa di salah satu warung makan Sapen.

“Hemm….tempe goreng ini memang top, Gak ada tandingannya di dunia.. Mantap jaya pokoknya!, hem…enakkkk….!!” Celetuknya, sambil mencomot tempe goreng di piring meja warung makan. Dan tidak butuh waktu lama, ia segera melahapnya.

“Wah, belum kenyang juga ya??, mau tambah lagi??,” Lirik Ais sambil melongo, lalu sekonyong-konyong menggeser tempe goreng di hadapannya, ke arah Nay.

“Tidak tidak, kenyang aku!!, Kan mubadziiiiir Jes……!!!” Potongnya, Sambil melahap sisa tempe goreng di tangannya.

“Hahahahhahhaa……Dasar Pantang Mubadziiir!!!,” Sorakku yang tanpa sengaja bebarengan dengan suara Ais. Kami pun tertawa melihat Nay yang tetap sibuk menyenggol-nyenggolkan tangannya ke piring tempe yang ada di depannya, sambil memandang penuh gairah.

“Sudahh, abisin sekalian Jes… Aku yang bayar…eman lho..!!,” Suaraku berusaha mengintimidasinya. Sementara Ais masih tertawa di sudut meja.

Meski kadang rada menyebalkan, tapi tanpa ragu ku akui, Nay lebih sering bikin aku dan Ais kangen karena ulahnya yang bener-bener konyol, yang sebenarnya aku lebih senang menyebutnya unik. Sikap apa adanya sering memancing kami tertawa, rada polos tapi kadang gengsinya segede gunung. Dan kurang beruntungnya dia, gengsi itu tak pernah bisa disembunyikan dari hadapan kami. Seperti sikapnya yang sok tegas hingga merasa ‘tidak berminat’ dan sangat ‘gengsi’ saat tertarik dengan salah satu cowok yang sama-sama kita kenal. Walhasil, aku dan Ais yang memahami itu, tetap berusaha keras untuk menggoda-godanya setiap ada moment yang pas, seperti saat dia pulang dari jalan-jalan dengan sang cowok karena satu atau lain hal.

“Hahahaha…”

***

Sabtu pagi, 07.30 am. Di sudut kamar, ketika Nay mengganggu tidurku.

“Lho, kamu gak ikut promosi doktor Jes???,” Suaranya terdengar setengah berteriak, saat menjulurkan kepalanya di jendela kamarku. Bisa kubayangkan, betapa terkejutnya dia saat melihatku masih terbungkus rapat selimut biru kesayanganku.

“HOOAAM…”

“Sudah mau berangkat ya??, Aku masih ngantuk Jes… Absen lagi deh..” Jawabku dengan nada yang terdengar sangat malas, sambil sesekali mulat-mulet ndak jelas.

“Haduuuuh, gimana sih??, absen teruus kamu Jes. Buruan bangun!!,” suaranya masih terdengar memaksaku. Tapi aku cuek, dengan segala kantuk yang menempel erat di kedua kantong mataku.

“Lihat nih, mataku gak bisa melek jess… Aku ngelembur nulis lagi semalam!!” gerutuku sambil mengernyitkan kedua mata, berharap dia segera lenyap dari jendela kamar, dan berhenti menggangguku.

“Hem, Ayolah Jes… Kamu sih, nulis terus kerjaannya!!” Hardiknya memaksaku.

“Ayolah Jes, nggak kuat nih… Ngantuk beud.. Ais ikut kan?, sama dia aja deh...” Balasku memelas.

“Hah, Payaaaah!!...” Setidaknya itulah kalimat terakhir yang berhasil ku tangkap, dan tak lama aku kembali memperbaiki posisi kepalaku di atas bantal.

Inilah salah satu keunikan yang ku maksud di awal tadi. Meski terkenal konyol, tapi dalam lain hal, ku akui Nay memang pintar. Nay selalu senang menyibukkan diri dalam acara-acara yang berbau akademisi di kampus. Mulai dari rapat perwakilan kelas, seminar, talkshow, promosi doktor, sampai pengukuhan guru besar. Hasilnya adalah, dia bisa hafal betul dengan para petinggi Universitas, mulai dari rektor, para pembantu rektor, doktor A, B, C, pun juga para professor, dan termasuk para tokoh pendidikan lainnya, baik dalam maupun luar kampus, bahkan beberapa satpam benar-benar telah mengenalnya dengan baik.

***

Nay adalah anak pertama dari tiga bersaudara, sama seperti Ais. Kedua adik mereka pun berjenis kelamin sama, cewek untuk adik pertama, dan cowok untuk adik keduanya. Sebagai saudara tertua, Nay memang sangat memahami perannya dengan baik, yakni menyayangi adiknya dan sangat menghormati orang kedua tuanya. Meski nggak mirip-mirip banget, tapi Nay dan Ais memiliki beberapa hobi yang terkesan identik. Satu diantaranya, sama seperti Nay, Ais juga hobi banget mengikuti acara-acara akademik. Berbeda dengan aku, yang lebih fleksibel, kalo lagi mood ya berangkat, kalo lagi gak mood, mau tidak mau, aku harus rela dapat uring-uringan dari Nay karena memilih berdiam diri di kamarku.

Pertemanan kami memang bisa disebut korban dari takdir yang absurd. Sejak duduk di semester 7 S1, kami baru saja dipertemukan dalam satu tim PKL (Praktek Kerja Lapangan) sebagai tuntutan perkuliahan dengan ketujuh belas orang lainnya. Pertemanan ini berlanjut saat Ais resmi pindah ke kos ku. Sementara Nay, tetap tinggal di asrama kampus karena bertugas menjadi musrifah . Bertemu dalam tim PKL ini, membuat 7 dari kami merasa nyaman untuk berkumpul dan beraktivitas bersama, tujuh orang ini adalah, Nay, Ais, Meme, Yani, Risa, mbak Ismi, dan aku. Berawal dari sapaan khas yang saling terlontar diantara kamilah yang membuat pertemanan ini terasa lebih segar.

‘Jes’ inilah sapaan yang ku maksud. Siapapun namanya, akan ditambah embel-embel Jes saat menyapa. Meski terdengar konyol, tapi begitulah kami mengekspresikan rasa bangga kami atas budaya pertemanan yang telah kami bangun. Hingga dalam sebuah kejadian di bus kota, pernah Ais disangka bernama Jessica oleh teman duduk di sampingnya. Dan kami, hanya membalas kekeliruan itu dengan senyum cengengesan.

Selain ketujuh orang ini, beberapa temannya teman yang juga menemukan banyak kecocokan dengan kami, turut bergabung meramaikan pertemanan kami, berbagi senang dan saling bersyukur dalam hati.

***

Beginilah takdir, semua serba absurd dihadapan manusia. Rencana demi rencana memang berhak disusun oleh manusianya sendiri sebagai bagian dari ‘mimpi’. Namun meskipun begitu, hari esok memang tidak pernah ada yang tahu. Seperti itu pula yang dirasakan Ais saat harus memutar kiblatnya dari Universitas Malaya menuju UIN Yogyakarta sebagai tujuan untuk melanjutkan studinya di program pasca sarjana. Sedangkan Nay, memang bernasib lebih baik dari pada kami. Dengan semangat dan kepiawaiannya, serta faktor keberuntungan yang selalu memilih-milih sasaran, Nay berhasil memperoleh beasiswa pasca sarjana di UIN Yogyakarta. Lalu aku yang kebetulan ex ketua umum PERSMA, berharap besar bisa meneruskan hobiku ke dunia Jurnalistik, tapi hasil kompromi panjangku dengan ibu dan masku, aku harus memilih jalan lain yang lebih ‘aman’ katanya, “tetaplah menulis, meski tidak harus menjadi seorang jurnalis”,

begitulah pesan mereka. Akhirnya setengah bermimpi, aku pun menyusul Ais dan Nay melanjutkan study di Universitas yang sama, serta berada dalam satu prodi yang sama di tahun kedua kelulusan. Kemudian beberapa dari teman ‘jes’ yang lain, memilih bermimpi untuk bisa mandiri dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Dan dua diantara lainnya, harus menikah karena permintaan orang tua. Sebuah konsekuensi dari keniscayaan mengubah takdir.

Meski jika diprosentasikan dari kesemua teman yang bersatu lewat embel-embel ‘Jes’ ini sebagian besar berhasil mendapatkan kesempatan untuk studi lanjut di lintas kota bahkan propinsi. Namun hal itu tidak menyurutkan kebutuhan untuk saling bersilaturrahim meski harus berada di titik yang saling berjarak.

***

Rabu, 09.00 am. Aula Hall lantai 2. Saat Bedah Buku.

“Jes, lihat arah jam 9…cowok ganteng!” bisik Ais penuh antusias ke arah Nay, hingga aku yang berdiri dengan jarak semester dari arah Nay, turut menjadi korban sugestinya. Kami bertigapun menoleh, ke arah jam 9.

“Wah…iya jes, ganteng…!” sambung Nay, sambil menarik ujung jilbabnya menutupi setengah dari wajahnya.

“Hem…Dasar kalian ini…” Celetukku tak berminat.

“Yee…mentang-mentang sudah punya benjo, semua nampak buram di matamu jes…!” Potong Ais yang diikuti anggukan kuat dari Nay.

“hehehe…ya iyalah,” jawabku sambil meringis.

“Jes, ganteng ya..? anak jurusan apa ya kira-kira?..wah harus segera kita lacak!!” Seru Nay.

“Iya, harus itu!!.” Tambah Ais, penuh persetujuan.

Cowok itu memang berdiri tidak jauh dari tempat kami. Jarak kami mungkin 7 meter saja di tengah-tengah gedung pertemuan yang gedenya 7 kali lipat lapangan tenis. Cowok berperawakan tinggi dan bertubuh atlit itu, mengenakan jaket coklat tua dengan celana jeans hitam yang nampak habis disetrika dua hari dua malam tanpa henti, (licin banget cuy…) Rambutnya yang tumbuh tipis di pelataran kepalanya, dibentuk meruncing di bagian depannya, seperti gaya rambut beberapa grup band ternama. Kulitnya nampak bersih dan segar. Ada jam tangan hitam yang menghiasi tangan sebelah kirinya, yang sesekali nampak setengah tenggelam di sela-sela saku jaketnya. Dipundaknya tergantung tas rangsel hitam yang menempel di punggungnya, dari arah kami berdiri, terlihat gantungan kunci simbol Singapura, menggantung bergerak-gerak tertiup angin.

“Oooh, jes…kita kenalan yuk…” Ais menyarankan.

“Wah, gimana ya?, mau sih, tapi aku malu…” Tukas Nay, dengan tetap memegangi ujung jilbabnya sampai di bawah matanya.

“Hallow…ini mau seminar, apa mau liat cowok siiih??, ayo masuk dong, capek berdiri nih. Hem, tahu gini mending aku tidur saja di kamar..” Gerutuku, yang sama sekali tak dihiraukan oleh mereka berdua.

“Tunggulah jes, atau masuk duluan deh, nanti kita nyusul… Oke?, carikan tempat yang PeWe juga ya?!...hehe…” Sahut Ais sambil melambaikan tangannya ke arahku.

“Ya udah, aku masuk duluan deh!.” Jawabku tak semangat. Aku pun berlalu.

***

Kamis, 05.00 am. Saat semua penghuni kos masih tertidur, kecuali Ais dan Nay.

“Aaaaaaaahhhh….aku sudah tahu nama cowok kemarin jes…” Teriak Nay, saat itu, semua orang masih setengah duduk malas di kasurnya masing-masing.

“Heh, iya po??, sapa sapa jes??,” Suara Ais turut terdengar menghebohkan.

“Namanya mas Husain Haekal, hem…gimana kalo kita kasih inisiatif Mr. doble H jes??, Dan satu hal lagi yang mengejutkan , Mr. doble H ini ternyata kakak kelasmu satu jurusan lho… Eh eh, satu hal lagi yang tidak kalah penting, ternyata…dia kakak kelasku di SMA dulu jes, dan ternyata dia santri kesayangan Yai ku, karena pintar dan sikapnya yang santun… Haduh, gak percaya rasanya jes…” Imbuh Nay, dengan suara yang tetap sesemangat sebelumnya.

“Haa?, subhanallah sekali jes, ayo kita kenalan kalo gitu… atau kita susun rencana untuk ketemuan sama dy?... hahaha…senengnya…bagus bagus.” Tukas Ais penuh antusias yang diikuti dengan tepuk tangan kecil. Beberapa menit kemudian, mereka terdengar semakin heboh, setelah berpindah posisi yang sebelumnya saling menumpang tindihkan kaki di atas kasur yang hanya muat untuk satu orang, ke posisi duduk manis di depan laptop. Ada modem yang tertancap di salah satu sisi laptop itu. Dari sela-sela pintu kamar yang terbuka, ku dapati mereka sedang asik bermain facebook.

“Hem, pasti fb nya cowok kemaren ya?,” Celetukku, sambil diam-diam menjulurkan kepalaku di sela-sela pintu kamar.

“Hehehe, iyalah… pasti kamu gak berminat jes, sudah sana-sana…!!” Balas Ais sambil tersenyum bahagia. Aku pun pergi meninggalkan mereka.

“Ya sudah, semoga cepet dapat tangkapannya, hehehe…” Gumamku, sambil berlalu.

“Amiiin…mau sholat shubuh kan?, doakan kami jes ya???”, suara Ais kembali menyambungku dari balik ruangan.

***

Sabtu pagi, di sebuah Halte Bus Trans Jogja. Di penghujung tahun 2012.

Nay nampak tidak sabar ingin segera sampai di kos. Ia ingin sekali mengambil buku diarynya dan menuliskan sesuatu yang mengejutkannya pagi ini. Nafasnya terdengar tidak beraturan. Perjalanan dari Malioboro menuju kos harus melewati dua halte lagi, artinya dia masih harus transit dua bus lagi untuk sampai di kos dan mensukseskan keinginannya “menulis sesuatu di diarynya”.

“Huff, hp ku mati lagi… Aduh… Buruan dong…” Lirihnya di tengah-tengah kerumunan penumpang.

Kakinya bergerak-gerak penuh tekanan, tubuhnya yang pelan-pelan ikut bergoncang itu, serta merta turut menggoncangkan beberapa bangku di sebelahnya. Beberapa penumpang yang duduk disitu pun menoleh sambil menyampaikan senyum masam. Tapi Nay tidak menghiraukannya, konsentrasinya tersedot penuh ke arah buku diarynya. Tangannya yang mulai keringetan memegang erat ujung jilbabnya, sambil sesekali bersembunyi di balik saku jaketnya karena basah.

Meski beberapa kali ia mencoba berpikir tenang, tapi naas sekonyong-konyong perasaan gundah itu kembali menyerangnya. Pandangannya menerawang jauh, meski matanya beberapa kali telah berpindah-pindah dari satu sudut bus ke sudut bus lainnya. Ia sesekali membuang pandangan menembus kaca bus ke arah luar jendela, melihat tiap manusia yang lalu lalang di sekitar jalan. Lalu sesekali memandangi langit-langit bus sambil terus menerus meyakinkan dirinya atas apa yang baru saja menimpanya. Kakinya kembali bergerak, sejenak berhenti, dan tak lama bergerak kembali. Maka untuk kesekian kalinya, penumpang di sampingnya harus kembali menoleh, mengajukan protes yang masih saja tidak dihiraukan oleh Nay.

30 menit berlalu, Nay buru-buru melompati pintu keluar bus. Dengan mengambil langkah besar, ia mencoba mempersingkat waktu untuk segera sampai kos. Butuh 10 menit untuk setengah berlari, agar bisa segera sampai, dan tanpa ragu ia pun melakukannya.

***

Sesampainya…

Ada Ais yang sedang nampak tekun di depan layar laptopnya, mengayunkan kepala, dari buku teks bacaannya, lalu kembali menatap layar monitor. Nay yang mengetahui Ais sedang nampak sibuk di kamar, mencoba mengatur nafas, dan membuka pintu pelan-pelan. Sesampainya di perbatasan kamar, ia menggeserkan kakinya menuju rak buku, dan mengedarkan pandangan ke arah diarynya.

“Heiii, dari mana kamu jes?,” Celetuk Ais, tanpa mengayunkan sedikitpun posisi kepalanya ke arah Nay.

“Jes… ada yang mau ku ceritakan. Tapi, aku…bingung harus memulainya dari mana?...” Jawab Nay, sambil berjalan mendekat ke arah Ais. Tangannya telah menggenggam erat buku diarynya.

“Hem, kenapa kamu?, memang mau cerita apa?, ya ceritakan saja…” Tukas Ais, yang mulai menutup buku bacaannya, dan menatap lekat-lekat ke arah Nay.

“Jes…Mr. doble H… Mr. doble H, meeeelamarkuuuu…” Ungkapnya, seraya menutup mukanya dengan cepat, ia nampak sangat malu…

“Haaa?, seriius jes?,, gimana itu ceritanya!?, truss memang kamu dari mana ini!?...” Brondong Ais penuh keheranan.

“Jesss……aku gemetaran, coba pegang tanganku, wajahku sudah dipenuhi keringat dingin… emm, jadi ceritanya, tadi aku dari Malioboro, Mr. doble H memintaku kesana tadi jam 6 pagi. Kau tahu??, betapa terkejutnya aku, ternyata kedua orang tuanya sedang menginap di salah satu hotel di dekat Malioboro. Dan…aku diperkenalkan begitu saja, lalu setelah itu, di depan orang tuanya, dia melamarku… Gila bener… aku hampir pingsan jesss…” Suaranya sambil ngos-ngosan menahan gejolak di hatinya.

“Waaaaaah…subhanallah… Trus kamu bilang apa???,” Sambung Ais.

“Aku bilang, kalo ini sangat mengejutkanku, aku akan menjawabnya nanti malam… betapa jes, aku bingung sekali, tidak bisa menguasai diri…” Suara Nay yang terdengar serak bercampur tawa, membangunkanku yang masih terlelap karena begadang semalaman di depan laptop menyelesaikan novelku. Mendengar itu, aku pun beranjak dan menghampiri Nay, yang dari suaranya, aku sangat bingung harus menebak ia kenapa. Namun, sesampainya di kamar itu, aku masuk sambil tersenyum pelan, sepertinya aku mulai tahu arah pembicaraan ini dimana.

“Kamu sudah menyiapkan jawabannya belum jes??”, Tukas Ais.

“Emmm, menurutmu??, aku harus menjawab apa?,” Tanyanya malu-malu, wajahnya ditenggelamkannya setengah menutupi raut mukanya.

“Aku, aku….aku….bingung…” gumamnya…

“Hehe, bukannya ini adalah kesempatan yang kau tunggu-tunggu jes??, sudah diterima saja, awas lhoo…keburu berpaling ke cewek lain…hehehe…” Suaraku yang terdengar tidak kalah serak karena baru bangun tidur ini, sepertinya berhasil menggodanya, dan membuatnya merasa sedikit cemas, aku melihat itu dari raut mukanya.

“Aku setuju, terima saja jes…” Imbuh Ais, menambah keyakinan Nay. Perlahan-lahan, ia mengangkat kepalanya, dan nampak tersenyum bahagia, tak ada yang paling indah selain saat-saat seperti ini, saat cinta bersatu dan memadu seperti bulan purnama yang nampak bulat dengan sempurnanya.

***

Di permulaan bulan Januari 2013. Ketika hujan turun dan membasahi tanah di gang-gang Kota Gede Yogyakarta.

“Becek!!!, duh…ban mobilku kotor lagi nih, padahal baru tadi malam aku mencucinya..!” Gerutu Arkan sambil sibuk mengemudikan mobilnya, ia terlihat tolah-toleh di sepanjang gang yang tergenangi air hujan.

“Hem, tapi semoga Tuhan membalasku dengan pahala berlipat ganda, karena usaha menyambung silaturahim seperti yang telah diperintahkanNya,” ia kembali mengoceh meski dengan nada yang sedikit lebih halus.

Suasana reuni keluarga kali ini tidak seperti biasanya. Pertama ia harus datang bertiga saja dengan bapak ibunya, adik-adiknya tidak bisa meninggalkan sekolah untuk waktu yang lama. Sedangkan kakak pertamanya, masih melaksanakan ibadah haji di Mekkah. Kedua, meski hujan, tapi keluarga yang datang kali ini, lebih banyak daripada reuni-reuni sebelumnya, sampai-sampai ada beberapa sanak kerabat yang belum ia kenal sama sekali. Seperti wajah gadis cantik yang sedang sibuk menyendokkan sup ke mangkuknya di tengah-tengah himpitan pak dhe dan keluarga besar lain dari Lampung itu.

Bukan tanpa sengaja, Arkan menghabiskan beberapa detiknya untuk terbengong begini. Di tangannya ada gelas yang berisi teh hangat, yang tanpa sadar telah menjadi dingin karena AC yang terus bekerja di setiap sisi ruangan.

“Ais, ayo ku kenalkan dengan saudara jauh dari Kalimantan”, suara seorang wanita paruh baya seraya menggandeng lengannya, mengajaknya menepi di dekat vas bunga besar yang membatasi antara ruang ini dengan ruang sebelah. Mereka hilang begitu saja. Arkan pun kembali menyeruput teh yang sudah tidak hangat di tangannya.

“Arkan!!, sini!!...” Suara Uni Ana, keluarga dari Kalimantan mengejutkannya. Ia pun membalikkan punggung dan berputar ke arah sumber suara.

“ada apa Uni?,” Jawabnya..

“Nih, ku kenalkan.. panggil saja dia Ais, keluarga kita dari Kediri.” Celoteh Uni memperkenalkan kami, suaranya terdengar singkat. Kami pun bertemu dalam sekejap, dan tenggelam beradu mata.

“Ais”, bisiknya dalam hati..

“Perkenalkan, nama saya Ais, nama kamu Arkan?, saya sudah beberapa kali mendengar pak dhe dan bu dhe menceritakanmu.” Ais menyambung suara, yang tak lama mulai sibuk dengan hp nya. Sepertinya ada panggilan masuk di ponselnya. Dia pun meminta waktu untuk memutus sesi perkenalan ini.

“Arkan, kau belum punya calon istrikan??, menikahlah dengan Ais.. Dia baru saja menyelesaikan program S2 nya di UIN. Sepertinya keluarga besar akan menyetujuinya, dan yang telfon tadi, pasti kedua orang tuanya, mereka akan segera datang dari Kediri. Eh, kalian sama-sama punya kemiripan. Sadar tidak??, yaitu, kalian sama-sama jomblo…hahaha…“ Uni Ana kembali berceloteh. Kata-kata yang singkat dan cukup mudah dipahami, bahwa dia menemukan jodohnya disini. Sah-sah saja cinta pada pandangan pertama. Toh tidak pernah ada yang tahu, siapakah sasaran panah dewa cinta selanjutnya setelah kita. Jika pun Ais adalah orangnya, sepertinya semua akan terasa lebih mudah.

“Uni, bagaimana jika aku setuju dan Ais tidak setuju?, Uni terlalu percaya diri..” Arkan menyambungnya.

“Heyyy…jadi kau setuju???, bagaimana mungkin Ais tidak setuju, baru saja dia bilang padaku, dia akan sangat senang jika bisa menikah dengan kerabat sendiri. Semua akan terasa lebih baik baginya…” tutur Uni panjang lebar, kepalanya manggut-manggut, matanya mengarah tajam ke arah Arkan.

“Jadi???,,,” Sahut Arkan.

“Jadi malam ini juga, setibanya orang tua Ais disini, akan sekaligus dibicarakan rencana pernikahanmu dengan Ais bocah gembuuul……!!!” ringkas Uni yang sekonyong-konyong mencubit kecil lengan tangan kanan Arkan. Dan, tidak ada yang tahu bagaimana cinta melanda dan menyandra setiap orang dalam kebahagiaan, yang tak terlafadkan meski dalam bait-bait syair. Cinta itupun melenggang dengan penuh bebasnya, mengabaikan segala kerumitan hidup dan menciptakan segala macam rumus kehidupan yang serba simple dan indah.

“Bahkan aku tidak sempat membuatkan puisi untuk menunjukkan kekagumanku padamu Ais.. sungguh ini semua menjadi sederhana dan indah…” Bisik Arkan dalam hati.

***

Lamongan, Senin 16 Juni 2014, Saat para nelayan tengah sibuk melepas jalanya menyambut musim angin laut barat tiba.

Kesepakatan yang ku buat dengan jelas bersama kekasihku memang akan tetap ku pegang dengan baik hingga hari ini. Jika kau berani berjanji, maka kau harus berani menepatinya, begitulah setidaknya yang pernah ku dengar dari ibuku. Janji itu adalah sebuah janji yang akan mempertemukan kami pada satu titik bersama. Janji untuk menengadahkan kepala ke arah langit bersama. Menyeruput segelas kopi dengan kehangatan serta pahitnya bersama. Aku menjadi penulis hebat sebagai eksistensi menyalurkan hasrat dalam diriku, lalu dia memilih jalannya sendiri untuk mengaktualisasikan dirinya, bersamaku.

“Sayang, berdirilah, lihat ke arah ibu.. Owwh, kau cantik sekali… Gaun putih ini memang akan terlihat cantik di tubuh kalian anak-anak ibu. Ayo ayo…Keluarga besar calon pengantin pria sudah menunggu. Mbak Dara dan mbak Rachel sudah menyiapkan semua hidangan dengan baik. Mas mu, yang meminta ibu menjemputmu keluar, waktunya sudah tiba sayang, ayo…” Ku rasakan tangan ibu menggandengku keluar kamar, aku menyambutnya, dan ku remas tangan itu sedikit kuat, mencoba amencari ketenangan darinya. Tahu akan hal itu, ibu menoleh ke arahku, lalu tersenyum perlahan.

“Ibu tahu, kau cemas sayang, tapi tenangkanlah batinmu, dan berbahagialah, karena hari ini kita semua berbahagia untukmu…” Kali ini suara ibu benar-benar bisa menenangkan batinku..

Langkahku berhenti tepat di sebelah kanan mas, saat itu ibu masih menggandengku. Sementara aku masih belum berani mengangkat kepala sampai ibu memintaku mengangkatnya. Dari posisiku, ku lihat jelas raut wajah calon bapak ibu mertuaku di seberang meja. Mereka tersenyum melihatku, aku pun melakukan hal yang sama. Lalu aku mendekat pelan untuk mengecup tangan keduanya. Dan secara bergantian, mereka mengelus kepalaku dengan lembutnya. Ada ketenangan yang benar-benar mengurung rasa gelisahku beberapa menit lalu, yang kemudian membebaskan rasa bahagia dalam diriku. Dan aku meliriknya tersenyum di sudut ruangan.

“Ah calon suamiku…betapa hari ini kau melihatku begitu seksama, melihat gerakanku lekat-lekat tiap detik dengan begitu detailnya.” Sementara aku seperti tangkapan yang tidak bisa berkutik dan melakukan apa-apa, kecuali diam guna menyeimbangkan kebahagiaan dan kecemasan dalam diriku.

Dengan tetap tersenyum, batinku berkata, “Duhai pujaanku, kau yang nanti akan meminjami kakimu untuk menggendongku saat aku lelah dengan setumpuk pekerjaanku. Yang akan meminjamiku telingamu untuk mendengar semua keluhku, yang akan meminjamiku matamu untuk menjagaku yang sudah terlelap, yang akan meminjamiku hatimu, saat aku mulai putus asa untuk berlapangdada. Aku mencintaimu. Dan terimakasihku atas cintamu kekasihku.”

*** Message: Cinta dan persahabatan selalu hadir mewarnai hidup manusia.