Minggu, 30 Juni 2013

Skripshoot Jilid 2

ilusi: anggap saja ini Ahlis Humam bingung dengan skripsinya. :D

Ruang sidang, 21 Agustus 2013.

“Lis, sudah belum?,” Gusti, kakak satu tingkatku yang baru selesai ujian skripsi, tiba-tiba duduk di sampingku. Tangannya sibuk menggemgam 4 jilid skripsi yang hanya dijepit dengan klip hitam.

“Belum, masih antri nih.” Jawabku seraya berdiri mencoba membantunya yang nampak kerepotan.

“Wah, thanks banget.” Ucapnya, ia pun sekonyong-konyong menjatuhkan tubuh yang setengah tambun di sofa, nafasnya terdengar ngos-ngosan tak beraturan.

“Memang ujian skripsi kayak habis lari marathon gini ya?,” Tanyaku, sambil membayangkan suasana di ruang ujian, horror.

“Wah iya nih, ketiga penguji tadi sadis Lis, sudah gue tipe orang demam panggung, ee malah dikerjain, katanya rumusku kurang valid. Gue yang tadinya percaya diri, jadi keki juga dengernya.”

“Dikerjai?, yang bener aja?,” Tandasku mencoba meyakinkan apa yang ku dengar.

“Iya serius, saking gugupnya, gue sampai kebingungan jawab. Sempat dituduh skripsi pesen orang lagi, wahh…” Jelasnya sambil mengusap sisa keringat yang masih membasahi wajahnya dengan sapu tangan yang dikeluarkannya dari saku celananya. “Masak pesenan sih mas?,” Tanyaku kembali tak percaya.

“Ya nggak lah Lis, gue Cuma grogi men, gak mungkin lah nih skripsi pesen orang. Dua bulan gue jarang tidur malam. Mana kantung mata udah 10 senti kayak gini, masak dibilang pesenan. Gue tegesin, gue Cuma grogi!.” Tandasnya tak ingin nampak tolol. Aku hanya senyum-senyum sendiri melihat ekspresinya.

“Ooh, kirain mas..hehe.” Kilahku nyinyir.

“Eh, trus gimana endingnya tadi?,” aku kembali mengintrogasi, dengan penuh rasa ingin tahu.

“Ya…endingnya gue jelasin panjang lebar lah, sampai tangan basah mandi keringat gitu. Tapi akhirnya mereka percaya kalo skripsi itu gue yang ngerjain sendiri. Apalagi waktu jelasin metode penelitiannya, sample dan angka validitasnya gue ngerti bener, standart errornya juga. Ujung-ujungnya gue bilang “Coba bapak tatap mata saya, kantung-kantung ini adalah buktinya pak, saya berusaha sendiri.” gitu deh..haha..udah kayak orang tolol gitu deh. Tapi Alhamdulillah perjuangan gue gak sia-sia, dapat predikat cumlaude bro.. Aaahh…rasanya udah pingin terjun bebas aja, hahaahaa.” Tukasnya panjang lebar, nada suaranya yang naik turun mengikuti emosinya yang meledak-ledak bikin aku kawatir gak bisa nafas.

“Sudah sudah, minum dulu mas,” Ucapku seraya menyodorkan botol Tupperware merahku.

“Oh, thanks, kebetulan haus nih.” Dengan cepat ia meraih botol dan segera meneguknya, hingga seluruh isinya hampir berpindah ke perutnya. Aku kembali membaca barisan judul skripsiku yang dari tadi ku siapkan di pangkuanku.

“Siapa sih pembimbingmu Lis?,” Ia berbalik tanya mengintrogasiku, tapi sebelum sempat ku jawab, tiba-tiba Pak Tora petugas administrasi prodiku muncul dari balik ruangan, dan memanggilku.

“Ahlis Humam, sudah siap?,” Tanyanya, suaranya terdengar ramah menyebut namaku. Aku pun membalasnya dengan senyum hangat. Tak lama, aku pamit dari hadapan mas Gusti, dan menyelipkan botol tupperwareku ke sela-sela tas.

“Wah, sori mas, gue duluan ya..” Ucapku pamit. Aku pun segera berjalan menjauh, memasuki ruangan sidang dilangsungkan.

“Oh, oke-oke..sukses ya.. Man jadda wa jadda Bro..Semangat,” Suara Mas Gusti terdengar setengah berteriak, dan aku sudah tak sempat lagi menoleh ke arahnya.

Sekarang giliran hatiku yang gak karuan. Ku lafadlkan basmalah, fatihah, dan sholawat nabi masing-masing tiga kali. Dan sebisa mungkin aku bersikap tenang, rileks, dan menunjukkan kesiapan.

“Ya Rabbi, beri kemudahan, amin,” Lirihku dalam hati.

Ketiga dosen pengujiku sudah duduk di kursinya masing-masing, ada Dr. Subhan Ghofur, M, E, Pak Kurniawan Hamzah, M, E. I, dan Dr. Hadi Susanto. Terlihat skripsiku mulai dibolak-balik dari depan, ke halaman berikutnya, ke tengah, akhi, lalu kembali lagi ke halaman depan. Hingga pak Tora menyampaikan kepada seluru penguji untuk segera memulai sidang.

“Baik, bapak doktor dan professor, mungkin sidang bisa dimulai.” Suara Pak Tora memandu, seketika seluruh penguji mengangkat kedua wajahnya ke arahku.

“Oh..ini to, calon sarjananya..” Suaranya mencoba menawarkan canda padaku. Aku yang sudah mulai gusar, kini bisa lebih rileks mendengarnya.

“Baik, pak Silahkan dimulai.” Pak Tora kembali memberi komando, tak lama ia pun keluar dan menutup rapat pintu ruangan.

“Baik, bisa kita mulai ya?,” Tanya Pak Kurniawan, selaku ketua sidang. Semua pun mengangguk memberi persetujuan.

**TO BE CONTINUE in jilid 3.. ^^v

skripshoot

Wuush…dinginnya suhu lemari es menerpa wajahku yang kusut. Tak ingin berlama-lama, segera ku ambil botol Tupperware merah milikku, dan sku ambil posisi menjauhi lemari es. Aku duduk di seberang meja, dan langsung ku teguk air putih di dalam botol. Dinginnya membasahi tenggorokanku yang kering, padahal hampir tiap jam aku minum tapi tetap saja tenggorokanku seperti terserang dehidrasi akut. Setelah seluruh isi botol berpindah tempat ke lambungku, aku melangkah ke depan kamar mandi, ada cermin kecil menggantung di dekat pintu kamar mandi. Ku julurkan wajahku ke arah cermin. Mengamati wajahku yang nampak menyedihkan.

“Ya Allah, mataku sampai berkantung begini…” suaraku lirih.

“Yaa..bagaimana tidak, tiap hari kerjaannya nongkrong depan lepy” seronok Eko, teman satu kontrakanku yang tiba-tiba muncul sambil menyelipkan pensil 2b di sela-sela telinganya.

“Memang kalo mahasiswa akhir harus segitunya ya??” imbuh Putra, yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar mandi.

“Astagfirullah, kamu ngagetin aja bro, ku kira gak ada orang, sunyi senyap gitu dari tadi, kok tiba-tiba lu muncul, ngapain hayoo?..” gerutuku.

“wah….stop bro, gak usah mikir macam-macam. Lagi mules nih perut…sejam cuma keluar kentut, coba bayangin…sampai kesemutan begini gue”, Putra pun berjalan keluar sambil menyeret kedua kakinya.

“hahaha…lu sih bikin kopi niat banget semalem, seteko disruput semua..” Eko berbalik arah meledek si putra.

“Iya bener, wah gila..tuh kopi gak pake gula ya, pahit banget…” imbuhku.

“Maklum bro, bbm naik..gak kuat beli gula…”

“Apa hubungannya coba bbm sama gula?,” Protes Eko sambil mengorek-ngorek kedua lbang hidungnya.

“Yah, gimana sih lu, warung depan udah gak buka bangkrut katanya, nah kalo beli gula kan harus ke depan gang sono, mana motor gue mati lagi, gara-gara kehabisan bensin. Dompet kering, Cuma tinggal selembar gambar imam bonjol bro..sekarang mana laku beli bensin 5ribu, hmmm.” Jawab Putra manyun, ia duduk di kursi sambil menyelonjorkan kedua kakinya.

“wah, mahasiswa akhir kayak kita ternyata jadi imbas kenaikan bbm juga ya…” Eko kembali nyeletuk.

“Pemerintah tega banget emang. Hufft..jadi kalo dipikir-pikir nih, berarti yang bikin gue mules kayak gini itu pemerintah. Wah, tega kejam. Bener gak bro?,” Putra menoleh ke arahku, bibirnya mencibir menunggu persetujuanku. Aku yang dari tadi sibuk di depan cermin, langsung memutar wajah ke arahnya.

“Yaa…kalo dianalisis serinci itu, bisa-bisa semua masalah di negeri ini gara-gara pemerintah dong. Kasihan amat mereka. Tapi kalo menurutku sih, kita rakyat kecil juga tetap punya tanggungjawab dalam stabilisasi keadaan bro. Misalnya, sekembalinya lu dari rumah 2 minggu yang lalu saat stok gula kita masih dua toples, harusnya dihemat dong, nah lu malah seminggu berturut-turut bikin kopi rasa gula gitu. Masak kopi sesendok, gulanya 4 sendok bro?.” senyumku sambil mengangkat alis ke arah Eko.

“hahaha…gue setuju sama lu lis. Analisismu masuk akal emang.” Suara Eko menegaskan, ia terlihat berhenti mengorek-ngorek lubang hidungnya, dan tak lama melempar senyum manyun ke arah Putra.

“Wah…kalian…”

“bisa-bisa nih bro, lu seminggu kena diabetes, seminggunya kena mag, minggu depannya kena komplikasi deh.” Imbuhku, gak kalah sadis dari sebelumnya.

“trus minggu depannya mati, gak jadi ujian skripsi deh, wah...serem amat.” Putra ngoceh sendiri sambil mengelus-elus kedua kakinya.

“Tapi gak papa juga kayaknya, biar gak pake deg-degan ujian skripsi bro.” Eko kembali menimpali.

“Hahaha……bener-bener…” kami pun tertawa lepas bersama.

“skripsi oh skripsi, kamu bikin deg-degan aja emang. Hmm, 3 bulan lagi Juni-Juli-Agustus.” Gerutuku dalam hati. Aku pun berlalu dari depan cermin, dan kini sibuk membuka-buka kalender yang menggantung di samping lemari es. ku lihat spidol merah melingkari 3 tanggal sekaligus di bulan Agustus, 21-22-23. Tiga tanggal itu adalah perkiraan ujian skripsi ditetapkan. Aku jadi terpacu lagi untuk melanjutkan skripsiku setelah 30 menit sibuk nercengkrama plus 2 menit sibuk menghitung hari. Tapi ku putuskan untuk mandi dan sholat dhuha dulu.

“Tuhan bantu aku…..” Teriakku dalam hati

***

to be continue.....hehehe..