Jumat, 14 Desember 2012

The Treason

12 Desember: 01.00 pm. Di lapangan foot ball Universitas.

“Kami masih berteman, dan tidak ada yang berubah sampai detik ini!!,” wajah Harmoni memerah saat mengatakannya, ia hampir menangis. Menangis menahan segala kesedihan di hatinya. Membayangkan indahnya persahabatan tanpa memandang agama yang telah mereka bangun sejak bertahun-tahun lamanya. Ia yang Kristen, Yuree sorang Konghuju, dan Shinri yang budhisme.

“Tapi seperti yang kau lihat, saat ini…mereka tidak ada di sisimu!, kamu telah kehilangan mereka Harmoni!, kamu telah kehilangan mereka!..” Ujar Gorin. Sepertinya dia berhasil menjatuhkan Harmoni, menjatuhkan segala hal yang telah ia bangun dalam dirinya, sebuah kepercayaan.

“Aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini Gorin, aku tahu kau salah, kau salah!!” Teriak Harmoni mencoba mengendalikan diri, ia berbalik memunggungi Gorin, mencoba mengatur nafas, dan membuang jauh segala perasaan buruk yang memenuhi kepalanya.

“Apa kalian benar-benar tega melakukan ini teman-teman?,” Hati kecilnya berkata, melontarkan tanya yang tidak pernah didengar oleh siapa pun. “Jika Gorin benar tentang ini, aku harap kalian akan mengatakannya lebih dulu sebelum seorangpun mendahuluinya. Dan jika Gorin memang benar tentang ini, kalian benar-benar telah menyakitiku.” Lirihnya dalam hati.

“Sudahlah Harmoni, kau harus terima kenyataan!. Inilah kenyataan, kenyataan bahwa mereka tidak ada disini bersamamu!!” Suara Gorin kembali mencengkram keputusasaan dalam diri Harmoni, dan dalam hitungan detik, tubuh Harmoni tergeletak tak sadarkan diri. BRUKK……

“Hem, orang sepintar kamu Harmoni, ternyata tidak sekuat yang ku pikirkan.” Gorin pun berlalu.

***

13 Desember: 06 pm. In Yuree’s Apartment.

“Ree…penampilanmu benar-benar sempurna…aku yakin malam ini akan berjalan dengan baik..” Langkah kaki itu pun berhenti, tepat di belakang bayang-bayang Yuree. Senyumnya mengembang tidak sempurna, ada sedikit luka yang menahannya. Yuree pun menjatuhkan tubuhnya, menyambut sanjungan yang belum pernah ia pahami kebenarannya.

“Terimakasih Li, kau memang yang terbaik..” bisiknya, suaranya terdengar jelas di telinga kanan Li, dan seketika matanya memerah.

“Pergilah, semua sudah siap…”

“Baik aku juga sudah siap, terimakasih Li..” Yuree pun berlalu. Li memandangnya dengan seksama, seperti tidak ingin melewatkan sesuatu.

“Ree, kamu tidak ingin menghubungi siapapun sebelum berangkat??,”

“Tidak, kehadiranmu telah menyempurnakan malam ini Li.” Senyum itu pun kembali mengembang dalam waktu singkat, dan bayangannya tak lagi bisa ditangkap Li.

Ia pun memejamkan kedua matanya, menggigit kedua bibirnya, dan kesedihan tiba-tiba mengurungnya. Pandangannya menyisir ruangan, dan bayangan Yuree memenuhi setiap sudutnya. Membayangkan perempuan yang dicintainya pergi menemui pria lain pilihannya. Kakinya kembali mengambil langkah kecil, dan ia menghempaskan tubuhnya di atas tumpukan gaun Yuree yang berserakan di atas sofa merah. Ia menghabiskan beberapa menitnya disana, menyesali apa yang tidak bisa ia miliki.

***

13 Desember: in front of Shinri’s Home.

“Shin…mobil Yuree sudah di depan..!”

“Iya…minta dia menunggu, aku akan menyempurnakan penampilanku dengan lipstick merah ini Ma..”

“Shin, dia sudah berteriak-teriak memanggilmu..”

“Iya Ma…Tunggulah…!!” Yuree menghitung tiap detiknya yang berlalu dengan sia-sia. “Shinri benar-benar membuatku marah. Jangan sampai dia berpikir akan mengalahkan penampilanku di depan Keen.”

“Aku siap!!” Suara Shinri tiba-tiba muncul di balik pintu mobil Yuree.

“Oh Tuhan, apa kau tidak merasa lipstikmu terlalu berlebihan Shin?,”

“Aku sudah menduganya, kamu pasti akan mengatakan itu. Tapi tidak tidak, aku tidak akan mengurangi merahnya kecuali saat meneguk beberapa bir.” Senyum Shinri mengembang penuh percaya diri.

Mobil itu pun melaju, dengan kecepatan yang cukup untuk seorang pengemudi perempuan. Ada tawa sepanjang perjalanan, dan perlahan mengudara. Sepertinya mereka benar-benar menikmati perjalanan ini. Hingga hp Shinri bergetar, dan Yuree tetap bernyanyi.

Shinri, Harmoni will be die. You must come. Harmoni’s Mom.

“Astaga, Ree..Harmoni, dia dalam bahaya.” Suara Shinri mendesah penuh kepanikan.

“What?, Harmoni?, apa yang terjadi padanya?,” Ree memperlambat kemudinya.

“Kita harus kesana Ree, Harmoni membutuhkan kita.”

“Tunggu-tunggu, kau yakin akan menemuinya!?,”

“Apa maksudmu??,”

“Shin, aku sudah bertahun-tahun menunggu malam ini, kamu tahu itu. Aku tidak bisa, aku akan tetap menemui Keen.” Yuree menghentikan mobilnya, matanya menatap Shinri tajam.

“Aku tahu Ree, tapi Harmoni sahabat kita.”

“Tidak, aku tidak akan menunggu malam ini lagi, pergilah. Dan maaf, aku tidak bisa mengantarmu.”

“Ada apa denganmu Ree???,”

“Tidak ada, aku hanya berusaha jujur pada diriku, bahwa aku sudah muak dengan persahabatan ini, Harmoni tidak adil, dia tidak berhak memperlakukanku seperti ini.”

“Apa yang kau katakan?? Kau sadar itu Ree?, ini Harmoni, ini Harmoni Ree.”

“Aku tahu, tapi aku tidak akan membiarkan Keen menungguku terlalu lama. Sekarang terserah padamu Shin, kau akan menemaniku menemui Keen, atau kau akan menemui Harmoni?, aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu jawabanmu Shin.” Yuree membuang tatapannya ke arah luar mobil, tangannya nampak siap mengambil gas.

“Ree, apa ini??,”

“Cepat Shin, aku hanya punya waktu 10 detik, setelah itu jika kau tetap disini, ku anggap kau telah memberiku jawaban. Tapi seingatku, kau telah berjanji menemaniku malam ini.”

“Astaga, Ree..”

“Oke, time’s up!.” Yuree pun kembali melajukan mobilnya, tanpa sepatah kata. Sedang Shinri hanya terdiam, dan sibuk mengulang-ulang membaca pesannya, sambil berkata pelan,

“Harmoni, tunggulah…tunggu kami… Aku yakin kau pasti bisa mengerti bagaimana perasanaan Ree.. Tolong maafkan kami..” Shinri menghembuskan nafasnya.

***

13 Desember: 07.00 pm. Sesampainya di Hotel...

“Shin, aku benar-benar tidak mau Harmoni mengganggu malam ini. Malam ini milikku.” Ucap Yuree saat beberapa pria tampan menyambut mereka di depan pintu masuk hotel.

“Aku tahu, akan ku hapus nama Harmoni dari pikiranku sekarang,” Sahut Shinri. Seluruh meja telah terisi, kecuali satu meja kosong yang telah dipesan Li untuk Yuree. Meja itu terletak di sudut paling menakjubkan, kursi-kursinya menghadap tepat ke arah taman hotel yang sangat indah. Ada dua tangkai mawar di dua sisi meja. Beberapa bir terkenal pun telah siap dituangkan.

“Lihatlah Shin, Li benar-benar tahu apa yang ku inginkan.” Lirih Yuree sambil berjalan ke arah meja.

“Tapi dimana Keen, bukankah kita sudah terlambat beberapa menit?,” Tanya Shinri sambil mengedarkan pandangan ke beberapa sudut hotel.

“Pasti dia sedang bersiap-siap, aku yakin Keen akan datang.” Jawab Yuree. Beberapa pelayan berdiri mengelilingi sisi meja. Menunggu perintah dari Yuree dan Shinri.

Setelah 10 menit berlalu..

“Bel, apa kau belum melihat Keen datang?,” Suara Yuree menatap salah seorang pelayan yang berdiri tepat di sampingnya.

“Belum Nona, tapi tenanglah, dia akan datang sebentar lagi..” Jawab sang pelayan berambut pirang.

“Baik.” Potong Yuree.

15 menit berlalu…

“Nona, Tuan Keen sudah datang, dia akan sampai di meja ini dalam 3 menit. Ollu telah menyambutnya di pintu masuk.”

“Shin, kau tahu aku menunggu saat ini…” Suara Yuree kembali meyakinkan Shinri. Tak lama kemudian..

“Silahkan Tuan..” Suara Ollu membimbing Keen ke arah kursi yang telah disiapkan.

“Shinri…Yuree…Kalian benar-benar cantik malam ini. Tapi maafkan aku, aku terlambat beberapa menit..”

“Iya, tapi itu lebih baik, dari pada tiba-tiba kau tidak datang. Hidupku pasti hancur Keen..” Jawab Yuree penuh ketidaksabaran, matanya mencoba menangkap mata Keen

“Yuree benar.” Shinri menegaskan. Setelah acara minum dan makan malam berlalu, Yuree meminta Hobel dan Ollu mempersiapkan rencana selanjutnya. Keduanya pun bergegas pergi, dan tidak lama kemudian kembali dengan senyum yang mengembang diantara kedua pipinya.

“Semua sudah siap Nona..” Yuree pun membalasnya dengan senyuman.

“Keen, aku mohon…tinggallah beberapa saat dengan ku. Shinri akan pergi sebentar, ada yang harus dia kerjakan.”

Shinri nampak terkejut dengan kalimat Yuree, dia tidak tahu bahwa dia harus pergi secepat ini. Yuree tidak berbicara tentang ini sebelumnya. Tapi dia akan melakukan ini demi Yuree, tanpa banyak tanya.

“Yuree benar, ada yang harus ku kerjakan Keen. Tinggallah beberapa saat disini, aku yakin sudah lama kau tidak bersantai seperti malam ini.” Shinri pun berlalu, Ollu meningikutinya dari belakang.

“Apa yang kau inginkan dariku Yuree?, sepertinya aku tidak dilibatkan dalam rencana-rencanamu malam ini?.” Suara Keen sambil meneguk bir terakhirnya. Yuree tersenyum, “Karena rencana hanya dibuat oleh para pemain di belakang panggung, sedangkan kamu adalah tokohnya Keen, bagaimana mungkin kamu dilibatkan tentang urusan di belakang panggung, itu sangat tidak sebanding untukmu.”

“Kau terlalu berlebihan menyanjungku..” Keen tertawa pelan.

“Tidakkah kau bosan duduk disini Keen?, aku ingin berjalan-jalan di taman itu, kau mau mengantarku?,”

“Bukankah pengantar adalah pelayan?, maka aku berubah menjadi pelayanmu sekarang, baiklah…” Keen pun berdiri, memberikan sambutan tangannya ke arah Yuree. Mereka pun berjalan menyusuri taman. Hingga tiba di balik pepohonan, Yuree tiba-tiba mendekap Keen dari belakang, lalu pelan-pelan membelai punggung Keen.

“Apa yang kau lakukan terhadap pelayan ini Nona Yuree?.” Tanya Keen, dengan tetap tenang.

“Keen, jika para pengagumku mengatakan aku adalah perempuan yang tegar, aku kini mengaku lemah di hadapanmu. Jika pun kau memintaku memijat kakimu, aku akan melakukannya Keen.”

“Yuree, jangan kau tunjukan kelemahanmu di depanku, karena aku takut rasa kasihan yang akan memenuhi kepalaku.”

“Aku tidak peduli Keen, aku lelah menunggumu!!.”

“Bukankah, banyak pria yang kau kencani selama ini?.”

“Keen, aku melakukan itu, karena aku lelah menunggumu.”

“Kau tidak mencintai mereka?!”

“Sebenarnya aku memang mencintai salah satu dari mereka, tapi itu hanya karena rasa jenuhku Keen. Mengertilah…”

“Lalu, menurutmu, apa kamu pantas menjadi perempuanku?,”

“Ya, tidak ada yang lebih pantas selain aku.”

“Kau yakin aku akan menerimamu?,”

“Yakin.”

Seketika, Keen meraih tubuh Yuree dengan kedua tangannya yang kuat, lalu memandang lekat-lekat kedua matanya. Namun dengan gerakan yang tidak kalah cepat, Yuree menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Keen, dan merasakan harumnya tubuh pria yang dicintainya. Semakin Keen berusaha melepaskannya, Yuree semakin mempererat pelukannya. Hingga, tiba-tiba, Yuree mendekatkan bibirnya ke bibir Keen. Dan ia enggan melepasnya.

***

Shin, Harmoni di rumah sakit, datanglah. Kau masih bersama Yuree?. Ajak dia. Shinri dikejutkan dengan sms yang diterimanya.

“Li, dia sudah bersama Harmoni sekarang?.” Batinnya.

Iya, aku masih bersama Yuree. Tunggulah, aku akan segera menyusul setelah Yuree siap.

Tidak ada balasan lagi dari Li, dan Shin mulai sedikit gusar. Tapi dia tetap akan duduk di ruangan ini, sebelum yuree mengajaknya pulang. Meski ia tak tahu kapan.

***

Ruang kamar Harmoni terletak di lantai 6, No 123 Orchid. Berada di sisi ketiga dari arah lift. Suara pantulan sepatu pantofel membuat mama Harmoni terperanjak keluar.

“Mereka datang..”

“Tenang Nyona Evi, saya yang akan melihat keluar, tenanglah disini bersama Harmoni.” Tukas Li, yang dengan sigap beranjak berdiri.

“Baik, terimakasih Li, tolong segera.”

“Iya Nyonya.” Sesampainya di pintu luar ruangan, Li hanya menemukan dua sosok pria berkacamata berjalan mendekat ke arahnya. Li menunggu sebentar di tempatnya berdiri.

“Apa anda Tuan Li?, perkenalkan saya Ollu dan ini Hobel.” Sapa keduanya, sambil mengulurkan tangan.

“Siapa kalian?,”

“Kami membawa pesan dari nona Yuree untuk nona Harmoni,” seketika Ollu menyodorkan secarik kertas yang terlipat rapi ke arah Li.

“Ada dimana mereka?, apa mereka tidak akan datang?” Tanya Li, penuh rasa ingin tahu.

“Itu saja tuan yang bisa kami sampaikan, kami akan pergi.” Dan mereka pun segera membalikkan tubuh, dan mengambil langkah menjauh dari Li.

“Apa yang kalian lakukan?,” lirih Li. Ia pun berjalan dengan lemas, matanya tidak beranjak dari secarik kertas di genggamannya.

“Bagaimana Li?, dimana mereka?,” Tanya nyonya Evi dengan cepat setelah melihat gagang pintu terbuka.

“Maaf Nyonya, mereka tidak akan datang malam ini.” Jawab Li singkat.

“Apa??,”

“Iya Nyonya, ada titipan untuk Harmoni, dua pria datang menyerahkannya.” Ungkap Li, wajahnya nampak berubah.

“Surat untuk Harmoni?, apa yang terjadi dengan mereka?, tidak mungkin mereka hanya mengirimkan surat untuk mewakili kehadiran mereka di sisi Harmoni..!” Ucap Mama Harmoni, dengan nada sedikit memberontak, dia berjalan ke arah Li.

“Sebenarnya ada apa ini Li??,” Tanyanya sekali lagi.

“Entahlah Nyonya, mungkin surat ini yang akan menjawabnya.” Ujar Li, sambil menyodorkan kertas yang ada di tangannya. Mereka pun membacanya..

23.18 pm. In this Place. Harmoni, what’s going on whit you?.. Ku akui aku memang sedikit cemas mendengar kabarmu.. Tapi kau tahu benar tanggal ini sudah ku rencanakan sejak setahun yang lalu, 13 Desember 2012. Meskipun aku tidak melibatkanmu, bukankan sudah seharusnya kau tahu!?. Aku datang menemui mimpiku, cintaku dan kebahagiaanku. Dan aku tidak akan pernah melibatkanmu. Karena kau tahu?, aku sudah lelah dengan semua ocehanmu. Kau selalu menganggapku tidak pantas, dan membuatku muak dengan segala komentarmu tentang cintaku pada Keen. Kau selalu bilang, kalau aku tidak pantas untuk Keen, karena aku selalu berkencan dengan pria-pria itu!. Tapi kau salah Harmoni, kau salah!!. Malam ini Keen jatuh di pelukanku. Shinri akan bersamaku, dia tidak akan ku biarkan menemuimu.. Dan satu hal lagi, entahlah, aku tidak tahu akan menemuimu kapan.. Yang jelas, malam ini maaf.. kami tidak akan datang menemuimu..

“Oh Tuhan, apa yang terjadi Li?, mengapa Yuree tega melakukan hal ini?.” Isak nyonya Evi, sambil melipat surat yang ada ditangannya.

“Entahlah Nyonya, aku akan menemui Yuree setelah ini.” Ujar Li, dia juga mulai tak bisa mengendalikan diri, ada kemarahan lain yang bertumpuk mengisi kepalanya.

“Harmoni…kuatkan dirimu honey…” Lirih Mamanya mendekat dan memeluk tubuh yang terbujur diam itu. Tubuh Harmoni terasa dingin. Ada air mata yang menetes di pipi nya, tanpa sepengetahuan Mamanya. Harmoni menangis.

***

14 Desember: 09.00 pm, in Logos Café.

“Oh…Keen, kau sudah datang ternyata.” Sapa dua gadis berambut pirang ke arah kursi di depannya. Ada Keen yang diam terduduk di salah satu kursi yang tertata melingkar itu.

“Apa yang kau inginkan dariku sebenarnya??,” Tanya Keen, suara terdengar gagal menenangkan hatinya.

“Oh, Keen…tunggulah sebentar, bagaimana kalau kau menari denganku?,” Jawab salah satu gadis itu, mereka telah menjatuhkan tubuhnya ke kursi kosong di samping Keen.

“Maaf, aku tidak punya banyak waktu..!”

“Hahahaha…tuan tampan ini sepertinya tidak punya kesabaran yang cukup untuk kita Mori.. aku jadi takut mendengarnya…”

“Hahaha…” Gadis lain menimpali, mereka mulai sibuk menyulut rokok.

“Baiklah baiklah, sebelum kau membunuhku Keen, aku akan menjawab pertanyaan pertamamu tadi.” Asap mengepul dari mulut kedua gadis itu, asap itu mengudara dan hilang, hingga beberapa kali hal yang sama berulang.

“Em…Tuan Keen yang terhormat, kami hanya ingin kau permainkan Yuree seperti kau mempermainkan boneka bekas. Bagaimana?,”

“Siapa sebenarnya kalian?, aku tidak mengerti.” Suara Keen terdengar kasar.

“Oh, Gorin kau benar, pria ini memang tidak punya kesabaran yang cukup untuk kita.” Mori menanggapi.

“Fine, kita memang belum berkenalan, bahkan melalui pesan yang ku kirim padamu kemarin. Namaku Gorin, dan dia Mori.” Gorin kembali menghisap rokoknya. Dan tak lama, kembali berbicara.

“Keen, ikuti apa yang diinginkan Yuree, tapi kemudian tinggalkan dia, dan hidupmu akan selamat.” Jelas Gorin, suaranya penuh dengan tekanan.

“Apa hakmu memerintahku!?,” Kilah Keen penuh amarah.

“Karena adikmu berada di bawah kekuasaanku, aku akan membunuhnya jika kau tidak mengikuti permintaanku.” Tegasnya.

“Apa?, kamu serius mengancamku?...” Suara Keen terdengar lebih santai dari sebelumnya.

“Hem, kau tidak percaya??, aku akan membuktikannya padamu. Besok sore, kau akan melihat adikmu terbunuh di depan rumahmu. Tanpa jejak dan tanpa ada bukti sedikitpun, meski kau tahu, aku lah yang ada di belakang itu semua.”

“Apa maksudmu??,”

“Aku hanya ingin mengingatkanmu, bahwa semua akan jadi semakin sulit buatmu Keen, jika kamu tidak melakukan apa yang ku sampaikan ini.”

“Kalaupun aku meninggalkan Yuree, aku tidak akan melakukannya untukmu Gorin, tapi aku akan melakukannya sendiri tanpa permintaan dan bahkan ancaman dari perempuan sepertimu!.” Desah Keen, matanya mencoba menatap tajam ke arah Gorin.

“Apa!?, jadi kau benar-benar tidak mencintai Yuree??,” Ekspresi Gorin berubah, ia tak yakin apa yang telah didengarnya.

“Sedikitpun itu bukan urusanmu!.” Potong Keen. “Aku akan pergi, selamat tinggal, dan jangan pernah melakukan hal konyol ini lagi.” Tambahnya.

“Baik, aku tahu, kedengarannya semua akan lebih mudah sekarang. Terimakasih Keen.” Gorin nampak tersenyum puas.

“Jangan berterimakasih padaku, aku tidak ingin terlibat apapun denganmu lagi.” tandasnya.

Keen pun berlalu, meninggalkan semua hal yang tidak pernah terpikirkan di kepalanya. Sejak pertemuan dengan Yuree semalam, hingga kata-kata Gorin yang baru saja didengarnya. Semuanya terasa sangat mengganggu. Ia mencoba berpikir sejenak sambil tetap melangkahkan kakinya. Hal yang paling tidak ia sangka adalah Yuree, yang tiba-tiba mengaku telah jatuh hati padanya sejak setahun yang lalu, ciuman dan dekapan Yuree semalam, serangkaian permintaan Yuree yang dilayangkan di telinganya, sampai pertemuannya dengan Gorin beberapa menit yang lalu. Serangkaian peristiwa ini membuat dua malamnya terkuras habis hanya untuk berpikir. Namun satu hal yang pasti, ia harus mengambil sikap sesegera mungkin, itulah yang diyakininya.

***

15 Desember: 12.10 pm, in one of hospital Room. Harmoni masih belum sadarkan diri, tapi mamanya sering melihatnya menangis beberapa saat terakhir ini. Ada sesuatu yang tak bisa lagi ia sembunyikan dengan baik. Rasa ingin tahu yang teramat besar juga selalu mengganggu pikiran Evi.

“Harmoni, sadarlah sayang… Mama benar-benar mencemaskanmu..” Ia pun kembali menghujani putrinya dengan pelukan. Ia mengambil kalung salip yang ia kenakan, dan memindahkannya ke leher Harmoni. “Semoga Yesus benar-benar mendengar doa kita sayang..” Bisiknya penuh air mata.

***

“Jangan begini Yuree, kau sudah keterlaluan!!.” Ujar Li, dengan nada kesal. Wajahnya menatap Yuree tajam.

“Li, hentikan, sepanjang jalan kau terus-menerus memprotesku. Ada apa denganmu?, Apa kau mencintai Harmoni??.” Sahut Yuree dengan sedikit senyuman di bibirnya, ia pun kembali berujar. “Mengaku saja.. Banyak pria dewasa sepertimu yang jatuh hati pada Harmoni, mungkin kebanyakan kalian menganggapnya lebih dewasa dari pada aku.” Tandasnya.

“Ucapanmu semakin konyol Yuree, kamu benar-benar keterlaluan. ketidakdewasaanmu telah menghancurkan banyak hal, kau tahu itu!!.” Suara Li semakin meninggi, kali ini ia benar-benar tidak mampu menguasai diri.

“Aku lelah dengan semuanya Li, cukup!!. Aku akan bahagia dengan Keen, itu saja yang harus kamu tahu, tidak lebih. Dan dengar, aku benci dihakimi seperti ini!!.” Yuree pun berteriak, semampunya, suaranya yang lembut sedikit berubah menjadi agak meninggi.

“Harmoni benar tentangmu, kamu memang egois, tidak berperasaan, bahkan atas apa yang telah ia lakukan untukmu, kamu masih saja merasa benar!!.”

“Tidak ada yang berhak menghakimiku Li. Aku lelah, jika harus berpura-pura diam dan menjadi penurut. Selama ini, Harmoni terlalu banyak bicara. Dan aku membenci setiap apa yang ia katakan tentangku.”

“Heh, kamu bahkan tidak paham apa yang dimaksud Harmoni atas setiap ucapannya. Kamu masih terlalu egois untuk memahami semuanya dengan baik seperti Harmoni Ree!.”

“Cukupp!!!!!, cukup kau menghinaku begini Li. Cukup!!!!!, aku benar-benar tidak tahan!!!.” Nafas Ree terdengar tersenggal-senggal, ia pun tak mampu mengusai diri. Kedua tangannya, menutup rapat telinganya, berusaha tak lagi menangkap suara Li.

“Kata-kata Harmoni semakin benar, aku memang butuh banyak kesiapan untuk mencintaimu Ree. Dan sepertinya aku tak sanggup lagi.” Tiba-tiba Nada suara Li terdengar sangat putus asa. Ia membuang muka, jauh ke arah luar mobil. Dan ia nampak sangat tak berdaya.

“Apa?...apa yang kau katakan Li??, kau mencintaiku??.”

“Iya, aku mencintaimu, dan hanya pria tolol yang mengaku tidak mencintaimu setelah apa yang kau lakukan untuk mereka.”

“Apa??, kau bilang apa??.”

“Ree, kau sering bilang bahwa kau adalah pencinta yang baik. Karena kau telah memperjuangkan semuanya demi cintamu. Cintamu pada Keen, dan cintamu pada pria lain di masa lalumu. Tapi Ree bagiku kau tidak paham cinta itu apa, selain hanya sekedar bermain kartu.”

“Apa maksudmu??!!.”

“Ree, kau selalu mengencani banyak pria, memenuhi apapun yang mereka inginkan, dan membuat mereka bertekuk lutut atasmu. Bahkan tanpa ku sadari, ternyata aku adalah salah satu dari mereka. Tapi setelah kau bosan, kau buang mereka jauh, dan meletakkan mereka di ujung jurang. Dan setelah ini kau merasa Keen layak menjadi milikmu?, padahal sedikitpun aku tidak yakin bahwa Keen mencintaimu.”

“Ohh…kau semakin mirip dengan Harmoni Li, kau banyak bicara dan membosankan!!”

“Bahkan, kau hanya mendengarkan orang-orang yang berkomentar tentang keindahan dalam dirimu. Selebihnya, kau akan membuang semua komentar yang tidak ingin kau dengar. Termasuk Harmoni. Dan setelah apa yang mereka lakukan untukmu, kau bahkan enggan menemui mereka??, sama seperti Harmoni yang tergeletak sekarang. Kau keterlalun Ree, kau benar-benar keterlaluan. Kau mengukur semuanya dari sisimu. Kau bahkan pendendam. Lihatlah betapa buruknya dirimu. Bahkan pada Harmoni pun, kau tidak melakukan apapun!!.” Tanpa diketahui Li, ternyata wajah Ree telah tergenangi air mata. Pelan-pelan, terdengar suara sesenggukan yang menggoncangkan tubuhnya.

“Hentikan Li… tolong hentikan… aku tidak sanggup mendengar kata-katamu lagi…” Suaranya melemah, pasrah, dan semakin terdengar tidak jelas karena basuhan air mata yang memenuhi wajahnya.

“Temuilah Harmoni Ree, temuilah dia. Ajaklah Shinri juga. Tapi jika kau benar-benar tidak ingin menemuinya, tolong jangan halangi Shinri untuk menemui Harmoni.” Lirih Li dengan nada yang lebih tenang dari sebelumnya. Yuree tetap menangis, dan Li tetap terdiam. Bayangan Harmoni tiba-tiba memenuhi kepala mereka.

***

Li, where a u?, please acompany me, aku ingin bertemu dengan Harmoni. Li terkejut saat membaca pesan di layar hp nya. Dengan sangat sigap ia segera menelfon sang pengirim pesan.

“Shin, aku di rumah sakit. Kemarilah.”

“Oh, baguslah, 10 menit lagi aku sampai. Tapi tolong temui aku dulu Li, aku butuh saranmu.”

“Baik, I’ll waiting for you. Meet me in canteen.”

“Ok, thanks.”

20 menit kemudian…

“Li, aku takut.”

“Sudahlah, kita baru saja membicarakan ini. Harmoni tidak seperti yang kalian bayangkan. Jangan biarkan dia menunggumu terlalu lama Shin. Bicaralah apa adanya tentang Yuree, aku yakin dia pasti bisa mengerti.”

“Baiklah.” Shinri menarik nafasnya dalam-dalam sebelum memasuki ruang kamar Harmoni. Ada tante Evi yang duduk di sofa, keadaannya terlihat menyedihkan. Shinri pun dengan segera memberi pelukan, dan air mata mewakili kata-katanya.

“Tante, aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa kecuali dengan air mata ini.”

“Iya tante mengerti, tenanglah, mari kita meminta kesembuhan Harmoni pada Yesus.” Ucap Tante Evi dengan tenang.

Shinri tenggelam dalam tangisan. Lalu pelan-pelan, tante Evi menggandengnya, mendekati Harmoni.

“Astaga, apa yang terjadi padamu Harmoni?. Kau benar-benar terlihat menyedihkan. Kau kurus, matamu hitam dan cekung tak karuan. Bibirmu..bagaimana bisa sekering ini?, Kulitmu pucat Harmoni. Oh Yesus, lindungi Harmoni, jangan kau buru-buru membawanya ke surga.” Shinri memeluknya dengan linangan air mata yang tidak kunjung berhenti. Terus menerus, hingga tanpa sadar, tangan Harmoni bergerak.

“Tante, Harmoni bergerak..” Teriak Shinri dengan senyum yang sedikit mengembang.

“Oh Yesus, benarkah Shin??, Li..tolong panggilkan dokter.” Seketika Tante Evi mendekap tubuh Harmoni, dan merasakan tangannya bergerak.

“Shin, Harmoni sadar…,” Wajah Tante Evi berubah, ia melihat tajam ke arah Shinri, dan mencium kedua tangan Harmoni.

Belum sempat dokter datang, Harmoni telah mulai membuka matanya. Dia pun tersenyum pelan, dan diikuti beberapa air mata yang berjatuhan di pipinya, setelah sadar apa yang telah terjadi padanya. Ia melihat Shinri dan Mamanya berdiri di sisi kanan dan kiri ranjang. Tubuhnya dipenuhi selang.

“Shin…kau…sudah datang?, Yuree… dimana?, dimana dia?...” Tanya Harmoni dengan nada yang terputus-putus, ia terlihat masih sangat lemah.

“Maafkan aku Harmoni, aku terlambat datang. Yuree masih menenangkan dirinya di apartemen. Entahlah, kami bertengkar semalam. Dia bahkan tidak menitipkan salam untukmu.”

Harmoni meraih tangan Shinri dengan sangat lemah, lalu berkata “Shin, ada yang salah dengan kita bertiga. Aku tidak ingin persahabatan kita memburuk seperti ini. Kau tahu, akhir-akhir ini, kita tidak lagi sibuk untuk saling menjaga. Gorin akan merusak persahabatan kita Shin. Kau tahu?, perasaan cinta akan mengurung kita di sangkar masing-masing, Gorin telah merencanakan semuanya dengan baik Shin. Ada yang salah dengan definisi cinta dan persahabatan di kepala kita. Cinta tidak akan pernah melukai shin, dan cinta tidak akan pernah menuntut kesempurnaan. Persahabatan pun demikian. Harusnya, setiap orang yang memahami persahabatan dengan baik, tidak akan pernah salah atas perasaan cintanya. Tapi kenapa kita justru terjebak saat ini Shin?. Gorin akan menghancurkan kita semua, jika kita selemah ini.”

“Gorin menemuimu?, Astaga.. apa yang telah ia lakukan padamu Harmoni?, apa dia yang membuatmu seperti ini?,” Shinri terlihat cemas, dan ada penyesalan yang tak bisa ia sembunyikan.

“Iya, Gorin yang melakukan semuanya. Maafkan aku, aku lebih dulu tak sadarkan diri sebelum mengatakannya pada kalian Shin.. Aku berharap kalian bisa segera datang, tapi sepertinya semua terlambat. Sampai akhirnya Yuree benar-benar mewujudkan pertemuan tanggal 13 kemarin. Dan semua semakin memburuk, setelah ia tak mampu mengendalikan perasaan cintanya pada Keen yang sedang berdiri tepat di hadapannya. Kau lihat, betapa perasaan cinta telah menguasai dirinya kini Shin, hingga dia kesulitan memikirkan hal lain. Aku mohon Shin, mengertilah bahwa semua konsep kehidupan ini adalah sama. Tidak ada yang berubah. Mencintailah dengan tulus, dan jangan senang menyakiti, lalu bersahabatlah dengan tulus, dan jangan biarkan ada iri dengki tinggal di hati. Aku hanya ingin Yuree melihat segala resiko atas apapun yang ia lakukan, tidak lebih Shin. Aku takut dia akan terluka lagi, hanya itu. Tapi sepertinya dia salah mengerti tentang apa yang ku maksud”.

“Harmoni, Li memang benar tentangmu, kamu tidak seperti yang kami bayangkan..” Shinri memeluk erat tubuh Harmoni, dan mereka menangis bersama.

***

“Keen, kau bisa menemuiku malam ini?,” Suara Yuree terdengar sedikit terisak.

“Ree, kamu kenapa?, kamu menangis?...” Jawab Keen dengan nada peduli.

“Keen, aku butuh kamu malam ini, datanglah ke apartemenku..”

“Oh, seandainya bisa aku benar-benar ingin datang Ree, tapi maaf…aku sudah berjanji menemui adikku, dan aku tak bisa membatalkannya. Coba hubungi Shin, atau temanmu yang lain.” Keen menambahkan.

“Keen, aku butuh kamu!!, aku tidak butuh mereka semua!!,” Keen terperanjak, suara Yuree terdengar sangat marah.

“Ree, aku tidak bisa..” Jawab Keen, tegas.

“Keen kalau kau tidak datang, aku akan bunuh diri!!.” Kini Yuree mencoba mengancam Keen.

“Kau tidak berhak melakukan itu Ree.. aku akan sangat membencimu jika kau benar-benar melakukannya...” Keen berbalik mengancam Yuree, nada suaranya tetap tegas, dan lembut.

“Keen, bahkan saat aku akan mati pun, kamu tidak peduli padaku…?” Suara Yuree berubah meratap.

“Aku tidak bisa Ree.. Jaga dirimu, dan ku mohon, lupakan aku. Aku tidak bisa..”

Mendengar apa yang dikatakan Keen, seketika tubuh Yuree terasa lemas, istana impian yang telah di bangunnya beberapa malam lalu bersama Keen, tiba-tiba runtuh dan menindih tubuhnya, tanpa tersisa. Ia tak berdaya, dan tidak ada satu pun yang menolongnya.Yuree benar-benar tak bisa kuasai diri, dia pun menangis terisak di sofa merahnya. Menangis dan menjerit tanpa ada seorang pun yang datang. Dikoyaknya pakaian yang dikenakannya, sambil berjalan terhuyung ia membanting semua barang yang ada di sekelilingnya. Tiba-tiba ia meraih gunting di tepi meja, hingga sampailah ia di pintu kamar mandi, dan menyatat pergelangan tangannya. Darah mengalir, dan seketika ia pingsan tanpa ada seorang pun yang tahu.

THE END *** Just note:

persahabatan itu ikrar, harusnya tak dinodai oleh ego tiap pengikrarnya.. namun, ketahuilah, tiap orang berhak memiliki batas privasinya sendiri-sendiri.. perbedaan caralah yang sering jadi pemicu.

Senin, 10 Desember 2012

Selasa, 13 November 2012

Antara Kita & Cinta

Sabtu, di pertengahan tahun 2012. 06.00 pm, Saat buka puasa di salah satu warung makan Sapen.

“Hemm….tempe goreng ini memang top, Gak ada tandingannya di dunia.. Mantap jaya pokoknya!, hem…enakkkk….!!” Celetuknya, sambil mencomot tempe goreng di piring meja warung makan. Dan tidak butuh waktu lama, ia segera melahapnya.

“Wah, belum kenyang juga ya??, mau tambah lagi??,” Lirik Ais sambil melongo, lalu sekonyong-konyong menggeser tempe goreng di hadapannya, ke arah Nay.

“Tidak tidak, kenyang aku!!, Kan mubadziiiiir Jes……!!!” Potongnya, Sambil melahap sisa tempe goreng di tangannya.

“Hahahahhahhaa……Dasar Pantang Mubadziiir!!!,” Sorakku yang tanpa sengaja bebarengan dengan suara Ais. Kami pun tertawa melihat Nay yang tetap sibuk menyenggol-nyenggolkan tangannya ke piring tempe yang ada di depannya, sambil memandang penuh gairah.

“Sudahh, abisin sekalian Jes… Aku yang bayar…eman lho..!!,” Suaraku berusaha mengintimidasinya. Sementara Ais masih tertawa di sudut meja.

Meski kadang rada menyebalkan, tapi tanpa ragu ku akui, Nay lebih sering bikin aku dan Ais kangen karena ulahnya yang bener-bener konyol, yang sebenarnya aku lebih senang menyebutnya unik. Sikap apa adanya sering memancing kami tertawa, rada polos tapi kadang gengsinya segede gunung. Dan kurang beruntungnya dia, gengsi itu tak pernah bisa disembunyikan dari hadapan kami. Seperti sikapnya yang sok tegas hingga merasa ‘tidak berminat’ dan sangat ‘gengsi’ saat tertarik dengan salah satu cowok yang sama-sama kita kenal. Walhasil, aku dan Ais yang memahami itu, tetap berusaha keras untuk menggoda-godanya setiap ada moment yang pas, seperti saat dia pulang dari jalan-jalan dengan sang cowok karena satu atau lain hal.

“Hahahaha…”

***

Sabtu pagi, 07.30 am. Di sudut kamar, ketika Nay mengganggu tidurku.

“Lho, kamu gak ikut promosi doktor Jes???,” Suaranya terdengar setengah berteriak, saat menjulurkan kepalanya di jendela kamarku. Bisa kubayangkan, betapa terkejutnya dia saat melihatku masih terbungkus rapat selimut biru kesayanganku.

“HOOAAM…”

“Sudah mau berangkat ya??, Aku masih ngantuk Jes… Absen lagi deh..” Jawabku dengan nada yang terdengar sangat malas, sambil sesekali mulat-mulet ndak jelas.

“Haduuuuh, gimana sih??, absen teruus kamu Jes. Buruan bangun!!,” suaranya masih terdengar memaksaku. Tapi aku cuek, dengan segala kantuk yang menempel erat di kedua kantong mataku.

“Lihat nih, mataku gak bisa melek jess… Aku ngelembur nulis lagi semalam!!” gerutuku sambil mengernyitkan kedua mata, berharap dia segera lenyap dari jendela kamar, dan berhenti menggangguku.

“Hem, Ayolah Jes… Kamu sih, nulis terus kerjaannya!!” Hardiknya memaksaku.

“Ayolah Jes, nggak kuat nih… Ngantuk beud.. Ais ikut kan?, sama dia aja deh...” Balasku memelas.

“Hah, Payaaaah!!...” Setidaknya itulah kalimat terakhir yang berhasil ku tangkap, dan tak lama aku kembali memperbaiki posisi kepalaku di atas bantal.

Inilah salah satu keunikan yang ku maksud di awal tadi. Meski terkenal konyol, tapi dalam lain hal, ku akui Nay memang pintar. Nay selalu senang menyibukkan diri dalam acara-acara yang berbau akademisi di kampus. Mulai dari rapat perwakilan kelas, seminar, talkshow, promosi doktor, sampai pengukuhan guru besar. Hasilnya adalah, dia bisa hafal betul dengan para petinggi Universitas, mulai dari rektor, para pembantu rektor, doktor A, B, C, pun juga para professor, dan termasuk para tokoh pendidikan lainnya, baik dalam maupun luar kampus, bahkan beberapa satpam benar-benar telah mengenalnya dengan baik.

***

Nay adalah anak pertama dari tiga bersaudara, sama seperti Ais. Kedua adik mereka pun berjenis kelamin sama, cewek untuk adik pertama, dan cowok untuk adik keduanya. Sebagai saudara tertua, Nay memang sangat memahami perannya dengan baik, yakni menyayangi adiknya dan sangat menghormati orang kedua tuanya. Meski nggak mirip-mirip banget, tapi Nay dan Ais memiliki beberapa hobi yang terkesan identik. Satu diantaranya, sama seperti Nay, Ais juga hobi banget mengikuti acara-acara akademik. Berbeda dengan aku, yang lebih fleksibel, kalo lagi mood ya berangkat, kalo lagi gak mood, mau tidak mau, aku harus rela dapat uring-uringan dari Nay karena memilih berdiam diri di kamarku.

Pertemanan kami memang bisa disebut korban dari takdir yang absurd. Sejak duduk di semester 7 S1, kami baru saja dipertemukan dalam satu tim PKL (Praktek Kerja Lapangan) sebagai tuntutan perkuliahan dengan ketujuh belas orang lainnya. Pertemanan ini berlanjut saat Ais resmi pindah ke kos ku. Sementara Nay, tetap tinggal di asrama kampus karena bertugas menjadi musrifah . Bertemu dalam tim PKL ini, membuat 7 dari kami merasa nyaman untuk berkumpul dan beraktivitas bersama, tujuh orang ini adalah, Nay, Ais, Meme, Yani, Risa, mbak Ismi, dan aku. Berawal dari sapaan khas yang saling terlontar diantara kamilah yang membuat pertemanan ini terasa lebih segar.

‘Jes’ inilah sapaan yang ku maksud. Siapapun namanya, akan ditambah embel-embel Jes saat menyapa. Meski terdengar konyol, tapi begitulah kami mengekspresikan rasa bangga kami atas budaya pertemanan yang telah kami bangun. Hingga dalam sebuah kejadian di bus kota, pernah Ais disangka bernama Jessica oleh teman duduk di sampingnya. Dan kami, hanya membalas kekeliruan itu dengan senyum cengengesan.

Selain ketujuh orang ini, beberapa temannya teman yang juga menemukan banyak kecocokan dengan kami, turut bergabung meramaikan pertemanan kami, berbagi senang dan saling bersyukur dalam hati.

***

Beginilah takdir, semua serba absurd dihadapan manusia. Rencana demi rencana memang berhak disusun oleh manusianya sendiri sebagai bagian dari ‘mimpi’. Namun meskipun begitu, hari esok memang tidak pernah ada yang tahu. Seperti itu pula yang dirasakan Ais saat harus memutar kiblatnya dari Universitas Malaya menuju UIN Yogyakarta sebagai tujuan untuk melanjutkan studinya di program pasca sarjana. Sedangkan Nay, memang bernasib lebih baik dari pada kami. Dengan semangat dan kepiawaiannya, serta faktor keberuntungan yang selalu memilih-milih sasaran, Nay berhasil memperoleh beasiswa pasca sarjana di UIN Yogyakarta. Lalu aku yang kebetulan ex ketua umum PERSMA, berharap besar bisa meneruskan hobiku ke dunia Jurnalistik, tapi hasil kompromi panjangku dengan ibu dan masku, aku harus memilih jalan lain yang lebih ‘aman’ katanya, “tetaplah menulis, meski tidak harus menjadi seorang jurnalis”,

begitulah pesan mereka. Akhirnya setengah bermimpi, aku pun menyusul Ais dan Nay melanjutkan study di Universitas yang sama, serta berada dalam satu prodi yang sama di tahun kedua kelulusan. Kemudian beberapa dari teman ‘jes’ yang lain, memilih bermimpi untuk bisa mandiri dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Dan dua diantara lainnya, harus menikah karena permintaan orang tua. Sebuah konsekuensi dari keniscayaan mengubah takdir.

Meski jika diprosentasikan dari kesemua teman yang bersatu lewat embel-embel ‘Jes’ ini sebagian besar berhasil mendapatkan kesempatan untuk studi lanjut di lintas kota bahkan propinsi. Namun hal itu tidak menyurutkan kebutuhan untuk saling bersilaturrahim meski harus berada di titik yang saling berjarak.

***

Rabu, 09.00 am. Aula Hall lantai 2. Saat Bedah Buku.

“Jes, lihat arah jam 9…cowok ganteng!” bisik Ais penuh antusias ke arah Nay, hingga aku yang berdiri dengan jarak semester dari arah Nay, turut menjadi korban sugestinya. Kami bertigapun menoleh, ke arah jam 9.

“Wah…iya jes, ganteng…!” sambung Nay, sambil menarik ujung jilbabnya menutupi setengah dari wajahnya.

“Hem…Dasar kalian ini…” Celetukku tak berminat.

“Yee…mentang-mentang sudah punya benjo, semua nampak buram di matamu jes…!” Potong Ais yang diikuti anggukan kuat dari Nay.

“hehehe…ya iyalah,” jawabku sambil meringis.

“Jes, ganteng ya..? anak jurusan apa ya kira-kira?..wah harus segera kita lacak!!” Seru Nay.

“Iya, harus itu!!.” Tambah Ais, penuh persetujuan.

Cowok itu memang berdiri tidak jauh dari tempat kami. Jarak kami mungkin 7 meter saja di tengah-tengah gedung pertemuan yang gedenya 7 kali lipat lapangan tenis. Cowok berperawakan tinggi dan bertubuh atlit itu, mengenakan jaket coklat tua dengan celana jeans hitam yang nampak habis disetrika dua hari dua malam tanpa henti, (licin banget cuy…) Rambutnya yang tumbuh tipis di pelataran kepalanya, dibentuk meruncing di bagian depannya, seperti gaya rambut beberapa grup band ternama. Kulitnya nampak bersih dan segar. Ada jam tangan hitam yang menghiasi tangan sebelah kirinya, yang sesekali nampak setengah tenggelam di sela-sela saku jaketnya. Dipundaknya tergantung tas rangsel hitam yang menempel di punggungnya, dari arah kami berdiri, terlihat gantungan kunci simbol Singapura, menggantung bergerak-gerak tertiup angin.

“Oooh, jes…kita kenalan yuk…” Ais menyarankan.

“Wah, gimana ya?, mau sih, tapi aku malu…” Tukas Nay, dengan tetap memegangi ujung jilbabnya sampai di bawah matanya.

“Hallow…ini mau seminar, apa mau liat cowok siiih??, ayo masuk dong, capek berdiri nih. Hem, tahu gini mending aku tidur saja di kamar..” Gerutuku, yang sama sekali tak dihiraukan oleh mereka berdua.

“Tunggulah jes, atau masuk duluan deh, nanti kita nyusul… Oke?, carikan tempat yang PeWe juga ya?!...hehe…” Sahut Ais sambil melambaikan tangannya ke arahku.

“Ya udah, aku masuk duluan deh!.” Jawabku tak semangat. Aku pun berlalu.

***

Kamis, 05.00 am. Saat semua penghuni kos masih tertidur, kecuali Ais dan Nay.

“Aaaaaaaahhhh….aku sudah tahu nama cowok kemarin jes…” Teriak Nay, saat itu, semua orang masih setengah duduk malas di kasurnya masing-masing.

“Heh, iya po??, sapa sapa jes??,” Suara Ais turut terdengar menghebohkan.

“Namanya mas Husain Haekal, hem…gimana kalo kita kasih inisiatif Mr. doble H jes??, Dan satu hal lagi yang mengejutkan , Mr. doble H ini ternyata kakak kelasmu satu jurusan lho… Eh eh, satu hal lagi yang tidak kalah penting, ternyata…dia kakak kelasku di SMA dulu jes, dan ternyata dia santri kesayangan Yai ku, karena pintar dan sikapnya yang santun… Haduh, gak percaya rasanya jes…” Imbuh Nay, dengan suara yang tetap sesemangat sebelumnya.

“Haa?, subhanallah sekali jes, ayo kita kenalan kalo gitu… atau kita susun rencana untuk ketemuan sama dy?... hahaha…senengnya…bagus bagus.” Tukas Ais penuh antusias yang diikuti dengan tepuk tangan kecil. Beberapa menit kemudian, mereka terdengar semakin heboh, setelah berpindah posisi yang sebelumnya saling menumpang tindihkan kaki di atas kasur yang hanya muat untuk satu orang, ke posisi duduk manis di depan laptop. Ada modem yang tertancap di salah satu sisi laptop itu. Dari sela-sela pintu kamar yang terbuka, ku dapati mereka sedang asik bermain facebook.

“Hem, pasti fb nya cowok kemaren ya?,” Celetukku, sambil diam-diam menjulurkan kepalaku di sela-sela pintu kamar.

“Hehehe, iyalah… pasti kamu gak berminat jes, sudah sana-sana…!!” Balas Ais sambil tersenyum bahagia. Aku pun pergi meninggalkan mereka.

“Ya sudah, semoga cepet dapat tangkapannya, hehehe…” Gumamku, sambil berlalu.

“Amiiin…mau sholat shubuh kan?, doakan kami jes ya???”, suara Ais kembali menyambungku dari balik ruangan.

***

Sabtu pagi, di sebuah Halte Bus Trans Jogja. Di penghujung tahun 2012.

Nay nampak tidak sabar ingin segera sampai di kos. Ia ingin sekali mengambil buku diarynya dan menuliskan sesuatu yang mengejutkannya pagi ini. Nafasnya terdengar tidak beraturan. Perjalanan dari Malioboro menuju kos harus melewati dua halte lagi, artinya dia masih harus transit dua bus lagi untuk sampai di kos dan mensukseskan keinginannya “menulis sesuatu di diarynya”.

“Huff, hp ku mati lagi… Aduh… Buruan dong…” Lirihnya di tengah-tengah kerumunan penumpang.

Kakinya bergerak-gerak penuh tekanan, tubuhnya yang pelan-pelan ikut bergoncang itu, serta merta turut menggoncangkan beberapa bangku di sebelahnya. Beberapa penumpang yang duduk disitu pun menoleh sambil menyampaikan senyum masam. Tapi Nay tidak menghiraukannya, konsentrasinya tersedot penuh ke arah buku diarynya. Tangannya yang mulai keringetan memegang erat ujung jilbabnya, sambil sesekali bersembunyi di balik saku jaketnya karena basah.

Meski beberapa kali ia mencoba berpikir tenang, tapi naas sekonyong-konyong perasaan gundah itu kembali menyerangnya. Pandangannya menerawang jauh, meski matanya beberapa kali telah berpindah-pindah dari satu sudut bus ke sudut bus lainnya. Ia sesekali membuang pandangan menembus kaca bus ke arah luar jendela, melihat tiap manusia yang lalu lalang di sekitar jalan. Lalu sesekali memandangi langit-langit bus sambil terus menerus meyakinkan dirinya atas apa yang baru saja menimpanya. Kakinya kembali bergerak, sejenak berhenti, dan tak lama bergerak kembali. Maka untuk kesekian kalinya, penumpang di sampingnya harus kembali menoleh, mengajukan protes yang masih saja tidak dihiraukan oleh Nay.

30 menit berlalu, Nay buru-buru melompati pintu keluar bus. Dengan mengambil langkah besar, ia mencoba mempersingkat waktu untuk segera sampai kos. Butuh 10 menit untuk setengah berlari, agar bisa segera sampai, dan tanpa ragu ia pun melakukannya.

***

Sesampainya…

Ada Ais yang sedang nampak tekun di depan layar laptopnya, mengayunkan kepala, dari buku teks bacaannya, lalu kembali menatap layar monitor. Nay yang mengetahui Ais sedang nampak sibuk di kamar, mencoba mengatur nafas, dan membuka pintu pelan-pelan. Sesampainya di perbatasan kamar, ia menggeserkan kakinya menuju rak buku, dan mengedarkan pandangan ke arah diarynya.

“Heiii, dari mana kamu jes?,” Celetuk Ais, tanpa mengayunkan sedikitpun posisi kepalanya ke arah Nay.

“Jes… ada yang mau ku ceritakan. Tapi, aku…bingung harus memulainya dari mana?...” Jawab Nay, sambil berjalan mendekat ke arah Ais. Tangannya telah menggenggam erat buku diarynya.

“Hem, kenapa kamu?, memang mau cerita apa?, ya ceritakan saja…” Tukas Ais, yang mulai menutup buku bacaannya, dan menatap lekat-lekat ke arah Nay.

“Jes…Mr. doble H… Mr. doble H, meeeelamarkuuuu…” Ungkapnya, seraya menutup mukanya dengan cepat, ia nampak sangat malu…

“Haaa?, seriius jes?,, gimana itu ceritanya!?, truss memang kamu dari mana ini!?...” Brondong Ais penuh keheranan.

“Jesss……aku gemetaran, coba pegang tanganku, wajahku sudah dipenuhi keringat dingin… emm, jadi ceritanya, tadi aku dari Malioboro, Mr. doble H memintaku kesana tadi jam 6 pagi. Kau tahu??, betapa terkejutnya aku, ternyata kedua orang tuanya sedang menginap di salah satu hotel di dekat Malioboro. Dan…aku diperkenalkan begitu saja, lalu setelah itu, di depan orang tuanya, dia melamarku… Gila bener… aku hampir pingsan jesss…” Suaranya sambil ngos-ngosan menahan gejolak di hatinya.

“Waaaaaah…subhanallah… Trus kamu bilang apa???,” Sambung Ais.

“Aku bilang, kalo ini sangat mengejutkanku, aku akan menjawabnya nanti malam… betapa jes, aku bingung sekali, tidak bisa menguasai diri…” Suara Nay yang terdengar serak bercampur tawa, membangunkanku yang masih terlelap karena begadang semalaman di depan laptop menyelesaikan novelku. Mendengar itu, aku pun beranjak dan menghampiri Nay, yang dari suaranya, aku sangat bingung harus menebak ia kenapa. Namun, sesampainya di kamar itu, aku masuk sambil tersenyum pelan, sepertinya aku mulai tahu arah pembicaraan ini dimana.

“Kamu sudah menyiapkan jawabannya belum jes??”, Tukas Ais.

“Emmm, menurutmu??, aku harus menjawab apa?,” Tanyanya malu-malu, wajahnya ditenggelamkannya setengah menutupi raut mukanya.

“Aku, aku….aku….bingung…” gumamnya…

“Hehe, bukannya ini adalah kesempatan yang kau tunggu-tunggu jes??, sudah diterima saja, awas lhoo…keburu berpaling ke cewek lain…hehehe…” Suaraku yang terdengar tidak kalah serak karena baru bangun tidur ini, sepertinya berhasil menggodanya, dan membuatnya merasa sedikit cemas, aku melihat itu dari raut mukanya.

“Aku setuju, terima saja jes…” Imbuh Ais, menambah keyakinan Nay. Perlahan-lahan, ia mengangkat kepalanya, dan nampak tersenyum bahagia, tak ada yang paling indah selain saat-saat seperti ini, saat cinta bersatu dan memadu seperti bulan purnama yang nampak bulat dengan sempurnanya.

***

Di permulaan bulan Januari 2013. Ketika hujan turun dan membasahi tanah di gang-gang Kota Gede Yogyakarta.

“Becek!!!, duh…ban mobilku kotor lagi nih, padahal baru tadi malam aku mencucinya..!” Gerutu Arkan sambil sibuk mengemudikan mobilnya, ia terlihat tolah-toleh di sepanjang gang yang tergenangi air hujan.

“Hem, tapi semoga Tuhan membalasku dengan pahala berlipat ganda, karena usaha menyambung silaturahim seperti yang telah diperintahkanNya,” ia kembali mengoceh meski dengan nada yang sedikit lebih halus.

Suasana reuni keluarga kali ini tidak seperti biasanya. Pertama ia harus datang bertiga saja dengan bapak ibunya, adik-adiknya tidak bisa meninggalkan sekolah untuk waktu yang lama. Sedangkan kakak pertamanya, masih melaksanakan ibadah haji di Mekkah. Kedua, meski hujan, tapi keluarga yang datang kali ini, lebih banyak daripada reuni-reuni sebelumnya, sampai-sampai ada beberapa sanak kerabat yang belum ia kenal sama sekali. Seperti wajah gadis cantik yang sedang sibuk menyendokkan sup ke mangkuknya di tengah-tengah himpitan pak dhe dan keluarga besar lain dari Lampung itu.

Bukan tanpa sengaja, Arkan menghabiskan beberapa detiknya untuk terbengong begini. Di tangannya ada gelas yang berisi teh hangat, yang tanpa sadar telah menjadi dingin karena AC yang terus bekerja di setiap sisi ruangan.

“Ais, ayo ku kenalkan dengan saudara jauh dari Kalimantan”, suara seorang wanita paruh baya seraya menggandeng lengannya, mengajaknya menepi di dekat vas bunga besar yang membatasi antara ruang ini dengan ruang sebelah. Mereka hilang begitu saja. Arkan pun kembali menyeruput teh yang sudah tidak hangat di tangannya.

“Arkan!!, sini!!...” Suara Uni Ana, keluarga dari Kalimantan mengejutkannya. Ia pun membalikkan punggung dan berputar ke arah sumber suara.

“ada apa Uni?,” Jawabnya..

“Nih, ku kenalkan.. panggil saja dia Ais, keluarga kita dari Kediri.” Celoteh Uni memperkenalkan kami, suaranya terdengar singkat. Kami pun bertemu dalam sekejap, dan tenggelam beradu mata.

“Ais”, bisiknya dalam hati..

“Perkenalkan, nama saya Ais, nama kamu Arkan?, saya sudah beberapa kali mendengar pak dhe dan bu dhe menceritakanmu.” Ais menyambung suara, yang tak lama mulai sibuk dengan hp nya. Sepertinya ada panggilan masuk di ponselnya. Dia pun meminta waktu untuk memutus sesi perkenalan ini.

“Arkan, kau belum punya calon istrikan??, menikahlah dengan Ais.. Dia baru saja menyelesaikan program S2 nya di UIN. Sepertinya keluarga besar akan menyetujuinya, dan yang telfon tadi, pasti kedua orang tuanya, mereka akan segera datang dari Kediri. Eh, kalian sama-sama punya kemiripan. Sadar tidak??, yaitu, kalian sama-sama jomblo…hahaha…“ Uni Ana kembali berceloteh. Kata-kata yang singkat dan cukup mudah dipahami, bahwa dia menemukan jodohnya disini. Sah-sah saja cinta pada pandangan pertama. Toh tidak pernah ada yang tahu, siapakah sasaran panah dewa cinta selanjutnya setelah kita. Jika pun Ais adalah orangnya, sepertinya semua akan terasa lebih mudah.

“Uni, bagaimana jika aku setuju dan Ais tidak setuju?, Uni terlalu percaya diri..” Arkan menyambungnya.

“Heyyy…jadi kau setuju???, bagaimana mungkin Ais tidak setuju, baru saja dia bilang padaku, dia akan sangat senang jika bisa menikah dengan kerabat sendiri. Semua akan terasa lebih baik baginya…” tutur Uni panjang lebar, kepalanya manggut-manggut, matanya mengarah tajam ke arah Arkan.

“Jadi???,,,” Sahut Arkan.

“Jadi malam ini juga, setibanya orang tua Ais disini, akan sekaligus dibicarakan rencana pernikahanmu dengan Ais bocah gembuuul……!!!” ringkas Uni yang sekonyong-konyong mencubit kecil lengan tangan kanan Arkan. Dan, tidak ada yang tahu bagaimana cinta melanda dan menyandra setiap orang dalam kebahagiaan, yang tak terlafadkan meski dalam bait-bait syair. Cinta itupun melenggang dengan penuh bebasnya, mengabaikan segala kerumitan hidup dan menciptakan segala macam rumus kehidupan yang serba simple dan indah.

“Bahkan aku tidak sempat membuatkan puisi untuk menunjukkan kekagumanku padamu Ais.. sungguh ini semua menjadi sederhana dan indah…” Bisik Arkan dalam hati.

***

Lamongan, Senin 16 Juni 2014, Saat para nelayan tengah sibuk melepas jalanya menyambut musim angin laut barat tiba.

Kesepakatan yang ku buat dengan jelas bersama kekasihku memang akan tetap ku pegang dengan baik hingga hari ini. Jika kau berani berjanji, maka kau harus berani menepatinya, begitulah setidaknya yang pernah ku dengar dari ibuku. Janji itu adalah sebuah janji yang akan mempertemukan kami pada satu titik bersama. Janji untuk menengadahkan kepala ke arah langit bersama. Menyeruput segelas kopi dengan kehangatan serta pahitnya bersama. Aku menjadi penulis hebat sebagai eksistensi menyalurkan hasrat dalam diriku, lalu dia memilih jalannya sendiri untuk mengaktualisasikan dirinya, bersamaku.

“Sayang, berdirilah, lihat ke arah ibu.. Owwh, kau cantik sekali… Gaun putih ini memang akan terlihat cantik di tubuh kalian anak-anak ibu. Ayo ayo…Keluarga besar calon pengantin pria sudah menunggu. Mbak Dara dan mbak Rachel sudah menyiapkan semua hidangan dengan baik. Mas mu, yang meminta ibu menjemputmu keluar, waktunya sudah tiba sayang, ayo…” Ku rasakan tangan ibu menggandengku keluar kamar, aku menyambutnya, dan ku remas tangan itu sedikit kuat, mencoba amencari ketenangan darinya. Tahu akan hal itu, ibu menoleh ke arahku, lalu tersenyum perlahan.

“Ibu tahu, kau cemas sayang, tapi tenangkanlah batinmu, dan berbahagialah, karena hari ini kita semua berbahagia untukmu…” Kali ini suara ibu benar-benar bisa menenangkan batinku..

Langkahku berhenti tepat di sebelah kanan mas, saat itu ibu masih menggandengku. Sementara aku masih belum berani mengangkat kepala sampai ibu memintaku mengangkatnya. Dari posisiku, ku lihat jelas raut wajah calon bapak ibu mertuaku di seberang meja. Mereka tersenyum melihatku, aku pun melakukan hal yang sama. Lalu aku mendekat pelan untuk mengecup tangan keduanya. Dan secara bergantian, mereka mengelus kepalaku dengan lembutnya. Ada ketenangan yang benar-benar mengurung rasa gelisahku beberapa menit lalu, yang kemudian membebaskan rasa bahagia dalam diriku. Dan aku meliriknya tersenyum di sudut ruangan.

“Ah calon suamiku…betapa hari ini kau melihatku begitu seksama, melihat gerakanku lekat-lekat tiap detik dengan begitu detailnya.” Sementara aku seperti tangkapan yang tidak bisa berkutik dan melakukan apa-apa, kecuali diam guna menyeimbangkan kebahagiaan dan kecemasan dalam diriku.

Dengan tetap tersenyum, batinku berkata, “Duhai pujaanku, kau yang nanti akan meminjami kakimu untuk menggendongku saat aku lelah dengan setumpuk pekerjaanku. Yang akan meminjamiku telingamu untuk mendengar semua keluhku, yang akan meminjamiku matamu untuk menjagaku yang sudah terlelap, yang akan meminjamiku hatimu, saat aku mulai putus asa untuk berlapangdada. Aku mencintaimu. Dan terimakasihku atas cintamu kekasihku.”

*** Message: Cinta dan persahabatan selalu hadir mewarnai hidup manusia.

Jumat, 20 Juli 2012

SIRINE (Kekuatan Doa dan Cinta)

Sirine namanya, cintanya tak pernah mati untuk kekasihnya yang tak pernah lagi terwujud dalam pandang. Tak henti-hentinya ia berkamuflase untuk meyakinkan dirinya, bahwa kekasihnya sedang menunggunya di sudut ruang sana. Selalu ia dikejutkan oleh suara lembut Ibunya saat mulai terlindas duka. “Nduk, uwes..ndak usah ngelamun terus...Makmur suamimu juga ndak pingin lihat kamu sedih begini.."

Sirine benci kata-kata itu, meski ia sangat merindukan belaian dari sisa orang yang menyayanginya seperti belaian Ibunya. Matanya kembali merah, hatinya selalu luluh lantah setiap kali mendengar kata-kata seperti itu. Serta merta, air matanya bersorak-sorak mewakili hatinya, menangis sedu tak berbendung malu. Tangannya mengelus-elus layar arloji yang diraihnya di pojok meja. Ia membelinya 2 tahun yang lalu, saat merayakan ulang tahun pernikahannya yang pertama. Ia ingat betul, sembari menyerahkan kado arloji itu, ia tertawa lepas menerima bingkisan dari Makmur, pisau dapur untuk memotong sayur mayur kesukaannya. Setahun berlalu, saat Makmur dikabarkan hilang pada ekspedisi yang diikutinya, di laut lepas Raja Ampat, kepulauan Papua. Namun Sirine tetap setia menunggunya pulang, dengan rindu yang tak bertalu.

Setiap ada gesekan kaki yang melintas, dengan awas ia menengokkan kepala ke arah tikungan jalan lewat jendela di kamarnya. Berharap si empunya kaki adalah Makmur, suaminya.

Diam-diam, di ujung gang itu, sepasang mata mengintai sang pemilik jendela, Salim namanya. Gundah senantiasa menyerangnya saat matanya bertemu dengan mata Sirine. Dalam diamnya, hanya tersisa kata, "Oh Sirine, andai aku bisa menghapus laramu, dan menggantikan Makmur mengelus bahumu setiap kau hendak terpejam karena lelahnya menanggung beban hidupmu"

Secara fisik Sirine bukan perempuan cantik. Tapi ia memiliki paras yang cukup apik. Kulitnya khas wanita jawa, sawo matang. Bentuk wajahnya yang tirus, dipadu dengan mata bulatnya yang indah, lazim membuat orang mudah mengingatnya. Dulu, sebelum kehilangan Makmur, Sirine ramah bukan kepalang. Senyumnya selalu mampu menyejukkan siapapun yang memandang. Kata seorang nenek tetangga rumahnya, “Yen senyum iku kudu tekan ati, koyok genduk Sirine. Tentrem banget lek diawasi.” Sekarang senyum manis itu telah dipenjarakan di lubang duka terdalam, tak seorang pun mampu meraihnya keluar. Sirine dirindukan semua orang.

***

Lek Komar, adik kandung ibu Sirinelah yang pertama kali menghabarkan hilangnya Makmur. Saat itu, Lek Komar didatangi dua orang yang mengaku keluarga teman satu tim ekspedisi yang diikuti Makmur. Mereka terlihat merasa bersalah atas kejadian itu. Pasalnya menurut cerita, Makmur, yang tergolong paling cerdas dan berani, harus menyelamatkan seluruh personil tim dalam sebuah kecelakaan kapal.

Tepatnya dini hari di bulan Februari, saat semua awak kapal tengah tertidur pulas seusai digoncang badai berjam-jam lamanya. Datanglah sekawanan hiu buas mengelilingi sisi kanan kiri kapal. Beberapa kali kawanan hiu itu menggoncang-goncang bagian bawah kapal. Mereka nampak geram, entah karena tak sabar ingin melahab daging manusia, atau karena trauma melihat kapal akibat pemburuan liar yang memusnahkan keluarga hiu di perairan Raja Ampan, Papua.

Meski tidak banyak disorot media, namun berita akan pemburuan liar hiu di laut Raja Ampat Papua tengah terjadi sejak 4 tahun yang lalu. Kasus yang paling terbaru terjadi akhir tahun kemarin. tepatnya 3 bulan sebelum hilangnya Makmur, masyarakat pantai laut Papua bersama kelompok LSM konservasi laut, memenemukan puluhan kapal yang tertangkap basah melakukan pemburuan liar. Setelah dipemeriksa lebih lanjut, ditemukan sedikitnya belasan sirip ikan hiu muda yang disembunyikan di bawah lantai kapal tempat penyimpanan ikan. Tujuannya jelas, untuk mengeruh keuntungan milyaran rupiah.

Setelah goncangan kesekian kalinya, barulah tiga personil awak kapal terbangun, Makmur salah satunya. Merasa sedang dalam kondisi bahaya, merekapun sigap dan segera membangunkan personil lainnya. Makmur yang sejak awal mengambil alih nahkoda, tengah sibuk mengecoh hiu dengan memutar-mutarkan kapal. Nafasnya terdengar ngos-ngosan, sepertinya ia telah kehilangan separoh dari energinya.

Enam puluh menit berlalu, sementara kesepuluh personil telah bersiaga, hiu yang tadinya menyebar di kanan kiri kapal, kini mulai putus asa, merekapun mulai menjauhi kapal. Sontak semua personil bersorak kegirangan, prosesi adu tos sebagai perayaan kemenangan pun tak bisa dihindarkan. Makmur yang mulanya memegang nahkoda, harus mengangkat tangannya menyambut tos dari kawan sebelahnya. Naasnya, tiba-tiba seekor hiu bertutul, diam-diam berhasil bertahan di bawah kapal. Ekornya yang sebesar dua kali tubuh pria dewasa dikibaskan hingga memecah belah kapal. Semua panik bukan kepayang. Air laut tak dapat lagi di bendung, semburatnya membasahi seluruh sisi kapal. Makmur benar-benar kehilangan kendali. Secara bersamaan tubuh seluruh personil terlempar jauh ke permukaan laut. Berpencar tak tentu arah, diombang-ambing ombak yang datang silih berganti.

Dengan garang, hiu bertutul itupun menyambar tubuh salah seorang personil yang terhempas tepat di sisi perutnya. Darah mengalir deras, bersamaan dengan ombak besar yang datang, serta kencangnya tiupan angin, dengan cepat sekawanan hiu yang tadi telah berlalu kembali mendekat. Mencabik-cabik sisa daging yang masih menggantung di antara tulang.

Makmur terhempas lumayan jauh, posisinya yang berada di paling atas kapal, memudahkan angin menghempaskannya menjauhi personil yang lain, kepalanya terbentur bongkahan kayu kapal, darahnya tak bisa keluar dari bungkusan kulit, hanya membekaskan memar yang sangat hitam di jidatnya. Ia sungguh cemas bukan kepayang, perasaan menyesal karena melepas tangannya dari penguasaan nahkoda, serta panik yang bercampur putus asa bergelanyut di kepalanya. Tiba-tiba terlintas wajah Sirine diantara keadaan buruk yang ada di hadapannya. Sirine tersenyum, senyum memberi semangat padanya. Tangan Sirine membentang ke arahnya, memintanya mendekat. Semakin Makmur mengejarnya, bayangan itu perlahan hilang, hilang ditelan senja. Air mata Makmur tiba-tiba mengucur, menyatu dalam hamparan air laut yang luas.

Setelah berenang dengan sisa energi yang dimilikinya. Makmur merasakan titik dimana persendiannya tak bisa lagi bergerak, air laut yang membalut tubuhnya mengunci rapat hidung dan mulutnya, hingga ia benar-benar tak mampu lagi bernafas. Tubuhnya mengapung diantara bongkahan kayu yang sempat di raihnya sebelum ia pingsan. Hatinya tak berhenti meminta maaf pada Sirine, serta meminta Allah menjaganya. Makmur benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali memasrahkan semuanya padaNya.

***

Tak seorang pun istri yang baik bermimpi menjadi janda akibat cerai mati oleh suaminya. Bahkan Allah telah melarang pasangan suami istri bercerai. Sebagai penguatnya, tak tanggung-tanggung Ia menyatakan akan membenci perceraian. Namun manusia tidak pernah diberi pilihan untuk satu perkara itu, kematian. Sepanjang sejarah, Allah tak sedikitpun mengenal kompromi dalam hal ini.

Sirine sadar tindakannya mengurung diri adalah salah, konsep hidup manusia harus saling memberi manfaat, sungguh masih membekas dalam dirinya hingga kini. Namun Sirine tidak bisa mengingkari, bahwa jauh di dalam lubuk hati kecilnya, ia percaya Makmur masih bernafas di luar sana. Makmur sedang merindukannya, bahkan berusaha sekuat tenaga mencari jalan pulang untuk kembali memeluknya, dan menerima kecupan sayang di keningnya.

Sirine tidak mampu membayangkan, betapa berdosanya dia, jika mengikuti saran Ibu dan orang-orang di sekelilingnya, untuk mengikhlaskan Makmur yang telah setahun lamanya tidak ada kabarnya. Meski lamaran demi lamaran datang silih berganti. Baik yang datang ke rumah langsung, atau hanya sekedar menitipkannya pada Lek Komar. Para lelaki yang terkenal baik itu bersedia menyerahkan pundaknya untuk Sirine. Salim salah satunya.

Dari semua lamaran baik itu, memang tidak semua sampai ke telinga Sirine. Ibu tak pernah berani memaksa Sirine secara berlebihan. Ia tahu hati putrinya sungguh halus. Ibu pula melarang Komar adiknya, untuk bercakap-cakap terlalu lama dengan Sirine. Kuatir Komar akan menyinggungnya dan mendesak Sirine untuk menerima lamaran dari salah seorang yang pernah memintanya.

Bagi Komar, diantara sekian pemuda yang menemuinya, hanya Salim yang menurutnya baik dan tulus untuk Sirine keponakannya. Komar sangat menyayangi Sirine, mengingat pernikahannya yang tidak berhasil membuahkan anak perempuan sama sekali. Pun juga karena sejak kecil Sirine terbiasa bermanja-manja padanya. Baginya kebahagiaan Sirine adalah kebahagiaannya juga, termasuk kesedihan Sirine adalah kesedihannya juga.

Setahun berlalu, Sirine tak juga menunjukkan minatnya untuk dipersunting pemuda lain, menggantikan Makmur. Komar pun mencoba bernegosiasi dengan mbaknya, Ibu Sirine.

“Mbak Yu, tulung sampeyan bujuk Sirine maleh. Kulo bener-bener mencemaskan keadaanne. Menurutku, de’e butuh teman cerita, teman yang bisa ngajak de’e ngobrol. Mungkin Salim bisa membantunya menata hidup baru. Aku cukup percaya sama Salim. Salim pemuda sholeh, tulus lan sopan marang wong tuo. Insyaallah Salim iso njogo Sirine Mbak Yu...”

Komar menatap mata mbak Yu nya dengan serius. Seolah ingin menegaskan bahwa ia benar-benar peduli dengan Sirine keponakannya. Meski belum menerima pengiyaan mbak yu nya, tapi Komar melihatnya tengah berpikir keras, menimbang-nimbang saran dari adiknya.

Sementara, tanpa sepengetahuan kedua kakak beradik itu, Sirine menundukkan kepalanya sembari merapikan kain pembatas yang telah bermenit-menit disingkapnya. Ia berjalan mendekati jendela, tangan kirinya meraih jam tangan Makmur di ujung meja, mengelus layarnya dan tak lama duduk mematung di atas kursi kayunya. Tatapannya kosong, ia mencoba terus berdzikir menunggu jawaban Allah atas do’a-do’anya. Tangan kananya mengurut-urutkan tasbih. Kepalanya tiba-tiba berat, saat membayangkan guratan kesedihan di wajah Lek Komar dan Ibunya.

Pelan-pelan ia sandarkan kepalanya di punggung lemari yang berdiri tepat di samping jendela. Pandangannya mengembara ke seluruh isi kamar. Matanya mengurutkan satu persatu perabotan, lalu diam-diam kembali memutar ulang semua kenangan indah yang pernah ia lalui dengan Makmur di ruangan itu.

“Betapa aku ndak pingin menggantikan posisimu di hatiku kang, tapi Allah ndak kunjung memberi jawaban. Lek Komar lan Ibu jadi ikut kurus memikirkanku. Pangapuntenmu Kang, kulo nyuwun pamit. Sepertinya Allah juga terlibat atas kedatangan Kang Salim. Mugi-mugi Allah segera memberitahukan rencananya tentang keadaanmu Kang. Pandungaku ndak pernah putus kangge njenengan.”

Isak Sirine tak mampu menahan diri. Tangannya menopang air matanya yang tak kunjung mengering setelah setahun lebih ia memanjatkan doa. Menutupi seluruh raut mukanya yang lebam akibat tangisan yang tak pernah ada putusnya. Samar ia bergumam, “Bismillahirahmanirrahim...”

***

Untuk kedua kalinya Sirine mengenakan gaun putih ini. Gaun yang dulu ia sulam sendiri untuk hari besar yang dinanti-nantinya, menikah dengan Makmur. Tak pernah ada yang tahu, kalau akhirnya akan seperti ini. Ia berias sangat sederhana, lipstik coklat kalem membaluti bibirnya yang mulai mongering. Bedak yang ia kenakan kini tidak sama dengan bedak di hari besar yang dinantinya dulu. Sirine mengenakan berbagai asecoris pemberian pihak pengantin pria, mengjunjung tradisi katanya.

Akad nikah akan dilaksanakan di masjid agung kampung. Semua persiapan tengah digelar dengan sangat sederhana. 30 menit berlalu, tamu undangan pun berjejer melingkar sesuai shofnya, perempuan di sebelah kiri dan pria di sebelah kanan. Wali beserta penghulu tengah siap di posisi masing-masing.

Upacara benar-benar telah siap, tinggal menunggu pengantin perempuan menyelesaikan langkahnya menuju tempat yang telah disediakan, di belakang Lek Komar, walinya.

Para undangan terlihat masih sangat gelisah, kepalanya tolah-toleh mencari sesosok yang paling ditunggu-tunggu. Pria yang akhirnya memenangkan hatinya Sirine setelah Makmur. Masjid itu terdapat dua sekat besar untuk hijab jamaah pria dan wanita. Hijab bagian depan yang terbuat dari papan kayu, telah digeser untuk sementara waktu. Setengah dari hijab yang tersisa dibiarkan seperti sedia kala, mengingat jumlah undangan yang tidak banyak, serta mengantisipasi setiap orang yang ingin melaksanakan sholat tahiyyatul masjid.

Sementara semua hadirin tengah disibukkan mencari sosoknya, salim justru masih menyelesaikan rakaat terakhirnya di shaf belakang hijab. Rupanya ia ingin benar-benar menyampaikan pesan terimakasihnya untuk Allah.

"Ya Allah, terimakasih tak berujung hamba sampaikan padaMu... Hamba tahu ini semua tidak lepas dari campur tanganMu. Maka bantu tangan hamba memimpin perempuan yang benar-benar hamba hormati ini, karena ketaatannya pada suaminya sebelum hamba, Makmur. Semoga engkau izinkan ia taat pula pada hamba sebagai suaminya di masa depan. Sampaikan salam hamba pada Makmur dimanapun keberadaannya Allahku, hamba mohon keikhlasannya atas segala kelemahan yang ada dalam diri hamba.”

Tepat setelah Salim menangkupkan kedua tangannya ke muka, sambil menggumamkan kata amin. Terdengar seseorang tergopoh-gopoh memasuki masjid, setengah berlari hampir saja salah satu sandal jepitnya terseret masuk ke dalam masjid.

“Assalamu’alaikum..” Ucapnya sambil mengatur nafas.

“Waalaikum salam..” Jawab seluruh orang yang mendengar, dengan wajah yang saling pandang penuh rasa penasaran.

Dari kejauhan, Salim berjalan mendekati pemberi salam tersebut. Dengan tenang ia mengelus pundak orang itu.

“Alon-alon kang, wonten nopo?”

Sementara Sirine mematung, membayangkan kabar yang datang itu berasal dari Makmur. Jantungnya berdetak kencang. Keringatnya bercucuran, hatinya tak henti melafadkan kalimat istigfar.

" Saya baru saja, didatangi orang-orang berkulit hitam, seperti orang papua kang Salim. Mereka menitipkan selembar surat niki, terose kangge Mbak Sirine lan sinten mawon yang menjadi calon suaminya.”

Tanpa dikomando, mata Salim dan Sirine sekejap bertemu, seolah saling memberi isyarat untuk mempersilahkan membuka dan membaca pesan Makmur. Namun Salim menerima surat itu dan mengantarkannya pada Sirine, calon istrinya.

“Monggo, panjenengan mawon engkang maos..”

Sirine menerimanya, dan berjalan menuju sudut masjid yang lain untuk menerima jawaban dari doa-doanya.

Papua, 21 Februari. Assalamu’alaikum…

Kekasihku Sirine, Akang benar-benar minta maaf, karena tidak bisa membisikkan semuanya langsung ke telingamu

Seperti cerita-cerita sebelumnya sayangku.

Namun yang pasti, akang ingin tegaskan bahwa saat surat ini sampai ke tanganmu, ketahuilah akang telah damai di tempat akang sekarang.

Kau tahu, Allah menyampaikan semua salammu ke akang, lewat mimpi-mimpi akang. Terimakasih atas semua doa, cinta dan air matamu buat akang.

Setelah akang terhempas ke laut lepas itu, akang terhanyut sampai puluhan jam. Beruntung, nelayan di pinggiran pantai papua menemukan akang.

Nyawa akang selamat, meski dengan keadaan yang sangat menyedihkan.

Kaki akang harus diamputasi. Kulit kepala akang menyimpan gumpalan darah yang membeku. Tak perlu menangis karena kau tidak ada di sampingku sayangku, kau telah mengobatiku dengan doa-doamu.

Akang menghabiskan sisa waktu dengan berdoa, sholat 5 waktu dengan bebaring tak berdaya di ranjang orang baik yang kau minta kepada Allah.

Hapus tangismu kekasihku, berbahagialah karena aku juga bahagia disini. Sampaikan salamku untuk calon suamimu, sungguh aku telah mengikhlaskanmu di tangannya. Aku percaya dia orang baik, karena aku tak berhenti memintanya kepada Allah untukmu. Tersenyumlah sayang, agar seluruh penghuni bumi dan malaikat ikut tersenyum untuk hari bahagiamu.

Ketahuilah, Allah merencanakan semua ini untuk kita, agar kita bisa belajar lebih ikhlas untuk menjalani semuanya. Akang tahu, kau wanita kuat.. Dengan segenap cinta, akang rela melepasmu sayang, Demi meraih cinta yang lebih hakiki, cinta kepada Ilahi Rabbi..

Wassalamu’alaikum

Sirine pun kembali menemui Salim. Ia menyerahkan kembali secarik kertas itu pada. Sembari mempersilahkan Salim membacanya. Wajahnya berbinar, nampak lebih lega dari sebelumnya.

Untuk sekian lama, akhirnya ia kembali tersenyum memandang bola mata Salim. “Terimakasih Ya Allah, kau berikan dua pria terbaik di dunia”.

***THE END***

Kekuatan Cinta memang berbanding lurus dengan Doa dan Keyakinan. Maka selalu libatkan Allah dalam setiap ritme hidupmu.