Selasa, 28 Desember 2010

Features orang

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Dmaestro Edisi Oktober 2004

Haji Agus Salim: Guru para pemuda, ulama, dan diplomat Indonesia
            
Membicarakan Haji Agus Salim sangat aktual bulan Oktober ini. Dia lahir bulan Oktober, dia gurunya para pemuda di Jong Islamieten Bond yang ikut Sumpah Pemuda bulan Oktober 1928, bulan Oktober tahun ini juga dimulai bulan Ramadhan dan Agus Salim adalah seorang ulama dan guru para ulama di Indonesia. Dua bulan yang lalu (Agustus 2004) juga baru terbit buku “Pidato Perpisahan Haji Agus Salim (sebelum meninggal) di Cornell University Amerika Serikat”. Buku itu diterbitkan oleh Pusat Kajian Indonesia di Cornell University Amerika Serikat. Bulan Oktober ini juga kita akan mengetahui siapa pemimpin Republik Indonesia, teladan kepemimpinan juga bias kita ambil dari Agus Salim yang tidak mementingkan golongannya. And The Story Begin:
Dalam sebuah rapat umum ada suara mengembik dari massa yang salah seorangnya adalah Sutan Syahrir, “Embeeek-Embeeeek” (mengejek Haji Agus Salim yang berjenggot dan diibaratkan seperti kambing oleh yang mengejeknya).
“Bismillahir Rahmanir Rahim”, kata Agus Salim.
“Mbeeek.. Mbeeek..” seru suara dari massa.
“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, Agus Salim membuka pembicaraan.
“Mbeeek… Mbeeeeek….”, seru massa lagi.
Agus Salim menjawab dgn cerdas, “Bagi saya sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambingpun telah mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Hanya saying sekali bahwa mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga mereka menyela dengan cara yang kurang pantas. Jadi saya sarankan untuk sementara kambing-kambing dibawa ke luar untuk sekadar makan rumput di lapangan. Sesudah pidato saya ini, yang ditujukan kepada manusia selesai, kambing-kambing akan dipersilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Karena di dalam agama Islam bagi kambingpun ada amanatnya. Dan saya menguasai banyak bahasa”.
Suatu jawaban yang cerdas dan diplomatis. Ya Agus Salim memang cerdas, menguasai banyak bahasa dan gurunya para diplomat Indonesia sejak zaman Belanda sampai awal kemerdekaan Indonesia.
Haji Agus Salim dikenal sebagai seorang ulama, diplomat, dan penulis hebat di Indonesia. Pengetahuannya yang luas mengenai agama Islam, dipadu dengan intelektualitas, kesederhanaan, serta kematangan berpolitik menjadikannya salah satu tokoh terkenal pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ketaatannya pada ajaran agama Islam tidak mengekang jiwanya yang bebas mendengarkan suara hati nuraninya, baik dalam kiprah politiknya maupun dalam kehidupan pribadinya. Ia tokoh pembaharu Islam dan pembawa kemajuan. Hal ini terlihat ketika ia membuka tabir pemisah dalam pengajian yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Ia ingin wanita dan laki-laki setara kedudukannya. Iapun tidak memaksakan agama Islam untuk menjadi agama resmi ataupun agama yang mendominasi bangsa Indonesia. Ini terlihat ketika ia menyetujui usul Mohammad Hatta untuk menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta yaitu “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Hal yang sering dilupakan ketika kita membicarakan sejarah Indonesia adalah fakta bahwa ketika usia 41 tahun (yaitu tahun 1925) Haji Agus Salim membentuk dan menjadi penasehat Jong Islamieten Bond, tempat berkumpulnya anak-anak muda intelektual muslim yang kemudian mayoritas bergabung dalam Partai Masyumi, suatu partai moralis pembela demokrasi (Ada juga yang bergabung dalam PSI yaitu Mr. Hamid Algadri). Para intelektual muda muslim ini adalah di antaranya Mohammad Roem, Mohammad Natsir, Buya Hamka, A.R. Baswedan. Buya Hamka nantinya menjadi guru Cak Nur, Azyumardi Azra, Ruydi Hamka, dan Fachry Ali. Mohammad Natsir menjadi guru Cak Nur, Yusril Ihza Mahendra, Amien Rais, Didin Hafiduddin, Imaduddin Abdul Rahim, dan Deliar Noer. Mohammad Roem menjadi guru Cak Nur dan Adi Sasono. Jadi Agus Salim menjadi akar iilmuwan, pemikir, pendidik, dan politisi Indonesia.
Anggota-anggota Jong Islamieten Bond ini juga pada tahun 1928 mengikuti Kongres Pemoeda II yang menelurkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Agus Salim selain menjadi menteri luar negeri setelah Indonesia merdeka ia juga menjadi penasehat semua Menteri luar negeri sampai akhir hayatnya tahun 1954. Sejak Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo, dan lain-lain. Jadi ia bukan saja guru intelektual Muslim Indonesia tetapi juga guru para diplomat Indonesia dan peletak dasar diplomasi kementrian luar negeri Republik Indonesia.
Ia juga seorang yang anti sekolah (terutama sekolah Belanda). Dari kesebelas anaknya tidak ada yang menempuh pendidikan sekolah kecuali yang bungsu, itupun setelah Indonesia merdeka dan langsung masuk SMP tidak sekolah SD. Tetapi kecerdasan semua anaknya itu dikagumi dan diakui walaupun mereka tidak sekolah. Agus Salim mendidik sendiri semua anaknya itu.
Agus Salim yang lahir pada tanggal 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Bukit Tinggi Sumatra Barat dan keturunan jaksa wilayah ini memang seorang yang cerdas. Mungkin ada faktor genetik juga dari ayahnya yang jaksa dan kakeknya yang ulama serta keluarga ibunya yang ulama.
Ketika Salim lulus dari HBS (Hogere Burgerschool, setingkat SMA) ia menjadi lulusan HBS terbaik di seluruh Indonesia. Hal ini menyebabkan R.A. Kartini mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk mengalihkan bea-siswa untuk dirinya (tetapi dihalangi orangtua Kartini) agar diberikan kepada Agus Salim saja untuk melanjutkan ke sekolah kedokteran di Belanda. Tapi pemerintah Belanda tidak mengabulkannya.
Tapi memang di balik semua musibah ada hikmah. Haji Agus Salim di kemudian hari bersyukur tidak jadi menerima bea-siswa kedokteran. “Kalau saya menerima bea-siswa kedokteran belom tentu saya menjadi tokoh pergerakan dan pejuang Indonesia merdeka”, katanya di Cornell University, Amerika Serikat.
Haji Agus Salim juga jenius di bidang Bahasa. Ia menguasai Bahasa Belanda, Inggris, Arab, Perancis, Jerman, Turki, dan Jepang. Wajar saja kalau ia menjadi filosof sekaligus Mbah-nya para diplomat Indonesia. Memang tokoh yang luar biasa. Akankah Indonesia melahirkan orang besar seperti ini lagi? Mari kita bertanya saja pada rumput yang bergoyang!
(Agung Pribadi)
Sejarawan, Peneliti pada Yayasan Harkat Bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar