Selasa, 28 Desember 2010

Features orang # 3

Narasi Ketimpangan Pembangunan
Oleh: Mukhlashyn

Indonesia memiliki banyak pulau dari yang terkecil hingga pulau terbesar seperti; pulau Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Jawa, dan Sumatra. Pulau-pulau ini mempunyai banyak penghuni dan penduduk. Seperti yang dilaporkan oleh M. Masud Said, Wakil Ketua Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki 13.000 pulau.

Akhir September 2009 tahun lalu saya pergi untuk menggunjungi salah satu pulau terbesar di Indonesia, pulau Sumatra. Pulau ini berdekatan dengan Jawa. Hanya saja dibatasi oleh selat Sunda. Untuk sampai ke sana bisa naik alat transportasi udara, pesawat dan alat transportasi darat seperti bus. Jangan mengharap ada transportasi darat selain bus. Karena di sana belum ada Kereta api penghubung Sumatera-Jawa. Jangan pula berharap ada jembatan yang menghubungkan kedua pulau tersebut layaknya jembatan Suramadu di Surabaya, karena di sana belum ada jembatan penghubung, meskipun pada zaman Orde Baru rencana pembangunan jembatan sumatera-jawa pernah digembar-gemborkan.
Untuk menyeberang ke pulau sumatera, masih menggunakan alat tranportasi air, kapal Feri. Di dalam kapal Feri terasa sesak. Bangku penuh. Beberapa penumpang tidak mendapat tempat duduk.
Ketika kapal hendak merapat di Pelabuhan Bakauheni, saya hanya bisa bernafas lega dan menyaksikan kekaguman yang luar biasa. Pemandangan di sana indah, hijau. Hutan terbentang luas, begitu juga dengan kebun-kebunnya. Rumah-rumah penduduknya jarang yang berdekatan atau berdampingan seperi hal nya di kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang, dan Jakarta.
Keadaan alam dan pembangunan di pulau andalas tersebut hampir seragam. Mulai dari Lampung, Palembang, dan Jambi yang berhutan agak tandus.
Ketika memasuki daerah palembang, dari dalam bus hanya terlihat hutan dan kebun-kebun, tapi disana lebih banyak terdapat hutan. Kebun di sana lebih dominan ditanami kelapa sawit, coklat, dan karet. Pohon-pohon besar di kiri-kanan jalan sepanjang perjalanan memberi kesan tersendiri. Karena di Jawa tempat saya tinggal jarang terlihat pohon-pohon besar seperti yang ada di Palembang. Pembangunan-pembangunan di daerah ini tampaknya belum berjalan secara maksimal. Padahal pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah sudah efektif pada 2001 lalu.
Perjalanan satu Propinsi ke Propinsi lain ditempuh berjam-jam. Jalanya berkelok kelok. Bergunung-gunung dan berlembah. Memasuki daerah Jambi, kondisi yang sama masih saya temui. Namun, di jambi keadaan jalananya sedikit berbeda. Jalan disana tak berkelok-kelok seperti di Palembang, hanya lurus hingga berpuluh-puluh kilometer.
Memasuki daerah muara bungo, kondisi jalan ke rimbo Bujang, salah satu kecamatan di kabupaten Tebo banyak yang rusak. Pembangunan di sana pun masih belum berkembang seperti daerah-daerah yang ada di Jawa dan Jakarta.
Di Rimbo Bujang, masih banyak desa-desa yang belum diaspal. Berbeda sekali kondisinya jika dibandingkan dengan jalan-jalan yang ada di Jakarta dan desa-desa yang ada di pulau Jawa. Jalan-jalan di daerah pulau Jawa, terutama Jakarta rapi dan tertata dengan baik, tak seperti di Rimbo Bujang ini.
Di Jakarta, kita dengan mudah menjumpai gedung-gedung bertingkat, menjulang ke langit. Sarana transformasi banyak, mulai berbagai merek taxsi hingga bus antarkota. Untuk cepat sampai di tujuan bisa naik kereta api. Untuk mempermudah pengguna jalan kaki dibangun jembatan layang-layang guna penyeberangan. Mau apa pun ada, dan mudah didapat.
Di ibu kota Indonesia itu, semua bangunan dan gedung berdekatan. Gedung DPR, MPR di Senayan, Istana Negara, kantor Sekretaris Negara, kantor BUMN hingga kantor pusat kepolisian dan kantor Badan Inteligensia Negara dan kantor-kantor perdagangan lain, meskipun ada perusahaannya di luar Jakarta. Ini menandai keuangan mayoritas hanya berputar di Jakarta. Tidak heran orang berbondong-bondong pindah dan mencari kerja ke Jakarta.
Kondisi ini tentu tak dapat dibandingkan dengan kecamatan Rimbo Bujang yang hanya merupakan salah satu daerah ”pinggiran” di Indonesia. Tetapi, jangan coba-coba membandingkan kekayaan alamnya. Kecamatan yang ditenggarai salah satu kecamatan terluas di Indonesia ini merupakan salah satu daerah penghasil karet terbesar –yang hasil karetnya sebagian besar di boyong ke Jakarta dan Tangerang, karena di sana belum ada pabrik pengolahan karet—di Jambi.

DI SUATU PAGI, sinar mentari mulai beranjak naik dari balik bukit di Kampung Dalam. Sawah-sawah yang menguning terlihat seperti taburan pasir emas di hamparan belakang rumah yang saya tumpangi. Pohon sawit dan kelapa mengitari desa Kampung Dalam. Udara segar nampak masih bersih di pagi hari. Polusi udara hampir tak ada.
Perjalanan dari Rimbo Bujang ke desa ini menghabiskan waktu kurang lebih 10 jam. Untuk mencapai desa ini saya harus menumpangi mobil Mitsubishi L300 angkutan pedesaan Pariaman-Basung. Sebab, Mobil bus yang saya tumpangi dari Jakarta berhenti di Pariaman, salah satu kabupaten di Sumatera Barat.
Jarak dari kota desa kampung dalam dan kota padang tidak begitu jauh. Kira-kira butuh waktu sekitar dua jam perjalanan tanpa diselingi macet. Jalanan dari pariaman ke kampung dalam cukup berbelok belok. Kondisi jalanya sudah layak, jika dibandingkan dengan kecamatan Rimbo Bujang.
“Selama saya jadi wali Nagari ini, baru tiga program yang terealisasi. Salah satunya ini pengaspalan jalan sampai ke kampung dalam ini,” kata Fabet Effendi, Wali Nagari Campago Pariaman sambil menunjuk jalan beraspal di depan rumahnya.
Pariaman salah satu tempat yang terkenal dengan adat Minangkabaunya. Begitu juga di desa Pasar Kampung Dalam ini. Pada saat saya berada di sana, salah satu penduduk warga kampung ini sedang merayakan pesta pernikahan. Pernikahan tersebut sarat adat Minangkabau. Ada tenda yang cukup besar. Lampu Kelap-kelip menghiasi ruangan. Di pelaminan terlihat kedua mempelai memakai baju kebesaran ala Minangkabau. Mempelai pria memakai mahkota lambang tanduk kerbau, sedangkan mampelai perempuannya menggunakan mahkota kebesaran warna keemasan.
Salah satu pekerjaan utama suku Minangkabau ialah berdagang. Orang Minangkabau menegakkan ‘dinasti perdagangan kota’ mereka dimulai sejak awal abad ke dua puluh. Namun, mereka menghadapi suatu tantangan besar dari orang-orang Cina yang memperoleh dukungan penuh dari pemerintah kolonial. Belanda menghendaki orang Cina untuk memonopoli perdagangan menengah supaya bisa menjadi perantara antara penduduk berkebangsaan Eropa dengan penduduk asli (Skinner, 1973:404).
Dengan memanfaatkan kebijakan Belanda, orang-orang Cina berhasil menahan suku Minangkabau pada perdagangan kecil. Setelah kemerdekaan, ketika Belanda terpaksa meninggalkan Indonesia, ornag-orang Cina bergerak memasuki sektor-sektor perekonomian yang tadinya didomonasi oleh belanda, kecuali perkebunan, yang diambil alih menjadi perusahaan-perusahaan negara.

MERANTAU ATAU PINDAH tempat tinggal sudah menjadi siklus yang tidak akan mati di Indonesia. Orang minangkabau memang suka merantau. Menurut kato (1982:82), perubahan besar dalam tradisi merantau suku Minagkabau ini terjadi setelah Perang Dunia II. Biasanya seorang suami pergi merantau terlebih dahulu baru kemudia mendatangkan istri serta anak-anaknya. Kebanyakan mereka hidup di kota-kota besar seperti; Medan, Bandung, Surabaya, dan Jakarta.
Menurut Lekkerkerker (1916:207), bahwa perantauan oleh kelompok etnik Minangkabau adalah satu cara guna melepaskan diri dari kungkungan adat matrilinial. Kato (1928:243), mendukung pendapat Lekkerkerker, mengatakan ”Banyak dari mereka yang tidak merasa cocok dengan cara hidup matrilini kemudian pergi merantau.”
Di jakarta, bisnis tekstil merupakan salah satu pilihan orang minang. Cara melaksanakan bisnis ini memberikan gambaran jelas bagaimana pada umumnya manajemen bisnis orang minagkabau di daerah urban.
Siang itu September 2009. Sebuah papan nama bertuliskan ”BAGINDO menyediakan perlengkapan busana Muslimah, Anak-anak, dan Batik” tergantung di pojok atas salah satu toko di ITC Cipulir Mas, Jakarat Selatan. Toko yang dibuka mulai pukul delapan pagi hingga menjelang salat Isya itu menghadap ke arah Barat. Saat itu pembeli silih berganti. Ramai menawar harga baju di toko itu.
“Ada baju batik gak?” tanya dua pembeli wanita
“Oh ya ada,” sahut suara dari dalam toko itu
“Aku mau beli sekodi warna hijau pucuk pisang kalau ada,” pinta pembeli
“Tolong ambilkan di sebelah sana,” suruh Nasirman pada anaknya sambil menunjuk ke tokonya
yang ada di sebelah. Anak perempuannya pergi mencarikan baju yang diinginkan pembeli.
“Dari mana? Dari Skodam ya”, tanya Nasirman, pria kelahiran Padang Pariaman.
“Kemarin ada pembeli dari skodam, orang-orang kantor, dan juga tentara.”
“Ngapain mereka?” tanya pembeli.
“Mereka mau pesan satu kodi baju batik.”
Saat itu, pemerintah daerah Jakarta mewajibkan masyarakat pegawai negeri memakai baju batik.
“Ini mirip yang tadi, hanya saja warna berbeda tapi motifnya tidak jauh beda,” cerita anak
perempuan Nasirman.
“Yang itu jadul tidak bermotif,” suara anak Nasirman menunjuk kain baju yang dipegang pembeli.
“Kalau mau bawa aja,” kata Nasirman.
“tak kasih tahu, bahan yang itu tipis jangan dibeli, kasihan yang beli”, ibanya
“Ini bahan dari saten,” kata anaknya untuk memberitahu.
“Bahan Saten berbeda, bahanya tipis. Kalau sekali dicuci cepat luntur,” ujar Nasirman memberi
tahu baik dan buruk beberapa merek dan bahan baju yang ia jual.
“Di sini bebas–bebas saja. Kalau cocok dibawah kalau tak cocok boleh dikembalikan,” tegasnya.
“Ntar mau ditukar juga ngak apa-apa”, tambahnya.
Nasirman adalah salah satu dari sekian ribu perantau yang menggadu nasib di Jakarta. Ia bersama istrinya empat anaknya sudah menetap di Jakarta sejak tahun 1980an. Empat orang anaknya tumbuh besar dan bersekolah di kota yang di-ibu-kan oleh masyarakat Indonesia ini.
Anak Nasirman yang pertama sudah menikah dengan gadis Betawi. Menantunya juga ikut membatu menjualkan barang dagangannya. Kini ia memiliki empat toko di ITC Cipulir Mas. “Sembilan puluh persen pedagang yang ada di Cipulir berasal dari Padang,” cerita Nasirman di depan tokonya lantai dua.
Karena waktu itu momen bulan puasa, ia dan empat orang anaknya menutup toko mereka pada pukul delapan malam. Berpindahnya Nasirman ke kota Jakarta disebabkan peluang ekonomi yang rendah di kampung halamannya.


KETIMPANGAN EKONOMI ANTARA daerah di Sumatera dan Jakarta secara tak langsung membuat etos kerja warga minang meningkat. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mohctar Naim, pada tahun 1971 jumlah perantau minang mencapai 44 %. Berdasarkan sensus tahun 2000, suku Minang yang tinggal di Sumatera Barat hanya berjumlah 3,7 juta jiwa. Angka ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan perkiraan 7 juta orang Minang di seluruh dunia. Yang berarti, sekitar 65% warga minang meninggalkan kampung halamannya untuk merantau.
Jakarta tak hanya menjadi “lahan basah” bagi perantau minang, tapi juga menjadi kota “impian” pengubah nasib bagi perantau yang berasal dari seluruh nusantara. Hal ini bisa dilihat dari jumlah arus balik mudik versi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Pemprov DKI Jakarta tahun 2000-2002 menunjukkan terjadi peningkatan signifikan jumlah arus balik Pascalebaran.
Rinciannya: Tahun 2000, arus balik mencapai 2.416.452 jiwa dari jumlah arus mudik yang berjumlah 2.159.729 jiwa. Tahun 2001, arus balik mencapai 2.507.255 jiwa dari jumlah arus mudik 2.372.069 jiwa. Sementara tahun 2002, jumlah arus balik 2,85 juta jiwa dari jumlah pemudik yang mencapai 2,6 juta orang.
Melihat perbandingan antara rasio arus balik dan arus mudik, diperkirakan pertambahan penduduk Propinsi DKI Jakarta rata-rata per tahun pasca-lebaran mencapai 9,24 persen. Catatan Pemprov DKI Jakarta juga menunjukkan, sekitar 32.0000 pencari kerja baru akan memasuki DKI Jakarta bersama 3,2 juta pemudik Pascalebaran 2009 ini. Kaum urban ini umumnya sekadar ingin menjadi kuli bangunan, penjual bakso, penjaja es keliling, penjual sayuran, penjual jamu gendong, pembantu rumah tangga, atau pedagang kaki lima.
Sementara itu, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), laju angka urbanisasi diprediksi terus meningkat. Pada tahun 2025 rata-rata tingkat urbanisasi nasional diperkirakan mencapai 68 persen (di Jawa dan Bali persentasenya bahkan mencapai 80 persen). Dari 35 juta penduduk miskin saat ini, 22 juta ada di desa, sementara 12,8 juta sisanya berada di perkotaan. Dari 10 juta penganggur terbuka, 4,4 juta penganggur ada di pedesaan. Dari sekitar 65.554 desa di Indonesia, 51 ribu desa merupakan desa tertinggal, dimana 20.633 di antaranya tergolong desa miskin.
Ini menandakan Jakarta dinilai sebagai kota yang menjanjikan untuk merubah nasib. Dari miskin menjadi kaya, dari “tak” berkelas menjadi “ber” kelas, dari pengangguran menjadi pekerja. Tak hanya itu, pola urbanisasi ini sekaligus menjadi ciri khas buruknya pertumbuhan ekonomi di daerah dan desa-desa. Tak terkecuali daerah-daerah dan desa-desa yang ada di Sumatera. Pola ini juga menjadi simbol pemusatan pembangunan dan perekonomian di Indonesia, yang secara tak langsung ikut membuat ketimpangan kelas sosial dalam masyarakat.
Makanya tak heran, daerah-daerah dan kota-kota di pulau Jawa –terutama ibu kota Jakarta— banyak diincar oleh perantau yang berasal dari daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan NTT. Karena memang di Pulau Jawalah pembangunan dan perekonomian berkembang pesat dan tetap. Ada gula, ada semut. Di mana ada pembangunan, infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan kemudahan akses teknologi, di situ pula banyak perantau yang datang dari penjuru Indonesia untuk mengadu nasib.
Ketimpangan pembangunan dan perekonomian ini tak hanya berdampak pada pola urbanisasi saja, namun juga berpotensi melahirkan sinisme dan kecemburuan sosial di masyarakat Indonesia. Bahkan ketimpangan ini dapat berujung pada upaya suatu daerah atau kota memerdekakan diri. Kasus Aceh misalnya. Menurut Fabet Effendi, keinginan Aceh untuk Merdeka disebabkan ketimpangan pembangunan dan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah. Gas alam yang merupakan salah satu penunjang kekayaan Indonesia sebagian besar berasal dari Aceh. “Makanya tak heran jika Aceh ingin merdeka,” cerita pria beranak dua ini.
Beberapa faktor pemberontakan di Aceh dipicu karena kebijakan centralistik, dan pencabutan izin pelabuhan Sabang di zaman Soeharto. Bahkan ada joke, untuk membeli satu kertas pun harus izin dari Jakarta, tulis Andreas Harsono di majalah Pantau tahun 2003.
Pemberontakan warga Aceh nampak paling serius sesudah Indonesia kehilangan Timor Timur. Dalam sejarahnya, keikutsertaan warga Aceh bergabung dengan Indonesia, karena Soekarno berjanji memberikan status otonomi kepada warga Aceh. Warga aceh percaya, akhirnya berbondong-bondong menyumbangkan harta dan perhiasan mereka untuk beli dua pesawat terbang pertama kali untuk Indonesia. “Tapi Soekarno tidak menempati janjinya,” tulis Harsono.
Di banyak media sering diberitakan konflik-konflik seringkali bermunculan. Mulai konflik aceh hingga konflik Papua. Fenomena ini disebabkan oleh kecemburuan sosial pembangunan yang tidak merata antara daerah satu dengan daerah lainnya di Indonesia. Ketidakadilan dalam pembangunan ini dapat mengancam integrasi republik ini, jika tak ditangani secara serius oleh pemerintah.

TAK HANYA DI SUMATERA, pembangunan di daerah perbatasan lebih menyedihkan. Seperti perbatasan Malaysia dengan daerah Kalimantan bagian utara, selangor dan perbatasan Papua dengan Papua Nugini. Hal semacam ini ditenggarai karena kurangnya perhatian pemerintah dan kurangnya subsidi yang diberikan serta ketidakadilan di segala bidang.
Hidup di daerah perbatasan akan mempengaruhi budaya dan kebangsaan Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh M. Masud Said wakil ketua Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) dalam salah satu penelitaian yang disampaikan dalam “Seminar Nasional: Demokrasi dan Nasionalisme” di malang pada 20 Juni 2010 lalu. Dalam kesempatan tersebut ia menyatakan sebagian besar penduduk Indonesia yang hidup di daerah perbatasan berbahasa melayu Malaysia, adat pakaiannya dan mata uang Malaysia. “Kami tidak kenal yang namanya nasionalisme maupun demokrasi. Yang kita kenal, ialah bagaimana kita bisa hidup dan bagaimana besok bisa makan,” kata Masud Said menirukan ucapan salah satu penduduk Selangor.

PADA TAHUN 2004 hingga 2009 terjadi ketimpangan ekonomi di wilayah Sumatera. Padahal, tahun 2004 Sumatera memberi kontribusi perekonomian Indonesia sebesar 22%. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan wilayah Jawa yang justru naik 1% dari 59,7% menjadi 60,7%.
“Ketimpangan itu menunjukan pemerintah pusat masih lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan di Jawa daripada daerah-daerah lain yang notabene juga penyumbang devisa negara,” kata Jhon Tafbu Ritonga, Dekan Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Sumatera Utara (USU).
Lebih lanjut Jhon mengungkapkan, ketimpangan ekonomi dan disparitas ekonomi antara Jawa dan luar Jawa, bukan tak mungkin menyebabkan disintegrasi bangsa. Ia menghimbau pemerintah melakukan langkah-langkah startegis, salah satunya pembangunan infrastruktur. Misalnya, dalam waktu lima tahun ke depan harus sudah dibangun jalan dari Aceh hingga Lampung yang mempunyai kualitas setara dengan jalan tol.
“Saat ini banyak peresmian pembangunan di Jawa, di luar Jawa seakan tak ada dan pemerintah selalu memberikan janji manis, seperti pembangunan jalan tol Medan-Tebing Tinggi,” lanjut Jhon Tafbu Ritonga.

BAGI WARGA ACEH perjuangan belum selesai. Warga butuh keadilan yang merata seperti yang ada di Jakarta, dan kota kota besar lain yang ada di Indonesia. Begitu juga yang ada di Sulawesi dan Papua. Menurut M. Masud Said, permasalahan bangsa ini banyak dan beragam. Diantaranya; masalah pemilu, disintegrasi, ketertundukan pada politik dan ketidakadilan pembangunan yang kurang merata.
Kebanyakan kekayaan Indonesia ada di luar pulau jawa. Papua ada tambang emas, tapi rakyat papua tidak merasakan hasil kekayaanya. Begitu juga di daerah Indonesia lainnya yang merasakan ketimpangan dan ketidakadilan yang disebabkan sistem politik ekonomi warisan ORBA ini.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar