Senin, 11 Oktober 2010

catatan di muka

Glosarium dari sang jurnalis
By. fitriauliaanakpantai.


Getir, mengingat tidak semua hal bisa berjalan dengan sempurna. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus ku lakukan untuk menyelamatkan organisasiku dari kekosongan dan keterpurukan. Menyandra kreativitas, dan mempersempit bagian yang bisa diperluas; pengetahuan.

Meski sudah hampir delapan bulan aku dinobatkan sebagai ketua organisasi di sebuah LPM (Lembaga Pers Mahasiswa), sedikitpun aku tidak pernah merasa yakin untuk mengakui keberadaanku menjadi ketua. Mminimnya penguasaan terhadap ilmu di bidang yang sedang ku geluti menjadi beban moril terbesar yang tak pernah bisa membuatku tenang dalam posisi apapun. “jadi Ketua LPM itu modalnya ada dua, kalo tidak pintar yo berani”, celetukan dari seorang teman.

Sampai sekarang pun, jika sedang benar-benar mengalami stres, kadang aku mencemooah diriku sendiri karena kebodohanku, kemalasanku dan segala keterbatasan yang menggantung di setiap bagian di diriku. Apa lagi saat ku ingat betapa gemblangnya junk selaku mantan ketua sebelumku menamparku dengan celetukkan Jaquest Derida “aku tidak membencimu tapi aku membenci kebodohanmu”. Dengan ekspresinya yang sangat ingin menjatuhkan lawan bicaranya, ia mengatakan itu hampir di setiap ia memiliki kesempatan untuk melakukannya, seperti saat diskusi dan melakukan kompromi untuk sebuah agenda kegiatan di organisasi. Tak ada ampun untuk orang yang tidak bisa mengalahkan pengetahuannya di forum diskusi. Meski jujur terkadang aku ingin benar-benar bisa mengalahkannya. Dan secara diam-diam melahap habis buku-buku yang ia simpan di setiap rak buku di kamarnya. Agar ia tak lagi bisa mencemooah kebodohanku.

Sekilas ku coba berhenti menghardik diriku sendiri saat ku ingat seperti apa aku sebelumnya. Pola pikir seliar dan sekeras (1) ini seingatku baru-baru saja menguasai diriku, selama tiga tahun aku berada di kampus ini.

Memang benar selera orang setiap saat bisa selalu berubah-ubah. Saat ini tertarik dengan dunia musik, besok tertarik dengan broadcasting, besok lagi tertarik dengan jurnalistik. Setiap hari berganti dan berganti. Jika banyak orang menyebut ini sebagai wujud dari ketidak konsistenan, maka aku berpikir sebaliknya, ini adalah bentuk kesadaran yang nyata. Karena orang yang tidak konsisten terkadang memutuskan sesuatu dalam keadaan tidak sadar, maka wajar jika mereka tiba-tiba menyesal dengan keputusan yang diambil sebelumnya. Namun aku menghargai setiap perubahan, orang berkembang sesuai lingkungannya, jika ia tinggal di keadaan yang selalu berubah-ubah, maka perubahan pilihan adalah hal yang wajar dalam kondisi ini.

Usiaku mengenal kampus dan mengenal LPM tidak selisih banyak. Hanya beberapa saat saja. Karena selang beberapa minggu setelah ospek aku langsung bergabung di LPM ini. Dan kapasitasku dalam membagi waktu cukup balance di antara keduanya.

Aku pernah ditanya seseorang tentang perbedaan memberitakan kasus dengan media elektronik (TV) dengan media cetak. Jawaban saya sederhana saja, menyampaikan berita dengan media elektronik hanya membutuhkan satu keahlian saja yaitu keahlian menyampaikan secara visual sedang untuk media cetak diperlukan dua keahlian; keahlian visual dan keahlian menuliskan kata-kata. Dan dari diskusi intern(2) di LPMku banyak staf yang setuju bahwa kebanyakan orang lebih ahli cocot dari pada ahli menulis.

Belajar jurnalis itu belajar yang multi belajar(3) , ilmu yang dikuasai tidak bolah sedikit. Kemiringan pemberitaan adalah kesalahan, dan dampaknya adalah merusak para pembaca. Kemampuan pembacaan kasus yang sangat minim di kalangan jurnalis akan mampu berdampak fatal bagi para pembaca, bahkan lebih ironis kesalahan ini akan turut merusak sejarah yang semakin buram kebenarannya(4).

Tidak sedikit korban pemerkosaan juga diperkosa(5) oleh para jurnalis. Laiknya para anggota dewan, tugas jurnalis tidak kalah sebuknya, bahkan lebih sibuk dan lebih mulia dari para dewan. Memperjuangkan rakyat dengan sebenar-benarnya berjuang, lalu secara tertulis menyampaikan kepada para warga. Taruhannya tidak cukup mental dan finansial. Namun keselamatan nyawa dari ancaman-ancaman dari pihak yang merasa dirugikan akan selalu mengiringi di setiap proses publikasi kebenaran.

Inilah makna perjuangan. Tidak sedikit jurnalis yang mati saat proses peliputan, saat menulis laporan di meja kamar, pasca proses distribusi berjalan, dan di beberapa keadaan lainnya.
Sungguh menjadi jurnalis adalah keputusan yang tidak main-main.


footnote:
(1) Kadang senang menghardik, mengucapkan sumpa serapah, menyuruh sambil berkacak pinggang, dan menganggap bejat semua pejabat; aku menggunakan kata bejat karena para pejabat senang melihat rakyatnya menderita, bejat karena senang memperpuruk keadaan rakyatnya dengan program-program barunya yang sangat idealis tapi pelan-pelan mencekik warga masyarakatnya. Seperti SBI/RSBI
(2)Kebetulan ada devisi diskusi di LPM, salah satu proker mereka adalah mengadakan diskusi rutin mingguan. Namun budaya diskusi tidak hanya terbangun saat itu, melainkan hampir di setiap ada yang menceletuk menyuguhkan kasus-kasus maka dengan respek yang tinggi semua staff yang lain akan saling bersahut-sahutan. Kadang tentang kondisi kampus, kondisi perpolitikan mahasiswa, sampai perpolitikan di tingkat negara.
(3)Maksudnya; begitu luasnya keilmuan yang harus diganyang jurnalis. Dari keilmuan tentang jurnalistik sendiri, tata bahasa, design grafis, photograpy, ilmu penelitian, segala macam filsafat mulai dari feminis, kolonial dan post kolonial, positifistik, madzab kritis, dan masih banyak lagi. Belum juga penguasaan teori-teori sosial dan budaya, ilmu hukum; baik hukum adat maupun hukum negara, menelaah kebijakan pemerintah, termasuk mempelajari perkembangan kasus-kasus warga kecil dan masih banyak lagi.
(4) Masih ingat kasus G30/SPKI?, kasus ini adalah bukti konkrit betapa merugikannya pemberitaan yang benar-benar tidak dengan pembacaan yang tepat. Untuk lebih jelasnya saksikan film dokumenter berjudul; shaddow play. yang menceritakan tentang kepalsuan
(5)Pemerkosaan: perebutan hak secara paksa, dan tanpa kompromi, bukan hanya dalam bentuk perampasan keprawanan saja namun lebih luas dari itu. Beberapa jurnalis telah dengan sengaja melakukannya. Seperti menyuguhkan keadaan vulgar sang korban agar beritanya laku terjual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar