Senin, 08 November 2010

adikku Dyslexia

RESENSI FILM

Dyslexia. bukan nakal, hanya butuh pengertian.

Judul film: TAARE ZAMEEN PAR (Every child is special)
Tanggal Rilis :21 December 2007 [ Wall Disney ]
Jenis Film :Drama
Diperankan Oleh :Darsheel Safary, Ameer Khan, Tanay Chheda
Film ini diproduseri oleh: Ameer Khan.
Penulis: Fitri Aulia

Sejuta Permasalahan pendidikan bagi perkembangan anak tengah merebak di dunia pendidikan saat ini. Banyak anak yang di D.O (droop out) dari sekolah karena dianggap nakal, banyak ulah, tidak disiplin dan masih banyak permasalahan kenakalan yang dilakukan anak. Orang tua yang tidak tahu alih-alih membela anak, sebagian besar justru tidak ingin ketinggalan untuk turut serta dalam menghardik anak-anaknya sendiri. Bahkan tak sabar untuk menunggu sampai di rumah, anak dimarahi dan dipermalukan di depan umum. Orang tua sama sekali tidak memberi kesempatan anak untuk berbicara dan membela diri. Pertanyaannya apakah anak benar-benar nakal?, dan apakah hanya anak yang patut dipersalahkan dalam hal ini?.
Keluarga adalah lingkungan pendidikan pertama bagi anak. Anak akan berkembang sesuai kondisi lingkungan yang ia tinggali. Hal ini juga dibenarkan dalam teori pendidikan yang disebut dengan teori empirisme ; bahwa anak-anak akan dibentuk oleh lingkungannya. Penjelasan ini paling tidak bisa menyadarkan para orang tua untuk memberikan pelayanan yang terbaik untuk perkembangan anak-anaknya. Maka disinilah alasan pentingnya latar belakang pendidikan bagi orang tua. Tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan, namun yang lebih penting lagi adalah memenuhi kebutuhan perkembangannya. Piaget (1961) menjelaskan dalam rumusan perkembangan kognitif bagi anak bahwa; ada empat tahapan perkembangan anak, sensori motorik , pre operasional , concret operasional dan formal opersional . Ketidak mampuan orang tua dalam memahami pentingnya mewadahi perkembangan anak akan merusak perkembangan sang anak itu sendiri.
Ishaan Nandkishore Awshti (diperankan oleh; Darsheel Safary), satu korban diantara banyak anak yang menjadi korban kebodohan orang tua dalam mendampingi masa perkembangan anak-anaknya. Orang tua yang egois yang hanya memaksa anak untuk rajin mengukir prestasi –yang akhirnya akan berujung pada pengangkatan prestise orang tua—, tanpa sama sekali memberikan pelayanan terbaik bagi anak, atau paling tidak sempat menanyakan “kau kelak ingin jadi apa nak?”. Paparan singkat ini cukuplah menjadi gambaran awal betapa menderitanya ishaan. Keadaan ishaan diperburuk dengan sosok kakaknya yohan . Yohan yang dikenal sebagai murid yang berprestasi di sekolah menjadi alasan orang tua untuk selalu menuntut ishaan lebih. Kesempurnaan Yohan dijadikan alat perbandingan yang tak henti-hentinya disampaikan di depan ishaan.
Perkembangan fisik ishaan juga terpaut jauh dari kakaknya Yohan. Ishaan yang memiliki fisik agak kurus dan kecil dari teman sebayanya, serta agak sulit diatur rapi oleh ibunya, membuat ia semakin tidak beruntung dalam pergaulan. Sepulang sekolah hanya sibuk dengan dunianya sendiri, bermain dengan dua ekor anjing di depan rumah, atau sibuk menggambar di dalam kamar. Pernah suatu ketika sepulang sekolah, ishaan terlibat dalam perkelahian dengan anak-anak kecil di kompleks rumahnya. Karena lemah dan tidak memiliki teman, ishaan lagi-lagi harus menerima kekalahan, parahnya orang tua anak (yang berkelahi dengan ishaan) melaporkan ishaan kepada Mr. Awasti (orang tua ishaan). Ishaan yang memang dianggap sebagai tukang pembuat ulah dan bandel di daerah kompleknya bahkan di depan orang tuanya, harus menerima tamparan keras dari ayahnya tanpa bernegosiasi lebih dahulu. Dan sekali lagi ishaan kurang beruntung karena lahir dari orang tua yang tidak memahami perkembangannya.
Ishaan yang tidak memperoleh apa yang dibutuhkan di lingkungan keluarga, pun juga di sekolahnya. Keterbelakangan daya tangkap dalam mengikuti pelajaran di kelas membuat dia harus berkali-kali menerima skors di depan kelas. Hampir semua guru menganggap ishaan bodoh dan daya konsentrasinya lemah. Pernah dalam kelas bahas indonesia bab Kata Sifat, ishaan dikeluarkan dari kelas karena tidak bisa menerima intrupsi guru dengan baik. “ayo ishaan buka hal 38, bab 4, paragraf 3”, teriak guru dari depan kelas. Akhirnya karena ishaan tidak segera menemukan halamannya, temannya Adit Lamba diminta untuk membantunya. “ayo baca!”, tukas gurunya. Ishaan terdiam cukup lama sambil memandangi kumpulan huruf di bukunya. “ayo segera, baca!”. Dengan lugu ishaan menjawab, “maaf aku tak bisa membacanya bu, hurufnya menari-nari”. Dan tak lama, guru tidak lagi menerima negosiasi, dan sang guru mengakhiri perbincangan dengan kata “keluar!, kau mengacaukan kelas!”. Sampai usia 9 tahun ishaan masih belum bisa membaca dan menulis dengan sempurna. Bahkan tahun ini adalah tahun keduanya tinggal di kelas 3.
Keadaan buruk yang menimpa ishaan di kelas berujung pada pemindahan ishaan ke sekolah berasrama, milik salah satu teman ayahnya. Dengan dalih ingin mendisiplinkan ishaan dan menyelamatkan ishaan dari kebodohan dan kenakalan, ayahnya mendaftarkan ishan pada sekolah berasrama New Era. Bak seorang diktator, ayah ishaan sama sekali tidak memberi kesempatan ishaan untuk berpendapat.
Pada minggu-minggu pertama, pengalaman belajar dan berkomunikasi ishaan di sekolah berasrama ini sama sekali tidak menunjukkan perubahan bahkan semakin bertambah buruk. Berbagai macam kesulitan belajar tetap dialaminya, sementara itu tidak ada satupun guru yang bisa memahami kebutuhannya. Ia mendapat cambukan di tangan kirinya di kelas seni, mendapat skorsing di depan kelas saat di kelas bahasa asing, di keluarkan dari tim gerak jalan karena dianggap mengacaukan barisan, dan hampir di berbagai kelas kejadian ini berulang terus-menerus. Sampai datanglah Ram Shankar Nikumbh, guru kesenian baru di sekolah berasrama.
Nikumb yang juga mengajar di sebuah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus pelan-pelan mulai memahami keadaan ishaan. Informasi sebanyak-banyaknya tentang ishaan ia kumpulkan dari semua guru, dan memeriksa semua buku tugas ishaan. Akhirnya ia memutuskan untuk mendatangi keluarga ishaan untuk membicarakan hal ini.
Perbincangan antara nikumb dan orang tua ishaan berlakngsung cukup serius. “bukan hanya itu, membedakan satu huruf dengan huruf yang lain pun masih kesulitan, antara “b” dangan “d”, pada penulisan “Sir” letak S dan R tertukar menjadi “Ris”, penulisa huruf “h” dan “t” mengalami kesalahan pencerminan huruf (alias ditulis dengan arah terbalik), terkadang dalam satu halaman saja ishaan menulis berkali-kali kesalahan yang sama. Mencampurkan kata-kata yang ejaannya hampir sama. S-o-l-i-d menjadi S-o-i-l-e-d”. Jelas nikumb dengan cermat sambil menunjuk-nunjuk tulisan ishaan di buku tugasnya.
Setelah menjelaskan panjang lebar kondisi ishaan pada keluarganya, Nikumbh menyangkal bahwa ishaan bukan malas ataupun bodoh, hanya saja ishaan sedang mengalami gangguan dyslexia . Sebuah gangguang dimana anak mengalami kesulitan membaca atau mengenali huruf. Jika ada orang sedang menulis a-p-e-l, paling tidak dia akan memiliki bayangan tentang apel, namun penderita dyslexia tidak memiliki kemampuan ini. Padahal untuk bisa menulis kemampuan dasar ini sangat penting dan dibutuhkan. Untuk menghubungkan suara dengan simbol-simbol.
Namun Mr.Awashti (ayah ishaan) membantah bahwa itu hanya alasan saja untuk memaklumi proses belajar. Sedikit berpikir Nikumbh berdiri dan meraih sebuah kotak mainan mobil yang bertuliskan lambang-lambang huruf cina. Kemudian disodorkannya pada ayah ishaan, “bacalah ini!”, ayah ishaan membantah “mana mungkin aku bisa membacanya, ini huruf cina!?”. Namun Nikumbh tetap memaksa “ayo, berkonsentrasilah!”, dan dengan nada meninggi ayah ishaan menolaknya “omong kosong apa ini!?, mana mungkin aku bsa membacanya!”. Lalu nikumb membalas perlakuan Mr.Awasti dengan memarahinya seperti saat Mr. Awasti memarahi Ishaan, “anda sangat cerewet dan pembantah! sungguh perilaku anda sangat buruk! Anda berbuat jahat!”. Mr. Awasti tertegun, dan terdiam beberapa saat, suasana hening, diam-diam Mr. Awasti mula paham maksud Nikumb. Dengan suara merendah Nikumbh kembali mengingatkan, “begitulah kesulitan yang dialami ishaan”. “penderita dyslexia juga mengalami kesulitan menangkap perintah dengan durasi cepat dan berurutan”, tambah Nikumb.
Takjub dengan lukisan-lukisan Ishaan Nikumb memutuskan untuk membawanya, dan pelan-pelan ia mulai mendekati ishaan dan memberi perhatian lebih dan menjelaskan pada ishaan bahwa, ia mengerti keadaannya.
Pembelajaran khusus pun diberikan Nikumb, mulai dari membedakan huruf, menstimulus pemahamannya atas segala sesuatu yang ia pikirkan, sampai belajar membaca, menulis dan berhitung. Sampai akhirnya ishaan benar-benar bisa mengejar ketertinggalannya dengan teman-temannya.
Sementara itu, birokrasi sekolah yang cukup normatif mencoba tetap menekan ishaan dan menganggap ishaan tak pernah bisa berkembang baik. tantangan Nikumb selanjutnya setelah berhasil menyadarkan orang tua ishaan adalah mengubah pola pikir para stakeholder sekolah untuk tidak menganggap anak-anak seperti ishaan tidak pernah bisa berkembang. Inilah gambaran manusia saat ini, terlebih di Indonesia, dalam mendesain pendidikan. Bahwa anak yang tidak menurut adalah nakal, patut memperoleh hukuman. Jika anak tidak berkembang sesuai lazimnya –yang terjadi pada anak-anak lain di usianya— dianggap seutuhnya adalah kesalahan pribadi anak. Lalu dengan sok tahu mencoba memberi penyelesaian sebagai orang tua yang baik, yang tidak sama sekali melibatkan anak-anak untuk memilih sendiri kebutuhannya. Padahal itu salah.
Anak-anak adalah aset terbesar yang dimiliki negara, tidak hanya orang tua. Karena mereka adalah generasi setiap bangsa. Proses pendidikan yang salah sejak dini akan berdampak fatal untuk masa depan sang anak. Maka jangan pernah menyalahkan anak jika ia menjadi generasi yang tidak bisa berkontribusi apa-apa, atau bahkan sebaliknya, sebagai sumber kerusakan bangsa. Maka ketahuilah pada dasarnya, ini adalah tanggung jawab semua calon orang tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar